Belanja Hak Cipta

| 4 Comments | No TrackBacks

Dua catatan menarik berkaitan dengan hak cipta materi dikabarkan pada bulan Oktober lalu. Pertama, Kepala Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, Sugiyanto, menyebut rencana pemerintah mengajukan anggaran Rp 10—20 miliar untuk membeli hak cipta semua buku pelajaran sekolah dengan prioritas buku untuk wajib belajar sembilan tahun. Kabar ini dimuat di Koran Tempo 5 Oktober.

Materi yang sudah dibeli hak ciptanya di atas nanti akan disediakan di situs Web Departemen Pendidikan dan khalayak dengan bebas dapat mengunduh lewat Internet. Kendati ongkos akses Internet di Indonesia masih dianggap mahal, Sugiyanto berpendapat, Hitungannya tetap lebih ekonomis. Barangkali dapat juga dijadikan desakan kepada pihak-pihak penyedia koneksi agar sekali lagi (dan berkali-kali lagi kemudian) mengupayakan harga koneksi Internet terus lebih rendah.

Sekitar hampir tiga pekan kemudian, Jimmy Wales, penggagas Wikipedia, meminta komunitas Wikipedia mengusulkan buah karya yang secara teoritis hak ciptanya dapat dibeli dengan anggaran USD 100 juta. Latar belakangnya adalah pembicaraan Jimmy dengan seseorang yang, “pada posisi potensial untuk mewujudkan hal tersebut.” Sudah menjadi kabar terbuka pada periode-periode sebelumnya bahwa gagasan Wikipedia sebagai ensiklopedia terbuka, murah, dan meriah, seperti “diadu” dengan karya-karya kolosal dan mahal sebelumnya, seperti Encyclopædia Britannica atau versi digital, Microsoft Encarta. Sejauh ini kedua kubu — satu mengandalkan kumpulan pakar dalam jumlah terbatas dan tertutup, satu lagi bertumpu pada “tulis dan periksa bersama” — berkompetisi secara wajar dan tidak terdapat keluhan yang cukup berarti. Wikipedia sendiri, yang bermula dari versi digital dan online, mulai memikirkan edisi cetak dan versi offline semisal dalam kemasan cakram optik.

Lain ladang lain belalang: gagasan Departemen Pendidikan Nasional malah mendapat tentangan dari pihak Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Alasan yang diberikan: rencana tersebut akan mematikan usaha mereka, termasuk juga pengaran dan penulis buku. Ujung dari silang pendapat di atas adalah komentar Ikapi, Pemerintah mau menang sendiri. Sedangkan di sisi pendukung rencana, Heri Akhmadi, Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR Fraksi PDIP balik menukas, Penerbit jangan egois, dong.

Tampaknya kedua belah pihak berada pada sisi yang berjauhan dalam melihat rencana penyediaan materi yang diusulkan Depdiknas di atas. Penyediaan materi pengetahuan dalam bentuk lisensi terbuka dianggap mematikan bisnis yang bertumpu pada penghargaan hak cipta. Di sisi sebaliknya, baru Heri Akhmadi yang menjelaskan bahwa penerbit tak akan kehilangan lahan bisnisnya karena yang pemerintah hanya membeli buku teks pelajaran untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Ada esensi yang luput dilihat oleh penerbit yang belum jeli membedakan antara pengetahuan yang disediakan untuk publik (misalnya dibeli seperti cara di atas) dan media penyaji pengetahuan yang mereka kelola sebagai bisnis, yaitu penerbitan itu sendiri. Seharusnya, lepas dari alasan yang romantik semisal “memajukan pendidikan nasional” pun, penerbit tetap dapat bertahan, berkompetisi dengan menitikberatkan pada cara menyajikan pengetahuan, bukan terlalu risau dengan pengetahuan yang bebas.

Masih abstrak? Coba kita amati teladan berikut.

Kita semua tahu pengetahuan tentang nama provinsi di Indonesia berikut nama ibukotanya dan kemungkinan bandara udara yang tersedia. Pengetahuan tersebut ada di mana-mana dan dalam bentuk bebas. Pengarang menyusun sebuah cara sistematis dalam mengelola pengetahuan tersebut dan penerbit menyajikan lewat salah satu media, yaitu terbitan mereka. Pengelolaan pengetahuan yang sistematis inilah yang akan dibeli oleh pemerintah dan disajikan lewat media yang lain. Sayangnya, “pengelolaan yang sistematis” tadi melekat pada hak cipta yang diurus oleh penerbit, sehingga seolah-olah cara penerbit menyajikan lewat media mereka ikut direbut lahannya.

Pada contoh di atas, yang akan disajikan lewat situs Web adalah pengetahuan tentang nama provinsi dan sejumlah atributnya, bukan cara penerbit menyajikan pengetahuan tersebut. Penerbit tetap dapat berkompetisi dengan cara menyediakan edisi cetak berkualitas (fine print), ilustrasi dan kelengkapan tambahan, dan jangan terlalu khawatir: pembaca buku tak akan susut begitu saja dengan kedatangan format digital. Media cetak masih paling portabel saat ini. Kualitas terbitan hasil industri penerbitan masih dapat mengatasi cetakan hasil unduhan dari situs Web yang dikerjakan secara amatir.

