Setelah mengikuti diskusi di mailing list De Gromiest tentang ukuran ruang Webmail yang bertambah, saya meminta izin Indra Muliawan untuk memuat komentar dia tentang privasi dalam format yang lebih baik. Indra Muliawan adalah mahasiswa doktoral Fakultas Hukum Rijksuniversiteit Groningen, Belanda, dan termasuk penikmat dunia TI, sehingga tepatlah untuk dimuat di sini pendapatnya tentang aspek hukum Gmail dari sisi privasi. Permintaan saya dipenuhi dan malah ditambahi keterangan yang lebih lengkap.
Saya kutipkan penjelasan yang saya terima lewat email di bawah ini, dengan terlebih dahulu saya sunting agar sesuai dengan gaya penulisan di #direktif.
Indra memulai dengan penjelasan bahwa keterangan yang diberikan ini tidak didasarkan pada sebuah metoda ilmiah karena tidak dilakukan riset yang memadai untuk masuk kategori sebuah penelitian ilmiah.
Untuk mudahnya, kita bisa coba deduksi peraturan di Belanda, yang pada era Uni Eropa sekarang notabene harus mengikuti petunjuk yang telah digariskan pada tingkat Eropa (direktif dan sebagainya) perihal peringatan semacam Let op: Kamera Bewaking.
“Let op: Kamera Bewaking” adalah tulisan pada papan peringatan yang senantiasa ditempel di tempat-tempat yang dilengkapi kamera pengawas di Belanda.
Tanpa pengumuman seperti itu para aktivis privasi baru bisa protes bahwa kamera pengawas tersebut mengganggu privasi. Jadi sebenarnya dalam kasus ini apabila memang privasi sangat dilindungi, maka ada dua pilihan, yang pertama adalah meniadakan kamera pengawas sama sekali, atau memberikan semacam “pilihan” kepada masyarakat, bahwa kalau tidak mau terlihat sedang mengorek hidung di pinggir jalan, atau secara lebih umum tidak mau privasinya terganggu, pilihlah tempat mengorek hidung di tempat yang tidak ada tulisan Let op: Kamera Bewaking.
Pilihan yang diambil para pembuat hukum di Belanda ternyata lebih condong kepada yang kedua. Dengan analogi — tentu tidak 100% persis — hal yang sama juga dapat diterapkan dalam kasus Gmail. Google sudah menyebutkan bahwa data yang tersimpan di server tidak dihapus; itu kan berarti pengumuman secara tidak langsung bahwa data di dalam Gmail dapat sewaktu-waktu dibaca, sehingga melanggar privasi. Dengan demikian atas pelanggaran privasi tersebut, terdapat dua kemungkinan solusi seperti halnya kasus kamera pengamat di atas: melarang Gmail beroperasi atau memberikan pilihan kepada masyarakat untuk menggunakan Gmail atau tidak.
Karena dari beberapa wacana yang sempat beredar belum ditemukan satupun yang mengulas permasalahan ini dari sisi hukum — yakni tentang kebolehan atau ketidakbolehannya — maka untuk tulisan ini akan diasumsikan bahwa belum ada hukum yang jelas mengatur persoalan ini, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian masih merupakan daerah “tak bertuan”. Akan tetapi, dapat kita kupas perihal karakteristik layanan email yang disediakan Google tersebut. Google memberikan layanan cuma-cuma kepada masyarakat terbuka. Sementara masyarakat pemakai email tidak diharuskan memilih Gmail; di lain pihak, masih banyak penyedia jasa email lain yang dapat digunakan, baik yang juga cuma-cuma sampai yang harus bayar, bahkan terkadang menyediakan ruang simpan yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, Gmail bukanlah pemegang monopoli atas jasa email gratis. Kemudian, dari sisi korporasi Google itu sendiri, yang kalau tidak salah berbentuk Limited Liability Company (Ltd.) dalam Bahasa Inggris, Naamloze Vennotschap (N.V.) dalam Bahasa Belanda, atau Perusahaan Terbatas (P.T.) dalam Bahasa Indonesia, suatu pihak dapat memiliki hak dan kewajiban secara hukum sebagaimana halnya manusia. Dengan demikian Google Corp. juga memiliki hak untuk menjalankan taktik pemasaran, ataupun manajemannya, termasuk menyediakan jasa layanan email gratis, dan juga membolehkan individu-individu lain dari belahan dunia yang berbeda untuk menggunakan layanan gratis ini.
