KPLI, Nilai Tawar, dan Pemakai Linux

| 7 Comments | 1 TrackBack

Hari-hari persiapan perhelatan Ubuntu di Jakarta: saya ambilkan topik dari mailing list Linux Aktivis pertengahan bulan Januari ini, KPLI ditengarai “belum kompak”. Pernyataan yang dikemukakan Arie Wibowo tentang KPLI tadi termasuk jenis retorika dan jika dilihat dari perspektif positif adalah introspeksi terhadap KPLI sebagai organisasi. Oleh karena itu, saya ingin menulis pandangan yang lebih membesarkan hati.

KPLI adalah organisasi pemakai Linux berskala nasional dengan struktur yang rapi. Sebagai organisasi, tentu KPLI memiliki agenda kegiatan, yang jika dilihat di lapangan sekarang ini lebih banyak pada pekerjaan sosialisasi pemakaian GNU/Linux. Barangkali hal ini pula yang dijadikan tolok ukur capaian yang diraih KPLI, setidaknya dalam pandangan aktivis di dalamnya.

Pada kenyataan di lapangan, Linux mendapat pertumbuhan pemakainya lebih banyak lagi dari yang terlihat oleh anggota KPLI. Sosialisasi Linux lebih meluas dari “sekadar” pengunjung acara Installfest atau jumpa darat anggota KPLI yang diselenggarakan atas nama organisasi.

Banyak pemakai komputer yang benar-benar menyukai Linux

Betul, mereka menyukai Linux, memilih menggunakan Linux untuk hampir semua keperluannya di depan komputer, dan malah sedikit berorasi tentang Linux di lingkungannya, namun mereka tidak merasa perlu untuk bergabung dengan KPLI. Alasannya bisa beragam: kesibukan dengan aktivitas utama, tidak suka berorganisasi, atau benar-benar merasa tidak perlu sebuah wadah formal seperti KPLI. Saya kenal beberapa teman yang masuk kategori ini: mereka menggunakan Linux, mengikuti perkembangan Linux, dan membawa obrolan tentang Linux sampai di meja makan kantin, namun tidak antusias jika dikaitkan dengan KPLI sebagai organisasi.

Apakah kondisi seperti di atas berarti KPLI kurang akomodatif? Menurut saya: bukan seperti itu. Linux sudah menjadi semacam keniscayaan dalam pemakaian sistem operasi untuk keperluan sehari-hari dan itu artinya kita bisa menggunakan Linux tanpa harus terikat dengan sebuah organisasi. Keadaan ini tentu berbeda dengan sepuluh tahun lalu dan hal ini menjadi berjalan seiring atau “penggembosan” KPLI tentu diserahkan pada pandangan anggota KPLI sendiri.

Sebagian lagi memakai Linux dengan “setengah hati” atau terpaksa

Perhatikan pemakaian Linux di tengah-tengah keseharian kita: server Web intranet, server email di organisasi, tempat hosting Web, eksperimen dengan live CD, lingkungan pemrograman (LAMP misalnya), atau server basisdata. Mereka yang [sebelumnya] bukan pemakai Linux dengan “terpaksa” harus kompromi dengan keadaan ini. Entah hanya bersentuhan lewat jendela SSH, SCP, FTP, atau Samba, pemakai layanan Linux tersebut sudah mulai belajar sistem pemberkasan, otorisasi, dan beberapa konsep Linux (atau UNIX) lainnya.

Kelompok “setengah hati” ini bukan “barisan sakit hati”, justru sebaliknya: sebagian pemahaman yang mereka terima tentang Linux merupakan kesan pertama. Bisa jadi pendekatan selanjutnya adalah persoalan pragmatis, misalnya Linux dipilih karena menghindari lisensi perangkat lunak komersial yang belum terjangkau atau sebaliknya: tetap “bermuka dua”, Linux dan Windows, tergantung perangkat lunak yang sedang ditangani.