Demikian juga untuk pengarang buku: menurut saya tidak perlu terlalu khawatir dengan pembelian hak cipta oleh pemerintah. Betul, saya pernah membaca salah satu nasihat penulis buku pendidikan agar jangan sekali-kali menjual putus (menjual hasil karyanya), sehingga tidak beroleh pembayaran lisensi lagi. Namun dalam kasus ini ada baiknya memperhatikan segi kemaslahatan untuk publik. Penulis tentu punya sikap pribadi dalam hal ini; dan pemerintah juga tidak perlu memaksa, melainkan menumbuhkan kesadaran akan urgensi rencana di atas dan memberi penghargaan yang layak kepada mereka yang sudi berpartisipasi. Apresiasi yang dapat digunakan misalnya dengan memperkenalkan para penulis tersebut pada forum-forum pendidikan, seminar, atau bengkel kerja, yang tentunya akan menambah kepuasan tersendiri bagi mereka.

Demikian juga, jika pada kondisi terburuk pembelian hak cipta tersebut tersendat — katakanlah lebih rendah dari target — Depdiknas tetap dapat mengupayakan kemunculan penulis-penulis baru dan memulai rintisan pengadaan materi pengetahuan untuk publik tersebut secara independen, tidak terikat dengan hak cipta yang dipegang penerbit saat ini. Sepengetahuan saya semasa bersekolah di SD dan sekolah lanjutan dulu, buku-buku teks sekolah terbitan pemerintah berkualitas dan proporsional terhadap beban kurikulum.

Akan halnya ongkos akses Internet yang mahal dan kemungkinan teknologinya belum dikuasai secara merata di negeri ini (mudah-mudahan asumsi ini salah!), saya melihat ini kesempatan bagus untuk para relawan membantu pendistribusian materi dengan lisensi terbuka seperti itu lewat jalur alternatif. Cakram optik, flash drive, sudah mulai banyak digunakan dan relatif mudah pengoperasiannya. Media ini dapat dijadikan tambahan pendistribusian ilmu pengetahuan. Sebuah distro LA-Diknas, “Linux-Apache untuk Diknas”?

Ayo berbagi manfaat!

Catatan: sayang rujukan berita dari Koran Tempo untuk keperluan di atas tidak disediakan secara terbuka di situs Web mereka. Jika Tempo mengizinkan saya untuk menyediakan salinan utuh artikel tersebut, dengan senang hati akan disediakan.

[2 Nov] Budi Putra, jurnalis Koran Tempo, mengirim email kepada saya memberitahukan bahwa saya dapat menampilkan salinan utuh artikel Koran Tempo. Artikel tersebut berjudul Mengunduh Buku di Jalur Maya, dimuat pada tanggal 5 Oktober 2006 dan tersedia di edisi cetak dan edisi online.

Salinan disediakan dalam format teks berukuran 3,8 kB.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/476

4 Comments

Sepakat!!

Tapi coba jelaskan ke mereka..

Dulu juga waktu Google pengen bikin search-engine untuk buku juga banyak yang protes kan?

Catatan.. masih banyak yang lebih tertarik untuk membaca buku daripada nongkrong di depan komputer untuk membaca materi yang sama.

Diknas sudah bikin distro Depdiknux http://depdiknux.depdiknas.org/. Soal content bebas yang tersedia di Internet Depdiknas juga setahu saya sedang menyiapkan hal tersebut. Saya tidak heran sebab salah satu pentolan di Depdiknas dari dulu juga sudah aktif menyebarkan eBook-nya secara gratis di Internet.

secara aye pecinta kertas, membaca buku jelas lebih baik ( secara alamiah dan kesehatan ) daripada membaca lewat komputer , entah jika di unduh terus di print.

nah kalau di print ya mending beli buku asli, sudah bagus cetakannya , dan lebih enjoy.

kata orang djawa ” djer basoeki mawa bea ” , namanya juga buat ilmu, ilmu pun ( yg bermanfaat bagi orang ) bisa dibawa sampai mati, jadi sedikit mengeluarkan biaya adalah wajib.

Untuk masa depan jangan hanya cari yang gratisan, buat anak kok coba - coba.

Salam Persaudaraan

Berbicara masalah pendidikan, berarti berbicara mengenai program yang tidak kunjung selesai, karena pendidikan di indonesia tidak karuan. Setiap ganti menteri ganti program. Tidak ada Blue print yang jelas. Buku salah satu hal yang menjadi ladang empuk mafia pendidikan di depdiknas. Suatu rencana yang mengarah kepada efisiensi buku, akan banyak ditentang oleh mafia tadi, yang melibatkan pihak-pihak yang berhubungan dengan buku. Jadi tidak salah jika dalam salah satu lembaga survey menyebutkan, bahwa Depdiknas adalah departemen terkorup kedua setelah Dept. Agama. Masya Allah….

Jadi teman-teman, perbaikan kearah pemberantasan buta huruf dengan menyediakan buku murah akan menjadikan bangsa kita bangsa yang jerdas, sesuai dengan tujuan awal bangsa ini didirikan setelah dijajah selama 350 tahun, yaitu “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA”. Mari bangkit mengentaskan buta huruf dengan buku murah dan media lain yang murah. Indonesia harus bangkit dari keterpurukan dan penjajahan pendidikan asing. Merdeka!!!

Ir. Didiek S. Hargono SE - Wasekjen Pernasindo - Ketua Dept. Pendidikan DPP PDI Perjuangan - Sekjen KPABK (Komunitas Penganut Ajaran Bung Karno) - Dir. Eksekutif Yayasan Kebun Raya Indonesia

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on November 1, 2006 7:12 AM.

Ucapan Lebaran: lewat Email, SMS, dan Penyeranta was the previous entry in this blog.

Perbandingan Aplikasi "Klien-Server" dan Berbasis Web is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261