July 2005 Archives

Arsip "Mailing List" untuk Publik

| 3 Comments | No TrackBacks

Jika bukan karena Dedhi, penulis komentar di artikel sebelum ini, mengingatkan bahwa arsip mailing list Asosiasi Warnet Indonesia sekarang ditutup untuk publik, saya tidak akan menyadari perubahan tersebut. Mailing list asosiasi Warnet tadi masih punya arsip di Mail Archive, namun sedikit-banyak merisaukan saya, penulis blog yang mengandalkan — salah satunya — mailing list sebagai media pengumpulan bahan tulisan. Terutama dikaitkan dengan beberapa rujukan yang saya pilih dari arsip mereka pada saat membahas kasus penertiban Warnet bulan Mei lalu.

Saya dapat saja berlangganan beberapa lagi mailing list untuk baca-baca isu yang sedang hangat (walaupun dari beberapa itu tingkat pengiriman kabar antar-mereka, atau cross posting, cukup tinggi juga), namun tentu sangat tidak nyaman apabila taut ke arsip mailing list yang saya tulis tidak dapat langsung dibaca begitu saja oleh pembaca blog ini.

Pertanyaan tentang Omset Warnet

| 6 Comments | No TrackBacks

Di mailing list Asosiasi Warung Internet Indonesia, Irsyad, salah seorang pemilik Warnet di daerah dekat Simpang Dago, Bandung, menuliskan pertanyaan tentang omset usahanya yang menurun selama liburan mahasiswa. Yang menarik dari ulir diskusi email Irsyad adalah:

  1. Dia memaparkan kondisi internal usahanya, seperti misalnya jumlah komputer, tarif sewa, PJI tempat berlangganan. Informasi ini dapat dipakai sebagai gambaran bagi pengusaha atau calon pengusaha Warnet lain.

  2. Respon yang masuk bervariasi dan dari situ pembaca dapat mengumpulkan aneka solusi yang disodorkan anggota mailing list lain.

Karena diskusi ini dilakukan di mailing list, pembaca perlu mengambil diagnosis dan analisis sendiri jika hendak diterapkan pada Warnet masing-masing. Bukan jasa konsultasi premium, namun tentu saja: gratis.

Kedatangan Ubuntu di Kantor

| 4 Comments | No TrackBacks

Lebih beruntung dibanding Yulian “Jay” Hendrayana dalam hal kiriman CD Ubuntu, salah seorang teman di kantor saya menerima satu bundel CD tersebut dalam kondisi baik, tidak perlu menghadap petugas cukai, dan barang langsung diantar ke kantor oleh tukang pos. Memang ada ongkos yang harus dibayar untuk pengiriman barang sebesar Rp 7.500,00. Hari Senin, 25 Juli lalu, bundel tersebut dibuka oleh penerimanya, jumlahnya saya kira tidak sebanyak yang diterima Jay, dan karena kemudian dibagi-bagikan ke teman-teman pengembang perangkat lunak lain di kantor, pagi hari Senin tersebut menjadi bernuansa “Ubutu Day.”

Paket berisi dua jenis CD: untuk mesin i386 32-bit dan AMD 64-bit. Tentu saja yang segera disikat habis dalam acara bagi-bagi Ubuntu tersebut adalah versi prosesor 32-bit, karena mesin 64-bit masih mahal bagi mayoritas dari kami, kendati sudah hampir setahun dibanding anggapan “mahal” versi pemakai komputer di Belanda. Dalam satu map Ubuntu tersebut terdapat dua keping CD: satu untuk versi instalasi, dan satu lagi Live CD. Bagi mereka yang ingin merasakan GNU/Linux dan lebih-lebih Ubuntu, versi Live CD ini dapat langsung dijalankan tanpa perlu instalasi ke hard disk.

