September 2005 Archives

Setahun Fenomena Blog Versus MLM

| 7 Comments | No TrackBacks

Bulan September 2005 akan berakhir besok, meninggalkan catatan satu tahun kasus Anne Ahira di media baru yang kemudian di akhir tahun yang sama meledak, yakni blog.

Di bulan September 2004, secara tidak diduga tulisan Priyadi Iman Nurcahyo tentang email spam yang diterima dari Anne Ahira menuai respon balik berupa komentar dalam jumlah banyak dan berisi ungkapan menyala-nyala. Entri tersebut melejitkan Priyadi sebagai penulis blog “paling cepat populer” di Indonesia (dia mulai menulis lagi pada bulan itu juga)1, menjadikan situs blog miliknya pengumpul komentar dengan jumlah rata-rata terbanyak di lingkungan blog (apalagi jika komentar spam dibiarkan muncul), dan peristiwa ini secara tidak langsung memunculkan idiom baru, “blog versus sesuatu”. Sesuatu ini adalah “pemberitaan tentang Anne Ahira” pada mulanya.

Blog: Diakui dan Dapat Dijadikan Alat Bantu Terapi

| 3 Comments | No TrackBacks

Pada konferensi lewat Yahoo! Messenger tanggal 22 September lalu, tercetus pertanyaan dari Budi Rahardjo, Apakah kalian para penulis blog diakui? Karena sebagian besar yang hadir adalah penulis blog atau mereka yang mengelola situs Web pribadinya dengan alat bantu blog, saya memilih menjawab dengan “rendah hati”, Memang tidak diakui. Setidaknya sampai hari ini tarik-ulur antara media arus utama — yang dilengkapi satu kompi tenaga jurnalistik formal — dan jurnalisme akar rumput masih berlanjut. Budi Rahardjo sendiri memberi gambaran di bagian berikutnya dari diskusi bahwa tulisan dia di blog dijadikan rujukan oleh beberapa pihak yang berkepentingan dengan urusan dia dalam sengketa pengelolaan domain ID. Semacam “sisi lain” yang didengar.

Sudah barang tentu lebih banyak lagi penulis blog, terutama di Indonesia, yang berada pada sisi sebaliknya: hanya “orang kebanyakan” yang ingin mengaktualisasikan pendapatnya lewat blog. Belum pantas disebut pakar, sehingga perlu usaha lebih keras lagi untuk menjadikan blog sebagai kendaraan yang membawa opini pribadi.

Pertama kali saya tahu keberadaan blog Polisi EYD adalah dari hasil pencarian di Technorati. Waktu itu saya periksa taut dari blog lain yang merujuk ke #direktif dan saya peroleh tulisan Ali Imron yang menyinggung pemakaian Bahasa Indonesia baku dengan judul sedikit berisi peringatan, Hati-hati, Tertangkap Pak Polisi!. Setelah itu Polisi EYD dimuat di Detik.com dan kemudian sering disebut di id-gmail — dua tempat yang sangat potensial menghasilkan “Efek Slashdot” ala Indonesia. Pantas jika saya ucapkan selamat untuk blog Polisi EYD pada usianya yang masih muda.

Sedikit yang mengusik adalah saya dikait-kaitkan dengan situs blog tersebut. Pada mulanya beberapa teman di id-gmail secara berseloroh menyebut “Polisi EYD” jika entri tentang aturan di dalam Bahasa Indonesia mulai saya lontarkan. Sebenarnya bukan hanya saya sendiri, Yulian F. Hendriyana, atau lebih dikenal dengan panggilan “Jay”, juga salah satu penikmat tulisan tentang aturan di dalam Bahasa Indonesia.

Opera Akhirnya Gratis

| 8 Comments | 2 TrackBacks

Hasil menjenguk arsip mailing list Diskusi Hosting, salah satu pemberitahuan tentang ulang tahun kesepuluh Opera adalah penyediaan versi gratis (tidak ada banner iklan di atas) pada tanggal 31 Agustus lalu. Ah, sayang… saya terlambat membaca tawaran tersebut.

