Dengan dibantu teknologi paling mutakhir — konon — pelaku aksi terorisme, menikmati kemudahan dalam menggalang simpatisan dan menyusun rencana jahat dari dalam ruang tahanan. Berkesan seperti di film-film futuristik, sebuah laptop dan obrolan lewat ranah maya (online chatting) menjadi tema utama tajuk-tajuk media massa tentang aktivitas Imam Samudra berkomunikasi dengan pihak luar dan merencanakan kegiatan organisasi mereka. Betul, ini abad XXI dan kita semua terbawa oleh perubahan yang sudah terasa signifikan. Tidak ada lagi seorang jagoan yang menunggu panggilan telepon di boks telepon umum seperti gambaran di film-film seri televisi tahun 1980-an.
Namun apakah teknologi dan lebih-lebih penguasaan teknologi oleh pelakunya di sekitar kita memang sudah sedemikian hebat? Ini yang masih tanda tanya.
Ujung-ujungnya: persoalan laptop yang masuk ke bui Imam menjadi “misterius” bukan pada sisi teknologinya, melainkan pada prosedur operasi. Bagaimana laptop tersebut dari pengirim dapat masuk ke sebuah sel? Berapa aturan yang dilanggar dan berapa pihak yang mengabaikan amanah terhadap tugas mereka? Bahkan: benarkah, memang laptop tersebut masuk dan dioperasikan layaknya operasi-operasi rahasia dari dalam bui? Karena pada pernyataan berikutnya terdapat saling lempar pernyataan yang sudah tidak berurusan dengan persoalan teknologi, seperti dimuat di Koran Tempo 31 Agustus,
Secara terpisah, Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto kemarin membantah tudingan bahwa polisi sengaja membiarkan Imam memiliki laptop dan akses Internet di selnya agar bisa melacak dengan siapa saja dia berkontak melalui Internet. “Jangan main opini. Lihat fakta hukum,” ujarnya.
Tudingan adanya rekayasa itu muncul karena ada ketidakjelasan dalam kasus ini. Misalnya, bagaimana mungkin Imam bebas memakai laptop dan Internet di selnya yang juga dijaga anggota Detasemen Khusus 88 (tim antiteror Kepolisian RI). Selain itu, sampai sekarang, polisi belum bisa menunjukkan barang bukti laptop yang disebut-sebut dipakai Imam. Memang polisi sempat menyita satu laptop, yakni milik Michdan. Tapi laptop sitaan itu pun tanpa hard disk karena sedang diperbaiki Agung sebelum dia tertangkap.
Bagi polisi, tiadanya barang bukti laptop tidak akan mempengaruhi penyelidikan. “Bila laptop itu ditemukan, itu hanya salah satu bukti. Kalau tidak menemukannya, penyidik masih bisa memakai cara lain,” ujar Paulus Purwoko kemarin.
Sumber: Diduga Ada Komputer Lain di Sel Imam.
Catatan: Kutipan di atas diperoleh dari salinan yang disimpan
Google, http://72.14.205.104….
Ringkasnya: terdapat persoalan yang lebih penting dalam hal kesimpang-siuran berita, kemungkinan “kejanggalan-kejanggalan” pada pelaksanaan di lapangan yang lebih membuat kepala bergeleng-geleng tidak menentu dibanding ilustrasi ala film-film fiksi.
Teknologi memang membuat banyak hal yang sebelumnya sangat sulit menjadi lebih mungkin dilakukan secara praktis hari ini. Kendati demikian, seperti cerita ringan yang pernah saya dengar dari Budi Rahardjo tentang keamanan sebuah sistem perkomputeran: bagaimana disebut sistem keamanan yang menyeluruh, jika pengantar makanan misalnya, dengan mudah mondar-mandir di ruang server?
Kevin Mitnick boleh jadi sangat iri dengan Samudra. Dalam salah satu kisahnya yang ditulis di tahun 1999, Kevin hanya diperkenankan menggunakan laptop di ruang pertemuan pengacara-klien, tanpa modem atau kabel telepon. “Kebobolan” di penjara kita bukan hanya “sebuah alat yang lebih ampuh” dapat masuk sel, bahkan sekarang jejak-kisahnya pun menjadi misterius.
Seperti kegaiban pedang atau keris pendekar-pendekar mandraguna di sinetron-sinetron televisi kita.
ajian serat GPRS :D
lebih masuk akal lg, chatting & kirim emailnya pake hp. dikantongin jg gak kelihatan,… :)
Saat baca judul artikel ini, pertama kali yang terbayang di benak saya adalah : Imam Samudra liburan membawa laptop yang dipasangi Ubuntu.
Dengan “sudo get-me a-laptop”, semuanya jadi mungkin.
:D
sumbernya emang masih di manusianya :D urusan ginian aja masih bobol, gimana mau berantas korupsi…
heheheee lha napi saja bisa berkeliaran ngedarin kupon bazaar dr banjar , bahkan jualan narkoba diluar end beberapa kali ketangkep ..coba baca balipost ….heran khan ?? itu dah hebatnya penjara kerobokan
Wah, dipenjaranya ada colokan listrik. Ngenet pake GPRS, EVDO atau jangan-jangan sudah tersedia hotspot. Hebat!!
sudah, sudah, kita juga perlu mempertanyakan data-data yang ada/dikeluarkan media cetak, elektronik, aparat, dst. sekarang susah membedakan yang benar dan salah. jaman susah, jaman edan ;)
Jangan baca koran, jangan dengar berita tivi 68% gak sesuai fakta
Mari nikmati blog, untuk bersenang-senang dan menertawakan kepahitan… :p
Aneh juga dan gak masuk akal. Lha wong sudah tahu Imam Samudra sangat paham komputer, lha kok laptop bisa masuk.
Dengan apa si imam terkonenksi ke internet? Saya sekarang ada di kerobokan, dekat penjaranya si Imam dulu. Saya cari2 dg notebook saya, sama sekali nggak nemu ada hotspot disini. Yang ada cuma layanan WaveLAN (ini sedikit lebih masuk akal, krn globalxtreme.net - salah satu penyedia WaveLAN di denpasar - berkantor gak jauh dari LP Kerobokan). Tapi bagaimana soal pemasangan receiver, dan biaya koneksinya? Atau si imam pakai GPRS? Siapa yang membayari pulsanya? Mission Impossible!
Bung Dhani, jika kita gunakan kemudahan teknologi sekarang, si pelaku cukup menggunakan GPRS atau CDMA. Pulsa tidak perlu dibeli sendiri. Jika dia memiliki pendukung di luar, urusan pulsa mudah ditransfer antartelepon genggam.
Ini semata-mata dari sisi teknologi. :)
wah kok jadi rumit sekali ya keliatannya…
Ya, betul. Yang jadi pertanyaan saya sih: siapa yang membayari pulsanya?
beneran ga seh?? koq saya ga bisa percaya ya?? Mau donk
Sungguh CERPEN yang menarik.. bisa untuk cerita CUCU KITA 20 - 100th kemudian….
Kenapa yaa kok bisa ada informasi kayak gini? kayak ndak ada cara lain aja :D
kalau ketemu laptopnya harap diperiksa sama yang pakar komputer