June 2006 Archives

Respon dari Para Pemusik

| No TrackBacks

Saya menerima beberapa respon dari para pemusik amatir berkaitan dengan tulisan pada bulan Maret lalu, Selain Grup Pemusik “Indie”, Ada Juga Pengamen. Penulis komentar yang memang ingin mengontak Budi Rahardjo untuk membicarakan rencana band indie, saya teruskan lewat email kepada Pak Budi. Mudah-mudahan kedua belah pihak dapat saling bersambut.

Walaupun tulisan saya tersebut baru paparan tentang kemungkinan pemakaian lisensi berbagi untuk bahan pengisi suara podcasting misalnya, saya masih penasaran dengan dua hal:

  1. pertanyaan kepada pihak pemusik atau produser tentang aspek legal pemakaian lagu mereka jika dinyanyikan oleh orang lain (“pengamen”?) dan kemudian disediakan secara terbuka untuk publik.
  2. menghubungi kandidat pemusik (“pengamen” lagi?) yang memiliki lagu dan ingin menyediakannya dengan lisensi terbuka untuk publik.

Iming-iming

| 21 Comments | No TrackBacks

Koneksi Internet yang murah tetap merupakan iming-iming yang menggiurkan: Singapura berminat menyediakan akses nirkabel untuk koneksi Internet berkecepatan tinggi dengan gratis selama setahun. Di diskusi mailing list Technomedia, Budi Rahardjo menyebut hal ini seharusnya kira-kira sama dengan menyediakan akses WiFi untuk daerah seukuran Bandung.

Bagaimana dengan Bandung sendiri? Di beberapa tempat umum — pusat perbelanjaan, kedai minum atau makan, dan lembaga pendidikan — tersedia akses WiFi. Layanan WiFi dari Melsa dapat dilihat di daftar lokasi hotspot gratisan di Bandung dan Telkom sendiri menurut “keluyuran” Kuncoro Wastuwibowo menyediakan di BEC. TELKOMHotspot menyebutkan sebagai berbayar, sedangkan Kuncoro hanya menyebut, “… langsung bisa dipakai tanpa harus tanya userid dan password.” Bisa jadi memang gratis atau Kun berbekal kartu akses untuk perjalanan dinasnya.

Jika hendak membandingkan kualitas vs. ongkos, di beranda Plasa Bandung Indah keduanya berdekatan: Melsa menyediakan di gerai McDonald’s, sedangkan Telkom di Starbucks. Jika McDonald’s menyediakan susunan meja-kursi di luar dan selasar, dengan tata letak ruang di Starbucks, selain perlu ongkos akses, perlu uang jajan tambahan untuk — minimal — secangkir kopi.

Kaskus: Nama Domain dan Serangan Brontok

| 10 Comments | No TrackBacks

Tanggal 25 Mei lalu, Fauziah Swasono, teman saya yang sedang tinggal di Tokyo, menanyakan Kaskus lewat Yahoo! Messenger. Dia sempat mencari informasi tentang karcis dan menjadi penasaran setelah URI kaskus.com gagal diakses dan malah merujuk ke informasi “domain untuk dijual”, dengan harga yang dipatok 9.999 Poundsterling. Saya sempat menyediakan tautan untuk hasil tangkapan layar.

Dugaan saya dan Fauziah pada percakapan pagi itu berkaitan dengan kelangsungan nama domain populer kaskus.com — yang entah karena satu dan lain hal, kemungkinan “disandera” pihak lain. Enda Nasution — yang biasanya tahu lebih awal perihal berita tentang forum-forum — saya tanyai lewat Yahoo! Messenger. Hasilnya: nihil.

Saya kenal Kaskus pada saat aksi mereka setelah musibah tsunami di Aceh, pada awal tahun 2005 lalu. Seingat saya, panji (banner) dari Kaskus dipasang di halaman depan blog ini. Setelah itu, berita-berita tentang Kaskus hanya sayup saya dengar dari beberapa kolega di tempat kerja lewat jargon mereka, Angkat gelas, juragan… Sesekali juga aktivitas di Kaskus terintip lewat milis jika ada anggota yang menyebut foto-foto kontroversial tersedia di sana. Karena untuk mengunjungi ulir diskusi yang dimaksud harus bergabung menjadi anggota, saya hanya sampai di halaman pemberitahuan “hanya untuk anggota.”

Opera 9

| 5 Comments | No TrackBacks

Keterangan tentang sebuah tab sekarang menjadi lebih lengkap di Opera 9, termasuk pratilik dalam ukuran mini (thumbnail preview) yang kemungkinan besar akan memudahkan pemakai dalam memilih tab dari sekian banyak yang sedang dibuka.