Media Watch Memantau Media

| No TrackBacks

Pada beberapa kesempatan saya menulis tentang media massa dan salah satu hal yang sudah berulang sampai tiga kali adalah pemakaian materi dari blog oleh media massa dengan cara yang tidak semestinya1. Blog ini bukan pemantau sepak terjang media massa dan entri yang saya tulis umumnya berasal dari ekspos yang dilakukan teman-teman lain. Itu pun tidak semua dapat terliput dengan baik.

Pertimbangan yang saya gunakan untuk memilih kasus yang menimpa teman-teman juga sederhana: pertama, saya hanya memilih yang berkaitan dengan blog. Hal ini agar sesuai dengan misi #direktif. Karena blog sendiri lebih sering diasosikan membawa cetusan penulisnya secara personal dan umunya diupayakan sendiri oleh pemiliknya, persoalan tersebut masih saya masukkan sebagai topik yang disorot.

Kedua, tentu saja habitat dan kultur yang tumbuh di sekeliling #direktif. Kumpulan tulisan ini disusun dalam bentuk blog, dibesarkan dengan seperangkat mekanisme yang sudah lazim pada alat bantu blog, dan memang dikenalkan kepada audiens yang lebih luas lewat lingkungan blog juga.

Tulisan Febdian Rusydi Disadur Bali Post?

| 6 Comments | 1 TrackBack

Jika blog di Indonesia kian diramaikan oleh para penulis dengan keahlian masing-masing, apakah kondisi ini akan menjadi buah pahit cikal-bakal plagiarisme dari pihak media massa?

Baru tiga artikel sebelum ini saya tulis tentang Majalah Chic dan artikel legendaris Apa itu Blog? karya Enda Nasution, seorang teman penulis blog materi Fisika melapor lewat mailing list publik bahwa tulisan dia digunakan oleh Bali Post dengan tidak semestinya. Artikel tersebut, Fenomena Tsunami dari Gempa Bumi ditampilkan di Bali Post, rubrik Lingkungan, pada tanggal 4 April 2005 . Sedangkan penulis blog yang komplain adalah Febdian Rusydi yang menulis artikel Habis Gempa Datanglah Tsunami pada bulan Desember 2004 dan kemudian disediakan juga di blog setelah dimuat di Pikiran Rakyat. Tanggal acuan yang tertulis di blog dia adalah 14 Juni 2005 karena dilakukan renovasi situs Web Febdian dan tanggal pemasangan tersebut adalah tanggal setelah alat bantu yang baru, Drupal, diinstal.

Insiden yang sudah terjadi beberapa bulan lalu; dan seperti halnya penulis blog lain, termasuk saya, seringkali kasus seperti ini baru disadari karena “faktor tidak sengaja” dalam waktu yang agak lama kemudian. Toh kita tidak terlalu rajin memeriksa kemiripan dua buah materi situs Web dengan mencarinya lewat mesin pencari misalnya.

Technorati yang Sibuk

| 2 Comments | No TrackBacks

Technorati bertambah sibuk.

Aktivitas semi-rutin saya mendapatkan taut ke blog ini menyita waktu tunggu terasa lebih lama. Sekali malah sempat dapat pesan bahwa mereka sedang sangat sibuk melayani, sehingga permintaan saya gagal dijalankan.

Dari keterangan di halaman depan mereka,

Currently tracking 13.3 million sites and 1.3 billion links.

Bukan main! Perlu tenaga dapur yang lebih cekatan.

Open Office dan Subversion di Kantor

| 8 Comments | No TrackBacks

Dua orang teman yang berada satu ruangan dengan saya di kantor bulan-bulan terakhir ini mengganti pemakaian Microsoft Word ke Writer dari Open Office. Dokumen yang mereka hasilkan juga sudah lumayan ukuran dan jenis isinya: untuk keperluan penulisan buku. Seorang memasang Open Office di Microsoft Windows 2000, sedangkan satunya lagi di Linux distribusi Slackware. Keduanya memaparkan bahwa boleh dikatakan tidak ada kesulitan yang berarti dengan pemakaian Open Office. Saya sempat “diundang” melihat konversi berkas yang dihasilkan Writer ke Microsoft Word dan sebaliknya, proses berjalan dengan baik. Termasuk bagian dokumen yang berisi tabel, gambar, efek fonta, dan kode sumber (source code listing).