Feel Free - Opera

Gambar diambil dari Portal Opera

Tergerak saya untuk mendatangi situs Web Opera dan terlihat perubahan yang mencolok di portal mereka, terutama bagian blog. Tata letak dan desain antarmuka sudah lebih halus, seperti melengkapi acara ulang tahun. Setelah menikmati kunjungan ke beberapa halaman di dalamnya, sebuah entri baru blog dari tim Opera muncul: Opera is Free!.

Ternyata “hadiah” tanggal 31 lalu adalah icip-icip dari rencana menyediakan perambah ini gratis secara total hari ini. Agar yakin, saya unduh versi Qt untuk Debian GNU/Linux Sarge. Benarlah, versi yang ditandai dengan nomor 8.5 ini sudah membuang banner iklan di bagian atas yang dulu lumayan menyita tempat. Dua orang teman segera mengambil Opera versi Windows dengan pertimbangan dapat dipakai sebagai perambah untuk keperluan pengujian halaman Web dan satu lagi karena integrasi dengan klien email dan antarmuka email yang dianggap lebih enak.

Uji Coba Antarmuka Baru Yahoo! Mail

| 3 Comments | No TrackBacks

Terbetik kabar dua hari lalu bahwa Yahoo! sedang melakukan uji coba antarmuka baru Webmail mereka dengan tampilan yang “lebih dinamik”. Dengan bantuan DHTML, pemakai akan merasakan sentuhan seperti halnya menggunakan klien email non-Web — disebut Outlook dalam hal ini — dan tidak perlu lagi bolak-balik antarhalaman Web yang memang membosankan dan ongkos untuk menampilkan sebuah email lebih mahal. Selain Outlook, produk lain seperti Mozilla Thunderbird, Evolution, Eudora, juga menggunakan antarmuka serupa; ditandai dengan pembagian jendela menjadi tiga blok, sebuah di kiri berupa lajur vertikal untuk menampilkan semua map kotak surat (Inbox, Trash, Draft, dan map buatan pengguna, misalnya), diikuti oleh pembagian dua lajur di kanan secara horizontal menjadi tampilan daftar email di map yang sedang aktif di bagian atas dan isi dari email di bagian bawahnya. Salah satu contoh tampilan tiga blok tersebut dapat dilihat di dokumentasi Evolution yang disediakan oleh Novell.

Di akun Yahoo! Mail saya, uji coba yang dimaksud belum terlihat — berarti saya bukan termasuk peserta tes. Kendati demikian, berita di atas menarik diikuti karena jika saya perlukan Yahoo! dalam modus Web (sekarang ini hanya “dilewati” karena email yang datang ke Yahoo! diteruskan ke server email kantor saya), usaha untuk pindah dari satu email ke email lain tidak terlalu melelahkan. Gmail pun saya biarkan modus Web untuk beberapa mailing list — jumlahnya tidak sebanyak yang saya pakai di akun email Yahoo!.

Dunia Maya Kita

| 1 Comment | No TrackBacks

Apakah sekarang ini masa gelap Internet di Indonesia?

Setelah kabar tentang IIX beredar dan diralat atau tidak jadi, demikian juga dengan sekian polemik di beberapa mailing list — yang umumnya berkisar pada kebijakan pengelolaan infrastruktur penting Internet di Indonesia — kita semua, para pemakai, menghadapi kenyataan bahwa dunia maya yang menurut saya menjadi perluasan dari negara Indonesia di masa kini dan mendatang, sama “menantangnya” untuk diurus lebih baik. Sebagian orang menyatakan kekecewaannya, sebagian lagi membawa-bawa nama publik (10-12 juta pemakai Internet di Indonesia — lumayan juga, kira-kira seperti penduduk Belgia atau Yunani), dan tentu saja sebagian lagi melihat seperti gajah-gajah sedang bertarung.