Dari ulasan singkat di atas, dari deduksi tentang privasi dan sedikit mencomot beberapa teori hukum, tanpa melihat lebih lanjut peraturan yang berlaku maupun praktek di lapangan, kesimpulannya:
- Gmail, sama halnya dengan si Togar yang menyediakan jasa parkir
gratis yang amat luas di halaman rumahnya, adalah suatu layanan dari
suatu pihak swasta yang juga punya hak untuk mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan layanan. Sistem hukum yang berakar dari hukum Anglo
American atau Eropa Kontinental pasti menjamin ini, apa pun bunyi
ketentuannya, karena merupakan salah satu konsepnya. Adapun ketentuan
yang harus dipenuhi dalam menikmati layanannya adalah hak si pelayan.
Dalam kasus si Togar sebagai ilustrasi, katakanlah pengemudi kendaraan yang mau parkir di halaman rumahnya otomatis harus melewati pemindai (scanner) sinar X yang dipasang oleh Togar, sehingga Togar dapat melihat kaki telanjang si pengemudi di balik sepatu atau alas kaki lainnya dari telapak sampai mata kaki. Jika ada yang keberatan dengan perlakuan ini, dengan alasan apapun, termasuk bila ternyata punya kutil yang dianggap cukup memalukan, apabila mengetahui hal ini, dapat memilih untuk parkir di tempat lain. Demikian pula dalam kasus Google, apabila tidak berkenan residu dari isi emailnya tersimpan di server Google, dan dapat digunakan untuk kepentingan pihak lain, berarti jangan pakai Gmail. Sesederhana itu. - Kita anggap si Togar memang memiliki tanah yang luas untuk lahan
parkir. Akan tetapi, di sekitar daerah si togar, banyak terdapat
lahan-lahan parkir lain yang juga gratis dan tidak pernah penuh,
akan tetapi tidak sebesar milik Togar. Adapun yang sebesar tempat parkir
si Togar, harus bayar. Di sini para calon pengguna jasa parkir punya
pilihan untuk menggunakan lahan parkir yang lain. Lain halnya apabila
lahan parkir satu-satunya adalah milik si Togar. Berarti ia memegang
kendali monopoli atas lahan parkir, dan para pengemudi memang harus
parkir di lahan si Togar. Di masa lalu, konsep kebebasan bertindak
membolehkan segala macam bentuk monopoli apapun bentuknya, selama
sumber daya dikuasai.
Pada masa kini, boleh jadi si Togar dapat diperintah oleh yang berwenang untuk membuang pemindainya karena mengganggu ketentraman para pengemudi yang tidak punya pilihan dan harus parkir di lahannya. Dikatakan “boleh jadi”, karena bentuk hukum antimonopoli berbeda-beda dan ada juga yang kasuistis, sehingga belum pasti si Togar akan diharuskan membuang pemindainya. Demikian pula dengan Gmail, masih banyak penyedia jasa lain yang memberikan layanan email — bayar atau gratis. Selama Gmail tidak memonopoli layanan email, konsep hukum Anglo American dan Eropa Kontinental melihat bahwa para pemakai jasa layanan email punya pilihan untuk memakai jasa Gmail atau tidak. Dalam permasalahan privasi ini, akan mendapat perhatian berbeda di belahan dunia lain, karena kebutuhan akan email belum muncul di tengah-tengah mayoritas masyarakat di setiap negara. Contohnya, petani lada ataupun kopra di Belitung tidak menggunakan email, karena koneksi Internet dial up saja masih sulit diakses, sebab jarang yang memiliki sambungan telpon. - Dalam hal masyarakat yang sudah memandang email sebagai suatu
kebutuhan (kalo perlu sampai bayar), terdapat dua kemungkinan
untuk mengubah layanan Gmail. Yang pertama, adalah seperti
dijelaskan di atas,
apabila Gmail adalah satu-satunya pilihan, yang memang
mendesak untuk
diatur agar tidak mengganggu stabilitas status quo pemakai email. Selama
masih bisa menggunakan email gratis yang lain, layanan Gmail dengan
segala resikonya berada dibawah kewenangan para pembuat kebijakan
Google, tanpa ada hak dari masyarakat luas pengguna jasa itu. Alasannya
adalah layanan tersebut gratis, tidak ada ikatan untuk
memakai, dan Google juga tidak terikat untuk menyediakan jasa tersebut.
Di sini tidak ada ikatan sewa-menyewa dan lain-lain. Kecuali memang terdapat
suatu kontrak yang isinya adalah ikatan-ikatan sebagaimana di atas, yang
harus disetujui saat mengajukan permohonan Gmail.