Teman pemakai Open Office di Slackware pernah mengalami kecelakaan Writer yang digunakan olehnya sempat menyebabkan crash dan menghapus isi berkas yang sedang disunting, namun hal itu terjadi pada versi yang lalu. Dengan versi Writer saat ini produk tersebut sudah lebih baik dan dia tidak menjumpai lagi gangguan seperti sebelumnya. Faktor lain yang turut mendukung: karena di kantor saya sekarang ini para penulis materi dan program menggunakan kendali versi (versioning control) — dipilih Subversion — untuk pekerjaan mereka, salinan versi sebelumnya tersedia di komputer lain yang dijadikan server Subversion. Seandainya pun si Writer bertingkah melenyapkan isi sebuah berkas, versi cadangan dari server Subversion dapat digunakan.

Majalah Chic Menyalin Tulisan Enda Nasution?

| 7 Comments | 1 TrackBack

Lagi-lagi sebuah artikel dari blog dipakai begitu saja oleh sebuah media massa tanpa izin penulisnya. Apa itu Blog? yang ditulis oleh Enda Nasution dipakai oleh majalah Chic edisi Juli 2005. Kendati sudah diubah di beberapa bagian, menurut Enda sendiri, secara verbatim (menggunakan kata-kata yang persis) kalimat yang digunakan di sana diambil dari tulisan dia. Di bagian bawah artikel tersebut memang disebutkan profil Enda Nasution dalam konteks blog, namun tidak ada penjelasan eksplisit bahwa tulisan tersebut diambil dari buah tangan Enda.

Apakah kejadian seperti ini menjadi semacam “resiko” bagi penulis blog yang memasang tulisan mereka di Web? Apakah “ketidakpopuleran” penulis blog dibanding artikel yang ditulis media massa besar mengundang pengutipnya untuk teledor, seenaknya, main comot dari blog?

Sebagian besar penulis blog membolehkan tulisannya digunakan oleh pihak lain. Perbedaan yang biasanya muncul adalah faktor komersial pemakaian berikutnya. Namun demikian, tetap saja: penyebutan sumber sebuah tulisan secara eksplisit adalah keharusan yang tidak dapat ditawar.

Dari Bandung. Di Akhir Pekan

| 5 Comments | No TrackBacks

Karena kesibukan dan kondisi di sekeliling saya berubah, cara menulis entri untuk #direktif perlu disesuaikan. Koneksi Internet yang saya gunakan “terjun bebas” dari 4 MBps untuk empat komputer di rumah, menjadi 64 kBps dipakai ramai-ramai di satu kantor; sedangkan komputer desktop yang saya gunakan jika sebelumnya memiliki RAM 640 MB sekarang hanya seperlimanya, atau 128 MB. Tentu bukan untuk dikeluhkan, melainkan perlu ditangani dengan trik tersendiri agar menulis blog tetap terus berlangsung.

Yang pertama terasa lebih terbatas adalah kelincahan mencari rujukan dari hasil mesin pencari. Klik di hasil pencarian tidak segera memunculkan halaman dari situs Web yang dimaksud. Dengan Google yang relatif stabil kecepatannya, saya ubah dengan mengurangi jumlah hasil pencarian per halaman dari 100 menjadi 25. Halaman pertama hasil pencarian menjadi lebih pendek dan memadai untuk melihat gambaran hasil pencarian. Untuk situs Web hasil pencarian yang gagal diakses atau terlalu lama ditunggu, salinan (cache) yang disediakan Google dapat dijadikan alternatif. Dalam beberapa situasi saya matikan penampilan gambar, sehingga yang muncul hanya materi yang diperlukan.