Karena diskusi beredar umumnya di mailing list (forum yang sejauh ini paling terbuka menerima banyak kalangan), diskusi bisa seperti sedemikian memanas dan seringkali terburu-buru juga akan dilerai. Saya justru melihat lebih baik urusan antarorganisasi atau antarpersonal diselesaikan dengan sejelas mungkin, sila blak-blakan, dan sejauh ini tempat seperti mailing list dapat mengakomodasi pihak-pihak yang bertikai dan “perwakilan” publik yang menjadi anggota di mailing list tersebut. Kondisi tersebut tetap lebih praktis, dapat menjadi tempat penggodokan awal sebelum dilangsungkan kesepakatan atau ketidaksepakatan antarpihak secara formal. Anggota mailing list, kendati sedikit, sudah merupakan “masyarakat” Internet yang memedulikan persoalan, antara lain ditunjukkan dengan ikut mailing list.

Alternatif tersebut adalah LaTeX

| 3 Comments | No TrackBacks

Akhirnya saya mulai menggunakan LATEX untuk keperluan penyajian dokumen. Melengkapi HTML yang lebih dulu saya pakai untuk menyediakan dokumen berformat untuk orang lain. Menambahi rencana saya mendalami DocBook yang sampai saat ini sering turun prioritas untuk dipelajari lebih dalam karena terpaksa harus menggunakan alat bantu yang segera siap-saji.

Awalnya saya agak ragu menggunakan LaTeX karena menurut saya dia selevel dengan HTML, sehingga urusan penyediaan dokumen berformat sudah memadai direpresentasikan dengan HTML. Belakangan ini terdapat tuntutan tambahan yang perlu dipertimbangkan ulang:

MP3 Berbayar untuk Lagu-lagu Lama

| 4 Comments | No TrackBacks

Pada perjalanan menuju ibukota, di salah satu titik pemberhentian jalan tol Cikampek-Jakarta, mendekati Bekasi, bulan Juli lalu, saya sempat membicarakan perihal kemungkinan menyediakan lisensi yang lebih longgar untuk produk musik dalam negeri dengan Budi Rahardjo. Terutama untuk karya-karya yang sudah berusia “lama”, katakanlah peredaran versi inisial (biasanya lewat media kaset dan CD) sudah mulai distop. Obrolan ringan ini sedikit-banyak terkait dengan usulan saya agar lisensi untuk produk seni dibuat lebih longgar.

Bagaimana jika lagu-lagu yang sebelumnya tersedia dalam bentuk kaset dan CD, setelah melewati masa tertentu disediakan dalam format praktis MP3? Baik dihibahkan untuk keperluan publik secara cuma-cuma (kontribusi dari para musisi) atau tetap dijual dengan harga yang sangat murah.

Dari hasil sigi yang dibuat oleh Budi Rahardjo sendiri, harga Rp 1.000,00 per lagu mendapat peminat yang paling banyak. Pada pembicaraan di Bekasi tersebut, saya memperoleh keterangan bahwa royalti yang diterima oleh penyanyi adalah sekitar Rp 1000,00 per kaset. Hal ini seperti ditulis di SWA tanggal 13 Mei 2004, Gemerlap yang Menciptakan Bisnis-bisnis Baru. Dari hasil sigi Rp 1000,00 per lagu, jika katakanlah si penyanyi memperoleh Rp 100,00 (netto), angka ini masih menarik: sebuah album dalam bentuk kaset yang terdiri sekitar 10 lagu akan tetap menghasilkan hasil yang sepadan dengan royalti per album. Sisi lain bahwa kemungkinan terdapat lagu-lagu tertentu yang “lebih laku” dan transaksi yang terjadi bukan dalam bentuk “bundel” album, menurut saya adalah konsekuensi dari masa edar album tersebut yang sudah lama.

