Dari informasi yang dikutip Idban Secandri saya baca bahwa IBM Indonesia sedang menyelenggarakan hajatan bagi mereka yang berkecimpung, dan tentunya lebih-lebih lagi punya jasa, dengan Linux dan Open Source. Karena saya belum sampai pada tingkatan seprestisius itu dan, sebaliknya kalau mau sedikit nggaya, belum tentu IBM Indonesia punya award yang cocok untuk saya, jadi lebih menarik membicarakan harapan Idban di bagian akhir. Demikianlah artikel ini saya beri judul: karena bagi saya warga Indonesia, Idban Secandri jauh lebih berharga dibanding IBM.
Saya membaca nama Idban pertama kali waktu dia mengusahakan situs Web pencacah pemakai Linux di Indonesia. Saya cari di Wayback Machine dan tercatat pada tahun 2001: pada saat ekspresi “Saya memakai Linux, lho!” menghangat di Indonesia, sehingga rasanya menjadi keasyikan tersendiri (dan barangkali bagi sebagian orang, kebanggaan tersendiri?) berkumpul menyatakan sikap, kendati hanya lewat “sensus” tidak resmi yang dibuat Idban. Entah situasi tersebut sudah berubah atau menjelma menjadi bentuk lain, yang jelas saat ini Linux Desktop sudah menjadi hot topic, yang boleh jadi bertambah banyak pemakaiannya.
Namun harapan Idban masih mengundang spekulasi terhadap kehidupan tenaga TI di negeri kita. Di tengah hingar-bingar kompetisi beberapa perusahaan raksasa TI yang mengerahkan sumber dayanya masuk ke arena Linux; di antara sekian banyak isu relokasi industri TI ke negara-negara berkembang dengan sekian alasan berbunga-bunga bernama efisiensi. Negara-negara tujuan tersebut memiliki standar hidup lebih rendah dibanding negara industri asalnya, sehingga secara praktis tenaga TI di negara tujuan — secara realita ekonomi — dapat dibayar lebih murah. Walaupun jika dilihat di ujung lain, produk yang dihasilkan tetap harus memenuhi kendali mutu yang lebih ketat di negara asalnya. Ringkasnya: gaji setara Indomie rebus, produk yang dihasilkan sekelas Lembah Silikon.
Keinginan memperoleh penghargaan lebih dari sertifikat, yakni penghidupan yang lebih terjamin, sudah barang tentu jika dilihat secara sepintas dari acara IBM Indonesia tersebut, merupakan sesuatu di luar konteks. IBM, dan perusahaan lain, memiliki cara tersendiri untuk rekrutmen dan terpisah dengan kegiatan insidentil seperti ini. Prosesnya bisa lebih panjang, lebih berat konsekuensi legalnya, dan seandainya mereka memang mulai melirik kepada tenaga TI dengan latar belakang Open Source, saya malah lebih berharap raupannya lebih luas. Jadi bukan hanya meloloskan sedikit dari mereka yang berada di puncak gunung ramai-ramai isu Open Source ini.
Saya faham hal ini tidak mudah. Banyak faktor lain dalam persoalan tenaga kerja. Relokasi pekerjaan ke Indonesia saja lebih tidak terdengar dibanding beberapa negara lain semisal Cina dan India. Kendati secara individu barangkali beberapa tenaga ahli kita tidak kalah dengan negara lain tersebut, secara komunitas masih perlu waktu. Sedangkan jika individu yang dipakai sebagai patokan, maka penampakan bibit unggul baru terlihat lewat seleksi yang sangat terbatas seperti acara IBM Indonesia tersebut. Atau dengan perkataan lain: kualitas tenaga ahli kita dilihat oleh orang luar seperti IBM baru pada level acara seperti “kualifikasi idols”.
Tentu saja tidak usah gusar dan tidak perlu menunggu atau menyalahkan siapa saja. Mari kita menghargai di antara kita terlebih dahulu. Yang kita angkat dan acung salut adalah kerja keras dan ikhtiar sungguh-sungguh. Karena hal tersebut adalah harga yang sewajarnya dari jerih-payah yang telah dibuktikan oleh si pelaku.
Silakan ditafsirkan penghargaan tersebut sesuai kapasitas masing-masing. Bagi saya sendiri jelas: acung dua jempol untuk Idban Secandri atas sepak terjangnya selama ini. Apabila harapan Idban pada tulisan tersebut menjadi inspirasi bagi mereka yang punya jalan untuk merealisasikannya, saya bertambah senang karena hal itu akan melengkapi.
[3 Agu] Budi Rahardjo menulis tentang kemajuan dalam hal riset yang diperoleh dari buklet kecil IBM Research: The evolution of innovation at IBM.
iya, salut deh buat pak idban!