Karena jarak dari tempat tinggal dan kantor saya dekat, ongkos yang dikeluarkan untuk naik angkutan kota bolak-balik tetap lebih murah dibanding mendatangi Warnet atau koneksi dial up dari rumah. Lagipula, saya memang menyukai suasana menginap di kantor karena seringkali “inspiratif”; tentu saja setelah urusan dengan anak-anak di rumah selesai dan keesokan paginya sudah ada di rumah lagi setelah mereka bangun pagi. Boleh dilihat dengan prasangka baik: inilah cara memanfaatkan koneksi Internet di kantor secara maksimal.

Kegagalan Akses ke Basisdata

| 2 Comments | No TrackBacks

Pemasangan artikel Memutihkan Persoalan Hak Intelektual lewat Dalih Sejarah hari Senin lalu dihinggapi perasaan sedikit risau: mekanisme pemutakhiran (update) artikel ke basisdata gagal, akibatnya saya mengalami kesulitan memperbaiki kategori entri tersebut yang kosong dan kemungkinan komentar dari pengunjung tidak dapat diisikan (karena melibatkan proses pemutakhiran ke basisdata). Pesan yang saya terima adalah kode kegagalan 500 Internal Server Error dari server Web Apache dan jika ditelusuri ke error_log yang dihasilkan Apache, satu-satunya informasi yang diberikan adalah Premature end of script.

Saya coba telusuri beberapa rujukan, umumnya disebutkan bahwa persoalan tersebut bersumber dari izin yang dipasang untuk sebuah berkas. Namun pengamatan saya pada mt.cgi yang digunakan oleh Movable Type sebagai “pintu gerbang” semua urusan menghasilkan kondisi yang sudah sesuai: berkas tersebut dapat dieksekusi lewat cara suexec. Semua berkas di bawahnya juga saya periksa lewat perintah ls -l rekursif, hasilnya juga semua dalam kondisi beres. Apakah ada yang berubah dengan konfigurasi di tempat hosting saya?

Mengapa membela tindakan “mencuri”? Itu pertanyaan yang membuat saya mengernyitkan kening setelah membaca tulisan Radhar Panca Dahana, Pencuri Hak Intelektual. Radhar adalah seorang sastrawan dan tulisan tersebut dimasukkan ke rubrik humaniora. Jika ia berniat membandingkan sejarah penjarahan kebudayaan-kebudayaan dunia, seperti terlalu rendah dia terjun pada persoalan penertiban Warnet yang dibelanya sebagai, yang terbayang adalah penghasilan yang berangka trilyunan rupiah bagi Microsoft. Sedangkan apabila tujuan dia melawan kapitalisme, liberalisme, dan globalisme — itu pun disimbolkan dengan penyederhanaan terhadap “sebuah Microsoft” — seperti tidak sepantasnya membaca “para maling saling berteriak, ‘maling’!.”

Sudah barang tentu, saya tidak ikhlas, tidak mau begitu saja bangsa kita menjadi korban. Kalau saya — katakanlah — “mafhum” pada persoalan penerapan hak atas kekayaan intelektual bukan dalam hal menjadi korban yang ikhlas, melainkan karena melihat ada sesuatu yang tidak seharusnya seperti itu pada proses perlawanan kita. Jika pemerintah yang lalu menyetujui begitu saja WTO, kenapa tidak kita tuntut pemerintah saat ini untuk mengevaluasinya, alih-alih menyebut maling kepada pihak lain.

Itu di level pengambil kebijakan, sekarang coba amati yang terjadi di lapangan: bagaimana kita hendak menuding penjarahan kebudayaan global apabila prosedur penertiban Warnet yang dilakukan petugas masih jauh dari cara-cara yang tertib dan menghormati bangsa sendiri? Bukankah hal ini lebih menyakitkan dibanding tudingan kita kepada bangsa lain? Coba kita bercermin lebih jujur: siapa sebenarnya yang sedang dengan aktif menjarah kita sendiri saat ini? Kebudayaan global, kapitalisme, Microsoft, atau… jangan-jangan sikap bangsa kita sendiri?

About this Archive

This page is an archive of entries from July 2005 listed from newest to oldest.

June 2005 is the previous archive.

August 2005 is the next archive.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261