Sementara di lingkungan politikus sedang sibuk berdebat tentang menyetujui hasil Pemilu atau menolaknya, persoalan perhelatan besar ini akhirnya merembet pada keributan di tim TI KPU. Apabila sebelum Pemilu berlangsung sempat terjadi silang pendapat tentang penggunaan produk Microsoft Windows atau Linux, dengan pertimbangan sisi Open Source (dan implikasinya ke biaya lisensi perangkat lunak), perdebatan panjang saat ini menyangkut persoalan perhitungan suara. Selain dianggap terlambat, akurasinya diragukan oleh banyak pihak.
Persoalan terlambat, atau meleset dari hitungan 9 jam, dibantah oleh Basuki Suhardiman bahwa titik awal perhitungan tersebut adalah dari entri di kecamatan, bukan dari TPS. Terlepas dari hal tersebut, di beberapa TPS memang dilakukan Pemilu susulan, dengan demikian faktor di luar TI berpengaruh. Persoalan di lapangan yang cukup kompleks ini pula, semisal faktor operator entri data, yang luput disebut dalam hitung-hitungan pertanyaan Yohanes Nugroho, kendati secara faktual ruang penyimpanan data dan kecepatan pengiriman data dianggap memadai.
Namun retorika yang disampaikan Onno W. Purbo, “Perjoeangan IT Untuk Demokrasi Indonesia”, menurut saya agak janggal. Kenapa persoalan teknis TI KPU ini diawali dan diakhiri (pada tulisan itu) dengan bentuk sentimentil? Lebih baik penjelasan teknis di lapangan terhadap beberapa hal yang menyebabkan pertanyaan faktor fair sebagai taruhan TI ini dicarikan solusinya.
Terakhir, tulisan disertai himbauan dari Johar Alam yang dikirim ke Genetika, perlu diperhatikan. Email tersebut disalin di sini karena arsip Genetika tidak dapat diakses publik.
Setelah H+7 pemilu dilaksanakan. Kurang lebih keadaannya begini:
Case I (Hari H sampai H+1)
- Konsorsium 11 Stasiun TV beradu dengan IT KPU
- Media-online beradu dengan IT KPU
- Telkom diadu dengan IT KPU
Permasalahan berputar disekitar data daerah yang katanya sampai antri 5 jam tidak bisa sampai ke KPU pusat dan publik tidak bisa mengakses hasil tersebut.
Masyarakat IT berhasil menetralisir keadaan dengan menyambungkan Fiber Optic 100MBps ke KPU. Juga meminjamkan Router seri besar ke anak-anak IT disana. Selesai dalam 1 x 24 jam.
Case II (H+2 dan H+3)
- Panwaslu diadu dengan IT KPU
- ICW diadu dengan IT KPU
Teman-teman yang termakan emosi berhasil bersabar dan merubah opini masyarakat dari Membubarkan IT KPU menjadi: IT KPU tetap dilanjutkan karena toh masih bisa di audit kemudian.
Masyarakat IT berhasil kembali meredam keresahan masyarakat dalam tempo 1 x 24jam.
Case III (H+3 sampai sekarang)
- Tim KPU 2004 diadu dengan Tim KPU 1999
- Dua teman dekat kita diadu : Kang Onno dengan Kang Budi Rahardjo (ITB diadu dengan ITB).
- APJII diadu dengan APJII. Tanpa banyak yang mengetahui, saya tidak malu untuk bilang saya pun termakan umpan provokasi dan secara japri “berantem” dengan Pak Heru. (Sorry ya Pak Heru..)
- Masyarakat IT dipecah jadi 2 : Pro IT KPU 2004 dan Kontra
Case ini tidak bisa kita selesaikan dalam tempo 1 x 24jam. Dalam kelengahan kita terbitlah publikasi : “21 Partai menolak hasil Pemilu” yang akan berakibat:
Case IV
- Masyarakat diadu dengan KPU
Kita masih punya kesempatan untuk tidak ikut dalam permainan “catur” ini. Karena kita semua (IT KPU 2004, IT KPU 1999, APJII, Warnet, Akademisi, Politikus IT dan lain-lain) adalah salah satu masyarakat IT yang setahu saya paling bersatu dan solid di region ini bahkan mungkin paling kompak sedunia.
Selama kita tidak pecah. Berarti siapapun yang mengambil keuntungan dari adu-mengadu (mungkin direncanakan atau tidak) ini TIDAK AKAN BISA MENGAMBIL KEUNTUNGAN. Kalau dari bahasa era orde baru : jangan sampai ditunggangi. :)
Kalau sampai masyarakat terprovokasi akibat kita saling tunding-menunding; dan Pemilu ulang dicanangkan oleh 21 parpol; dan Pemilu ulang ditentang oleh 3 Parpol besar; maka :
Akibat yang mungkin terjadi adalah kerusuhan antar masyarakat yang akan disertai dengan penjarahan. Pendek kata : Chaos.
Menurut saya Masyarakat IT adalah suatu kekuatan yang tidak pernah diperhitungkan dapat berbuat sesuatu untuk menghambat segala rencana kaum politikus.
Mari kita tunjukkan mereka sebaliknya. Kita diam. Kita ketemu bukan lewat e-mail. Kita bikin satu Grand Plan yang besar. Kita kerja. Dan kita bikin mereka kaget atas apa yang bisa terjadi kalau orang IT bersatu!
Saatnya bekerja teman-teman. Jangan sampai mereka memperalat kita.
Saya sendiri tidak mengikuti secara khusus persoalan TI selama Pemilu 2004 ini karena beranggapan topik tersebut lebih baik dibahas secara lebih rinci tersendiri, semisal Weblog Pemilu 2004 yang disusun Enda Nasution. Topik Pemilu berada di luar tema yang dibahas #direktif, namun karena gaungnya sampai kepada mayoritas pemakai komputer di Indonesia, sedikit informasi tentang hal tersebut menarik dipasang di sini.
Jadi rame dan masalah tersendiri ya akhirnya soal teknologi di pemilu saat ini. Kepikiran kemarin bahwa para perencana KPU (IT maupun bukan) harusnya lebih banyak memberi perhatian pada Murphy’s Law :)
If there’s possibility something going to be wrong, it will.