Saya termasuk yang sedikit khawatir dengan ribut-ribut paten yang menghantui Linux. Lebih tepatnya hal ini adalah persoalan produk Free Software, karena Richard M. Stallman juga menyebutkan paten adalah ancaman terburuk bagi GNU. Bukan hanya kode yang terdapat di kernel, menyediakan sistem pemberkasan FAT pun bisa terjerat paten. Walaupun Indonesia “dipuji” oleh Stallman karena belum ada paten untuk perangkat lunak, para pengembang Free Software mayoritas tinggal di negara yang menerapkan paten untuk perangkat lunak.
Alasan saya sederhana: saya sudah terlanjur menyukai lingkungan UNIX, baik untuk bekerja maupun bersenang-senang; saya perlu perangkat lunak dengan harga nol, karena pekerjaan yang dilakukan di atasnya juga bersifat non-profit; dan fleksibilitas. Ketiga hal tersebut dapat terancam oleh paten, walaupun saya juga tidak bisa menyodorkan hitung-hitungan kerugian seperti halnya perusahaan besar yang memiliki batalyon keuangan. Saya hanya mengandalkan doa bahwa seharusnya terdapat jalan untuk mereka yang ingin berbuat baik terhadap sesama.
Mengapa menjadi melankolis? Ini kan persoalan hukum dan bisnis yang (umumnya) dapat dipecahkan dengan adu argumentasi?
Karena seringkali adu kekuatan di sekitar Free Software berisi gertakan, isu tidak jelas, dan adu domba. Istilah yang sudah umum: Fear, Uncertainty, and Doubt (FUD). Tentu wajar juga jika bagi saya FUD itu justru dari keluarga Microsoft Windows, karena saya dibayang-bayangi banyak hal tidak jelas: bagaimana seandainya harus beli perangkat lunak tambahan, bagaimana jika ganti versi perlu pemutakhiran, sampai dengan bagaimana sebenarnya mengubah registry agar koneksi ke jaringan aktif kembali? SP2: Supaya Pusing versi 2!
Kernel Linux sudah berulang tahun ketigabelas. Saya sendiri hanya penggembira dan berharap sederhana: kalaupun Linux sudah diterima di lingkungan enterprise, jangan lupakan pemodal pas-pasan yang menjalankan Linux karena dianggap bagian dari kehidupan itu sendiri. Karena kaum kusam ini yang tidak terlalu rewel minta layanan dukungan teknis dari Linux yang memang sudah tersedia cuma-cuma. Bahkan lebih kalem dan tidak asal komplain bahwa “revolusi” ini penuh ketidakpastian hanya gara-gara kegagalan mengoperasikan pencetak dari Linux. Kata revolusi saya beri tanda petik karena saya juga tidak membayangkan dunia berubah dalam sekejap karena Linux, melainkan sebuah keniscayaan yang tumbuh bersama komunitas itu sendiri.
Revolusi itu istilah Frans Thamura yang sayangnya langsung mogok begitu saja setelah tersandung persoalan pencetak di Linux. Saran saya untuk Frans: belajar Java dulu deh; karena Java adalah gula manis di tempat kerja dengan para pemakai yang terbuka hatinya memilih Python di rumah atau di lingkungan lain yang lebih bening.
Ah jadi ikut salah sebut (namun bukan salah ejaan): yang saya tulis Linux di atas seharusnya GNU/Linux. Sorry, Mr. Stallman. Ideologically I have no problem with your idiosyncratic style; it just practically occupies more bytes.
Tapi memang betul lho, untuk setting printer laser di linux agak2 susah :D.
Masalah hak paten untuk software, hmm… ‘CURANG’ ya?
Contohnya format FAT, : spesifikasi-nya berupa format penyusunan. : Saya anggap format penyusunan sejenis dengan rumus matematika.
Sekian.joke: Ayo buruan ndaftarkan penemuan tentang ‘RODA’ yang berbentuk lingkaran…. udah ada patennya belum ya?