Apakah hal-hal seperti ini belum dapat dijadikan nilai tawar KPLI kepada pemerintah? Pada ulir diskusi lain, Ananda Putra menyodorkan berita memorandum saling pengertian Kementrian Kominfo dengan Microsoft. Jika dikaitkan dengan cerita-cerita tentang IGOS dan persoalannya yang disebut tidak sederhana oleh I Made Wiryana, saya bisa merasakan bahwa memorandum tersebut seperti menjadikan IGOS bernasib mengkhawatirkan. KPLI, di sisi lain, sebaiknya tetap berorientasi pada “kelompok pemakai”, membumi pada masyarakat, yang sudah menjadi anggota mereka atau pengguna Linux lebih luas lagi. Jika alumni-alumni KPLI sudah masuk pada lapis suprastruktur, bolehlah kita menaruh harapan bahwa mereka bisa membawa semangat sebelumnya ke tingkat pengambilan kebijakan. Kira-kira seperti yang dilakukan klab pemakai komputer yang bertebaran di manca negara: menyelenggarakan acara rutin, terbuka, dan membicarakan hal-hal teknis-praktis yang mudah diterapkan oleh hadirin.

Catatan: saya pemakai aktif Linux dan belum pernah terdaftar sebagai anggota KPLI. Di luar kegiatan di depan komputer, saya memilih bermain bulutangkis, membaca, atau mengurus tanaman di sekitar rumah.

1 TrackBack

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/390

Tulisan menarik dari Ikhlasul Amal –bukan bekas/mantan rektor UGM!– atau Cak Amal yaitu berjudul KPLI, Nilai Tawar, dan Pengguna Linux. Silahkan bagi para aktivis/pengguna Linux, KPLI, bukan KPLI, atau yang lainnya untuk kembali merapatkan... Read More

7 Comments

KPLI sebagai organisasi, akan mengalami hukum-hukum yang sama sebagai sebuah organisasi. Biasanya organisasi dibentuk karena ada kesamaan kepentingan. Ini dasar agar bisa bertahan. Sejauh yang saya tahu, kepentingan para aktivis KPLI itu beda-beda. Ada yang cari proyek, ada yang pengen cari ilmu, cari pengalaman, cari jodoh. Satu hal yang menyamakan dititik awal, yakni sama-sama pengguna linux, ternyata tak pernah dikedepankan. Akhirnya, mati suri. Hidup segen mati ogah.

sebenarnya kolapsnya KPLI itu saya lihat terutama karena anggotanya cepat direkrut kemana-mana atau punya usaha sendiri, tapi kaderisasi tidak berjalan cukup cepat.

Khusus untuk budaya disini, masih sanagt diperlukan figur seorang pemimpin yg gunanya untuk memotivasi dan mendorong anggota untuk berkontribusi. Jadi figur pemimpin yg diperlukan, mau berkorban, mau bekerja keras, tdk takut malu dihujat ambisius dllsb.

Hayo, siapa yg mau ;-p

Main bulutangkis yuk kalo ketemu lagi! Memang ada lapangan dekat rumah?

hm… kpli….

menghela nafas

Saya paling gk beres klo berorganisasi, tapi saya gk tau apakah saya anggota KPLi atau bukan .. lah, terus? :p

BTW, Fedora Core 4 KDE 3.5, itu aja yang penting .. ;)

tumbuh dan berkembangnya KPLI tetap saja kita kembalikan ke orang yang berada dalam organisasi tersebut. KPLI Jogja misalnya, memiliki anggota dan pengurus yang mayoritas adalah mahasiswa. Seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa sendiri juga memiliki kesibukan yang beragam seperti yang dijelaskan oleh fade2blac. KPLI merupakan sebuah Komunitas, jadi cenderung tidak terikat. Tidak ada satupun aturan yang mengikat. dan kebanyakan kegagalan dari sebuah komunitas adalah hilangnya rasa tanggung jawab dan kebersamaan.

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on January 26, 2006 2:04 PM.

Acara Ubuntu Indonesia was the previous entry in this blog.

Spam dari Negeri Jiran is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261