Kemungkinan yang kedua adalah: tanpa ikatan dan/atau kontrak tersebut, bahwa Gmail adalah suatu lembaga yang memang wajib memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai hal ini, seperti halnya PT Telkom untuk komunikasi, PT KAI, atau Departemen PU. Karena harus memenuhi kebutuhan masyarakat yang notabene pembayar pajak, maka masyarakat umum yang tidak langsung memiliki kontrak atau ikatan dengan Google, dapat mengajukan keluhan atas masalah ini. Tetapi, sekali lagi, Google dengan Gmailnya bukan merupakan lembaga serupa ini. - Tiga point di atas kesemuanya adalah bahasan dari segi sebuah negara. Gmail, sebagaimana layanan Internet lainnya, bersifat lintas negara. Oleh karena itu pengaturan Gmail, kalaupun memang bisa diatur (karena masih belum bertentangan dengan kedua konsep hukum tersebut diatas), akan sangat berbeda perlakuannya di tiap negara. Uni Eropa mungkin dapat “menyeragamkan” aturannya, akan tetapi, sekali lagi, sepertinya belum akan diatur, karena masih dalam kerangka hukum yang hidup di Eropa, yaitu Anglo Saxon dan Continental. Tentu di negara-negara yang hak privasi bukanlah suatu hal sakral yang harus dipenuhi, permasalahan ini mungkin hanya akan dilihat sebagai suatu pekerjaan yang tidak jelas tujuannya.
Paling yang bisa dimintakan kepada Google adalah supaya semua (calon) pemakai layanan emailnya mengerti bahwa privasi mereka tidak sepenuhnya terlindungi. Pernyataan di depan publik belum tentu dilihat, dibaca, dan didengar setiap (calon) pemakai. Kalau pada kasus si Togar, dia harus memberi tahu akan adanya kamera pengawas. Tanpa itu, Google dapat dikatakan mengusik privasi pemakai layanan apabila tidak menyebutkan perihal residu di servernya. Dari sisi hukum, si pemakai yang tidak tahu hal ini posisinya lebih baik, karena yang paling faham adalah yang bertanggungjawab untuk membeberkan semuanya. Si pemakai jasa adalah deelnemer in het goede trouw (partisipan yang dapat dipercaya — terjemahan saya), jadi bebas dari segala kesalahan. Kecuali (calon) pemakai menyadari semua konsekuensinya dari awal, yaitu dari peringatan yang diberikan Gmail di situs Webnya.
Jadi, dalam tatanan konsep (terutama konsep hukum), tindakan Google tidak merugikan orang lain, karena tidak ada hak orang lain yang telah ada sebelumnya, yang diambil Gmail. Privasi hilang karena orang memilih menggunakan Gmail, sementara pilihan untuk tidak menggunakan Gmail tetap terbuka. Namun, di lain pihak, meminjam istilah dalam ilmu ekonomi, ada invisible hands yang akan “menyeimbangkan” kebijakan Google ini. Layanan Gmail tentunya diluncurkan dalam suatu kerangka kebijakan Google (yang entah bagaimana caranya), untuk menambah laba perusahaan. Apabila banyak yang memilih untuk tidak menggunakan Gmail, tentu yang rugi adalah Google sendiri yang pasti akan jauh tertinggal dari Yahoo! Mail ataupun Hotmail, yang katanya pengguna jasanya makin mendekati Yahoo! Mail. Dengan demikian apabila masih menargetkan pemakai Gmail bertambah, Google akan terpaksa mengubah kebijakannya itu menjadi lebih menjamin privasi. Lain soal kalau memang Gmail ditujukan sebagai kegiatan sosial dari Google.
Terima kasih Indra, sebuah ulasan yang menarik.
[2/7] Indra Muliawan menambahkan keterangan dari salah seorang peneliti di tempat kuliah dia tentang salah satu pasal di Konvensi Eropa dan fleksibilitas.
menurut peraturan yang berlaku di Eropa, terutama Belanda, si warnet dapat dikenakan sanksi karena melanggar privacy, dan yang privacynya dilanggar dapat mengajukan gugatan perdata untuk mendapat ganti rugi. (walaupun dalam kasus anda jumlahnya tidak terlalu besar). saya kurang mengikuti perkembangan hukum IT di Indonesia. Akan tetapi, bila arahnya masih sama dengan akhir 2003, maka sepertinya pak jaksa dan pak hakim akan lebih senang mengadili copet di terminal kampung rambutan. Itupun kalau belum dibakar massa.. hehe..
Komentar Indra di atas untuk persoalan yang ditulis Thomas A Setiawan dan tercatat di Lacak Balik artikel ini.