Saya Tertarik Memakai Linux...

| 4 Comments | No TrackBacks

Di salah satu diskusi di mailing list Alumni Pustena, saya sempat mencetuskan kalimat retorik, […] agar ketergantungan terhadap perangkat lunak komersial diimbangi dengan belajar produk alternatifnya. Seorang teman, Badrus Zaman, tertarik dengan “pernyataan” tersebut dan memaparkan pengalamannya dalam memilih distribusi GNU/Linux, sebagai berikut,

Hampir sebulan ini saya tertarik untuk memakai Linux. Saya cari berbagai tulisan di internet tentang distro Linux dan cara mendapatkannya, akhirnya saya beli 3 distro dari suatu situs: Mandriva (Mandrake Linux) LE 2005, Suse 9.3, dan PCLinuxOS. Murah kok, hanya Rp 5.000,-/CD ditambah ongkos kirim Rp 10.000,- (jadi hanya Rp 70.000 saya dapat 12 CD). Saya instal di komputer kantor. Wah senang sekali ketika saya pertama pakai Mandriva, gampang instalnya. Saya senang pakai desktop KDE, tampilannya mirip Windows. Selain KDE, di Mandriva juga ada Gnome dan beberapa desktop lainnya. PCLinuxOS juga menyenangkan karena tidak perlu diinstal. Sedangkan Suse katanya sangat bagus untuk mengenali hardware yang terpasang. Komputer saya di kantor pakai prosesor Pentium 4 dan memori 256 MB.

Ketika saya berniat menginstalnya di komputer rumah yang cuma pakai prosesor AMD Duron 800 MHz dan memori 128 MB, saya khawatir spec komputer saya tidak memadai. Saya cari di internet distro Linux yang ringan, gampang diinstal dan semudah Windows memakainya. Dari GudangLinux Migration Center (http://www.gudanglinux.net/gmc/index.php) saya dapat rekomendasi untuk memakai Ubuntu. Setelah saya lihat di websitenya, ternyata Ubuntu pakai desktop Gnome. Saudara kembarnya adalah Kubuntu yang pakai desktop KDE. Akhirnya saya beli lagi: Kubuntu dan beberapa distro ringan lainnya.

Saya coba distro-distro ringan tersebut di kantor dulu. Hasilnya memang masih banyak kekurangan. Kubuntu tidak mengenali dengan baik monitor GTC yang dipakai, akibatnya resolusinya jadi maksimal tinggal 800x600. Kalau monitornya diganti Samsung jadi bagus resolusinya. Knoppix susah setting networknya. Yang paling bagus dari yang saya beli, saya rasakan adalah Linspire, tapi jalannya berat kalau pakai memori 128 MB (di kantor kan banyak komputer, cari yang RAM-nya 128, pinjam dulu). Dll, yang semuanya masih belum seperti yang saya harapkan.

Saya jadi bingung untuk beralih ke Linux untuk menggantikan Windows 98 saya di rumah. Belum lagi mikirin bagaimana menjalankan Holy Qur’an saya di Linux.

Kutipan di atas disalin langsung dari email yang dikirim Badrus.

Salam Perpisahan Tim ccTLD-ID

| No TrackBacks

Menjelang tengah malam akhir bulan Agustus ini, Yanto, moderator mailing list ccTLD-ID (dulu bernama IDNIC) mewakili tim ccTLD-ID mengucapkan “salam perpisahan” lewat mailing list.

Hari demi hari telah kita lalui, dan sekarang merupakan detik-detik terakhir Saya dapat melayani Anda semua, Mohon ma’af yang sebesar-besarnya baik kata atau perbuatan yang kurang berkenan selama memberikan pelayanan kepada rekan-rekan semua.

Setelah kisah panjang mulai dari harapan pengelola IDNIC (waktu itu) untuk menyelenggarakan konsep registrar yang akan menjadi antarmuka dengan pengguna domain id, diskusi aturan main pemakaian nama domain, sampai dengan kejutan perselisihan yang sangat tiba-tiba antara pengelola nama domain, IDNIC, dan asosiasi penyelenggara jasa Internet, APJII. Konflik tidak terhindarkan dan berakhir dengan penyerahan pengelolaan nama domain id ke Kementrian Komunikasi dan Informasi.

About this Archive

This page is an archive of entries from September 2005 listed from newest to oldest.

August 2005 is the previous archive.

October 2005 is the next archive.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261