Tangkapan layar pratilik-mini

Konfigurasi kunci untuk akses cepat dari papan ketik (shortcut key) akhirnya berkompromi dengan Firefox. Saya tidak perlu lagi mengingat bahwa sekarang sedang menggunakan Opera — sebelumnya sering saya salah ketik Ctrl+T saat hendak membuka jendela tab baru. Widget dan BitTorrent belum saya coba. Untuk Widget, dugaan saya akan menyerupai modul-modul kecil yang dikelompokkan di halaman Add Content Google Personalized Home.

Saya belum menemukan cara menampilkan tip bantuan (tool tip)1 untuk URI seperti di versi lama dan baris status sedang tidak ditampilkan (barangkali harus diset di bagian konfigurasi per situs).

Selamat menikmati Opera 9!

[22 Jun] Ketemu dugaan penyebabnya: tip bantuan tidak ditampilkan karena Opera dijalankan di komputer lain dan luaran ditampilkan di komputer tempat kerja saya. Kemungkinan besar perbedaan tempat penampilan tersebut (di Linux dilewatkan ForwardX11) menjadi penyebabnya.

IGOS atau Perangkat Lunak Bebas?

| 8 Comments | No TrackBacks

Membaca jeritan sukma yang dalam dari Adinoto tentang IGOS, saya tetap ingat pada pertanyaan retorik perihal KPLI lima bulan lalu. Jika urusan KPLI berkaitan antara organisasi dan sebuah perangkat lunak bernama GNU/Linux — yang tentu tidak dapat disamakan begitu saja — Adinoto perlu jeli merenung juga: yang dia komplain IGOS sebagai sebuah inisiatif atau keniscayaan pemakaian perangkat lunak Open Source.

Pernyataan Adinoto,

Tapi saya juga yakin seyakin-yakinnya, hampir seluruh masyarakat non-IT, dan pelaku bisnis tidak pernah dengar/tidak perduli [sic!] dengan istilah Open Source, let alone mau mikirin ngurusin bagaimana membantu (dirinya sendiri), dan pemerintah dalam keberhasilan program ini.

perlu dipertanyakan balik: tidak peduli terhadap perangkat lunak bebas atau tidak peduli terhadap IGOS? Saya akui bahwa dari beberapa teladan teman yang menggunakan produk perangkat lunak bebas adalah pindahan (entah terkena “arus modernisasi” atau kembali ke khittah) dari pemakai produk proprietary atau produk-komersial-tapi-bajakan. Saya belum ketemu dengan mereka yang memang dari awal adalah benih galur murni pemakai perangkat lunak bebas.

Nasib Ajax

| 16 Comments | No TrackBacks

Jadi, untuk apa Ajax?

Mereka yang punya pundi-pundi menyebut Ajax sebuah “omong klobot” (buzzword). Sedangkan kaum fakir bandwidth sudah merapal mantra untuk mengusir Ajax karena membokong koneksi. Bagi sebagian orang yang sudah sebal dengan spyware atau worm yang seenaknya membuka koneksi tanpa sepengetahuan pemakai komputer, Ajax hanya sedikit lebih baik: dijamin oleh pembuat situs Web besar dan berbekal izin, namun tetap saja tukang selonong sulit dipantau.

Ajax, pada sebuah sisi, memang perpanjangan mimpi Network Computer yang ramai dibicarakan pada saat Java awal-awal dikenalkan — sekaligus membuktikan prediksi saat itu bahwa Network Computer juga sangat mungkin gagal. Mereka yang tidak segera antusias dengan konsep Network Computer antara lain menyebut bahwa secara alamiah pemakai aplikasi merasa lebih aman menggunakan aplikasi yang dipasang di komputernya dibanding harus mengambil aplet dari peladen, kemudian dijalankan di komputer lokal. Ajax lebih-lebih lagi: dia menciptakan lorong koneksi yang terus-menerus1 melakukan kontak dengan peladen. Bukan hanya perasaan keamanan, nasib kita — pemakai koneksi Internet di Indonesia — seperti di ujung tanduk: pemuatan halaman Web yang perlu waktu lama, pemutakhiran status dan informasi yang terus-menerus (yang berarti ada resiko kegagalan sinkronisasi), dan histori di perambah yang tidak dapat dipakai dalam modus offline (betul, sepulang dari kantor, tidak selalu ada koneksi Net di rumah).

