Balai Monitoring (Balmon) hendak beraksi lagi. Menurut email yang dikirim Onno W. Purbo, penertiban hendak dilakukan di Jawa Timur. Siapa lagi yang hendak jadi sasaran? Warnet tidak berizin atau PJI kecil yang menggunakan cara koneksi RT/RW? Kendati pada perkembangan berita selanjutnya disebut rencana ini ditunda, namun sepak terjang Balmon akhir-akhir ini mengundang perhatian.
Baru tanggal 22 September yang lalu, Judith Moniq Samantha, Ketua Presidium Asosiasi Warnet Indonesia (Awari) menyebut hampir 60% Warnet di Indonesia kolaps (salinan di Google). Sebelumnya, pada tanggal 6 September, Budi Witjaksana, Ketua Koperasi Warnet (Kowari) Surabaya, menyebut anggota mereka tinggal sepertiga dari jumlah 175 pada saat booming Warnet tahun 1999. Kedua pengurus organisasi tersebut tentu melihat dari sudut pandang pengelolaan bisnis Warnet, terutama dalam hal mengatasi kelesuan sekarang ini. Citra Warnet sebagai sarang penyamun digital dan kolektor materi pornografi hendak diubah ke arah yang kondusif antara lain dengan merangkul kegiatan di sekolah dan pelanggan yang memang menggunakan Warnet untuk aktivitas positif dan efisien.
Disebutkan bahwa sudah saatnya pemodal Warnet memikirkan nilai tambah usaha mereka dan jangan sekadar menjual-ulang koneksi Internet. Namun dengan investasi besar di awal — menurut perhitungan Michael S. Sunggiardi, nilainya tiga kali lipat Wartel — dan keinginan untuk segera balik modal, kondisi yang tidak kondusif saat ini menyulitkan pemodal pas-pasan. Meradanglah mereka yang ajal bisnisnya dipercepat dengan penertiban ini.
Tidak adakah ruang usaha untuk mereka yang baru merangkak dan terdorong mimpi bisnis yang memanfaatkan TI ini? Bagaimana dengan perhitungan duabelas juta pemakai Internet di akhir tahun yang disampaikan Sekretaris Jenderal APJII, Heru Nugroho?
Tentang rencana penertiban di Jawa Timur, Drs. Poerwoko, M.M., Kepala Balai Monitoring Frekwensi Radio Provinsi Jawa Timur, menyebut,
Sweeping ini merupakan langkah pemberdayaan UU no.36/1999 tentang Telekomunikasi terutama pasal 33 ayat 1 yang menyebutkan semua pengguna frekwensi radio harus memiliki ijin dari instansi terkait. Mengenai kapan akan dilaksanakan itu merupakan informasi rahasia, tapi yang pasti kita sudah bekerjasama dengan Kepolisian dalam sweeping itu.
Manakah yang lebih mendesak diberdayakan: Undang Undang atau rakyat yang seharusnya dilindungi oleh Undang Undang tersebut?
Jadi jangan salahkan apabila di kemudian hari Pataka ID memilih menjadi penjual soto dan menghentikan usaha Warnetnya.
kenapa ya sulit sekali membongkar kunci-kunci birokrasi tidak berguna di Indonesia? Jerman saja yang punya hukum sebanyak 90% dari aktivitas manusianya tidak sampai sebirokratis Indonesia.
apa sih yang hendak dicapai dengan kekakuan birokratis? selain memperkaya pemerintah tentunya, tapi pemerintah kaya? tidak juga yang kaya itu orang2 di pemerintahan.
Barangkali kolapsnya bisnis warnet adalah karena kultur orang kita yang cenderung ikut-ikutan. Tetangga sebelah bikin wartel, kita ngikut. Tetangga lain bikin isi-ulang air minum, kita juga ngikut. Padahal esensi bisnis itu sendiri kan terletak pada business plan yang terencana dan terkonsep secara tepat. Bukan begitu?