Hari Sabtu, 6 November lalu, saya berkesempatan mengikuti buka puasa Ramadhan bersama yang juga diisi dengan diskusi santai bersama Tomi Satryatomo, salah seorang wartawan dari stasiun televisi swasta di Indonesia. Dengan tema pembicaraan di seputar media massa, kami hadirin jadi tahu lebih banyak seluk-beluk persoalan televisi yang akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak orang.
Yang menarik: pada salah satu sesi sempat dibandingkan empat buah media — cetak, radio, televisi, dan Web — dikaitkan dengan upaya mengajak masyarakat luas ke arah yang lebih baik. Tomi memaparkan bahwa untuk radio dan televisi, faktor dana dan sumber daya yang ahli di belakangnya masih menjadi kendala yang besar untuk bersikap “idealis.” Ongkos yang dikeluarkan sangat besar jika sudut pandang yang digunakan semata-mata, “buat produk dan biarkan nanti pemirsa yang berkenan menonton, atau tidak.”
Sisi ini yang menjadi keuntungan media di Internet: ongkos produksi jauh lebih murah, dan pembuatnya tidak terlalu bergantung hasilnya dinikmati sekarang atau dibiarkan oleh khalayak. Memang benar, penetrasi media Web jauh lebih rendah dibanding radio dan televisi. Jumlah pemakai Internet di negara kita masih berkisar pada angka sepuluh juta, hanya rating 10 dengan perhitungan pemirsa acara di televisi saat ini.
Berarti inisiatif yang lebih penting saat ini, karena ongkos dapat dipenuhi dan jumlah pengunjung situs bukanlah halangan. Dalam pendapat saya, inilah kesempatan dan sekaligus tantangan menyajikan materi yang mengajak khalayak umum ke arah yang lebih baik.
Hmm… masih ingat dengan euforia ala astaga dot com? itu udah dengan ongkos produksi yg gak murah lagi (mengingat nama2 besar yg direkrut), tapi kenapa tetap anjlok? (meskipun skrg masih bertahan hidup)
mungkin lagi2 soal jumlah pengguna internet di Indonesia yang belum begitu banyak yang menjadi penyebabnya… dan mungkin lagi-lagi kendalanya adalah masalah biaya akses.
berbeda dgn tivi dan radio yang pendengar dan penontonnya tidak perlu membayar untuk mendengar / melihat sajian yang ditawarkan, para pengakses Internet di Indonesia masih terbebani dengan biaya akses Internet dari rumah yang cukup mahal…
so, selama hal itu belum teratasi, situs web lokal sebagus apapun bisa jadi akan selalu menjadi kurang berkembang karena kekurangan pengakses… :(
CMIIW :)
kelebihan media web dibandingkan dengan media lainnya (tv, radio, cetak) adalah ongkosnya sangat murah.. tidak perlu perijinan macam-macam sudah dapat menjangkau seluruh dunia..
kalau alasan penetrasi yang cuma 10 juta, ada lebih dari 100 negara di dunia yang penduduknya kurang dari 10 juta, selain itu harus juga diperhatikan faktor media web juga dapat diakses dari luar negeri, tidak seperti media lain yang lingkupnya jauh lebih lokal..
Saya termasuk yang masih percaya dengan tesis Dody Suriawijaya bahwa Dot-com belum bisa tumbuh di Indonesia. Setidaknya sampai saat ini, hampir lima tahun dari pendapat dia yang ditulis di Failco. Dalam pandangan saya, media Web yang dapat mengajak ke arah yang baik tersebut saat ini justru dilakukan oleh situs non-profit. Agak riskan memang, karena yang diandalkan adalah niat baik sedikit pihak yang mau “bersakit-sakit dahulu”. Kendati demikian menurut saya hal tsb. masih lebih baik dibanding jor-joran di dot-com dan kemudian ambruk di tengah jalan. Uang hangus, misi edukasi belum membawa hasil.
Jadi perbanyak situs Web yang berisi manajemen pengetahuan (knowledge management), berbagi informasi, dan pendidikan.
Kalau tentang jumlah pengguna, saya tidak terlalu risau. Karena perbandingan yang digunakan memang media lain yang dapat diakses hampir cuma-cuma. Angka 10 juta memang terlihat kecil karena negara kita termasuk lima besar dalam jumlah penduduk. Padahal, seperti pernah dilontarkan Wimar Witular mengomentari partai pemenang pemilu, jumlah pemilih partai tersebut lebih banyak dari total penduduk Australia.
Iya dong!