MP3 di Ubuntu dan EasyUbuntu

| 4 Comments | No TrackBacks

Terima kasih Eko: saya sudah mencoba EasyUbuntu kemarin. Jatuh-bangun memang, apalagi kalau bukan persoalan lebarpita! Entah siapa yang sedang aktif menggunakan Internet di kantor sepanjang hari, sampai dengan Spanyol bertanding melawan Ukrania dan para pekerja giliran malam di Jalan Tubagus Ismail, Bandung, berkerumun di depan televisi di beranda gerai-gerai mereka, koneksi Internet masih seperti siput di kantor saya.

Hal yang menarik dengan EasyUbuntu adalah kepraktisan dalam menyediakan codec, untuk MP3 misalnya. Pada instalasi pertama saya dengan Ubuntu, secara tidak sengaja codec MP3 terpasang (kelihatannya dari salah satu pustaka Xine). Namun pada instalasi kedua, saya ingin mencoba lebih bersih — hanya memasang paket yang diperlukan, dan untuk pemutar multimedia Totem saya hanya memilih Gstreamer. Hasilnya: format MP3 tidak dapat dimainkan.

Distributed.net dan "Notebook"

| 2 Comments | No TrackBacks

Saya penggemar distributed.net. Bagi Anda yang belum kenal, distributed.net adalah projek penghitungan-tersebar untuk keperluan umum. Implementasi projek ini dalam bentuk program kecil yang memanfaatkan sisa beban pemakaian CPU dan berkomunikasi dengan pengolah data terpusat mereka lewat koneksi Internet. Ambisi Distributed.net adalah mendapatkan perhitungan sumber daya yang diperlukan untuk memecahkan kode enkripsi secara brute force (metode mendapatkan skema kriptografi dengan cara mencoba kemungkinan dalam jumlah besar).

Selain di komputer kerja saya di kantor dan server Web yang menjadi tanggung jawab saya, sesekali distributed.net juga dipasang di komputer-komputer yang diset untuk saya gunakan secara temporer. Tentang peringkat di distributed.net dan hadiah bagi mereka yang “beruntung” karena memperoleh bagian “pemecah kode”, saya tidak terlalu memedulikan. Yang lebih menarik adalah “memaksa” pemroses komputer agar selalu bekerja 100% sepanjang waktu. Jangan biarkan mereka bertopang dagu!

Untuk komputer desktop, praktis tidak ada persoalan. Kecuali di Microsoft Windows 97 SR-2 yang menurut saya tidak efisien (di atas komputer 486 DX-4 dan distributed.net terpasang di GNU/Linux pada mesin yang sama), program yang melahap sisa kapasitas pemrosesan ini dengan ajek bekerja. Namun tidak demikian di notebook — dengan agak “bandel” juga coba.

Donasi dalam Bentuk Perangkat Lunak untuk LSM

| 13 Comments | No TrackBacks

Di mailing list Jurnalisme, D Guntarto mengirim email berisi informasi dari Microsoft tentang inisiatif donasi perangkat lunak untuk LSM. Salinan email dengan subjek Donasi Perangkat Lunak yang diedarkan pada tanggal 5 Juni:

Linux di Acer Aspire: Linpus hingga Ubuntu

| 15 Comments | No TrackBacks

Pertama memang terlihat impresif: notebook Acer seri Aspire menyediakan GNU/Linux dalam kondisi sudah terinstalasi (atau lazim disebut pre-installed). Mengingat jumlah distribusi di Linux yang sedemikian banyak, pertanyaan pertama yang muncul adalah: distro Linux yang mana yang dipilih Acer? Jawaban dari pedagang sedikit membuat dahi berkernyit, Linpus. Hanya untuk konsol. Hanya menyediakan terminal teks untuk mesin sekelas AMD Sempron? Hadirin bisa heboh, seperti halnya yang saya alami jika sedang berkutat di belakang komputer melakukan instalasi Debian GNU/Linux, Sudah keluar warnanya? Dari tadi baru hitam dan putih.

Benar-benar tanggung niat Acer membekali produk notebook mereka dengan Linpus. Saya baca di DistroWatch, Linpus sudah tidak masuk pada peringkat halaman yang diakses selama enam bulan terakhir dan artikel tentang dia terakhir muncul pada tahun 2002. Jika memang niat Acer sekadar ada sistem operasi untuk mengoperasikan notebook, FreeDOS lebih praktis. Toh piranti kartu jaringan nirkabel dari Broadcom, BCM4318, tidak terdeteksi dan tidak disediakan pengendali (driver) di instalasi Linpus tersebut. Sampai ada yang menimpali, Tampaknya Acer mempercayai bahwa tidak ada orang yang akan memakainya dengan Linux.

About this Archive

This page is an archive of entries from June 2006 listed from newest to oldest.

May 2006 is the previous archive.

July 2006 is the next archive.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261