Karena saya bukan pemusik, saya ingin bertanya di sini: kira-kira apa yang memungkinkan kalian, para pemusik, terdorong untuk menyediakan hasil karya kalian dengan lisensi terbuka — katakanlah Creative Commons?
Hal ini supaya saya tidak terlihat “kurang ajar” mengajak-ajak kalian yang sudah berusaha keras mencari inspirasi sebuah lagu, memainkannya termasuk rekaman, dan kemudian menyediakan “begitu saja” untuk pendengar. Tentu saja, pengertian begitu saja di atas bukan letterlijk. Kami para penulis blog juga menyediakan begitu saja tulisan ini, boleh digunakan untuk berbagi, dan sebagian malah membiarkan seandainya pun kemudian dijual oleh orang lain mengikuti lisensi yang ada. Mohon maklum: ini bukan ihwal saya membuat pembatas antara “kami” dan “kalian”, melainkan teladan yang dapat dipertimbangkan. Saya juga cukup yakin jika ditanyakan manfaat menyediakan blog kepada para penulis blog yang berbagi hasil kerja, mereka punya puluhan alasan.
Nah — sekali lagi — apakah hal seperti itu juga berlaku di kalangan para pemusik? Amatir sangat boleh, karena di ranah diskusi berbagi seperti ini para amatir biasanya lebih menggebu-gebu.
Salah satu hal penyebab pemikiran saya di atas adalah pertanyaan di grup Indonesia di Flickr: adakah berkas MP3 untuk Dangdut, Jaipong, dan Gamelan yang disediakan dengan lisensi Creative Commons?
Ringkasnya: sudah ada keperluan akan kondisi berbagi di atas.
Salut dengan ide “nakal” nya mas Amal,
Saya pernah baca, ada band yang membebaskan orang untuk mendownload musik mereka (mp3) dari internet secara gratis. Alasan mereka adalah, selain biar musik mereka lebih dikenal orang, mereka juga bilang bahwa penghasilan terbesar pemusik adalah melalui konser musik. So, walaupun mereka menyebar mp3 mereka secara gratis, itu tidak akan terlalu berpengaruh untuk pemusik. Malahan nilai positifnya adalah lagu mereka akan semakin dikenal orang. Yang menjadi masalah mungkin pihak label musik. Pihak label ini lah yang akan kehilangan penghasilan yang besar.
Betul. Jika dilihat di bagian Audio situs Web Creative Commons, sudah ada beberapa pemusik yang melepas produk mereka dengan lisensi terbuka. Namun itu di mancanegara lho. :-)
Untuk Indonesia, sebagian grup band sebenarnya sudah menikmati penghasilan yang lebih utama di luar penjualan cakram optik lagu. Pemasukan yang lebih menjanjikan misalnya dari nada tunggu musik (karena transaksi tercatat lebih rapi oleh penyedia layanan telepon genggam) dan tentunya pertunjukan. Dengan alasan itu pula saya merasa optimis seharusnya lisensi terbuka sudah mulai dapat diterapkan di Indonesia. Perlu gebrakan?
stlh open source, open access, open medicine,..ada jg open music, trus bakalan ada open gamelan, open dangdut, dll :D dunia makin mjd milik bersama..
Melihat komentar2 ke atas, mungkin pertanyaan ini bisa juga dilempar kepada produser musik. Kelihatannya, dengan adanya konsep “creative commons license” ini, yang lebih berkepentingan adalah produser. Creative commons license saya beri kutip, maksudnya adalah aturan hukum yang digunakan tidak sama persis, ya.. mirip-mirip lah, dengan tujuan agar si pemusik tetap puas atau tetap bisa “untung” lah. Mirip-mirip di ‘dunia linux’ kan?… Tetep saja orang bisa mencari nafkah (sebagai seorang profesional) dari dunia linux.
Sebetulnya ide lisensi “creative common license” justru sudah mendahului ide “hak cipta”. Lisensi lagu rakyat, termasuk macapat dan sejenisnya, pada dasarnya semua CCL. Begitu juga lisensi lagu gereja dan shalawat, pada dasarnya CCL. Lisensi kitab - kitab kuning pada dasarnya CCL. Yang pernah saya baca, tradisi zaman dulu ketika seorang ilmuwan mengarang buku, maka ilmuwan tersebut memberikannya kepada negara, lalu negara akan menggantinya dengan emas seberat buku itu.
kayanya susah pak kalo diIndonesia…asas pemanfaatannya demi kepentingan duit itu loh yg susah.
mksdnya gini…sebenarnya kan itu lebih kepada penghargaan kepada karya seni, penghargaan kita penikmat seni kepada seorang seniman dalam penciptaan karyanya…kalau diluar masyarakat dan negaranya kan udh menghargai seorang seniman, belum kl di Indoensia
Tulisan ini benar-benar relevan dengan kondisi saat ini. Band independen di Indonesia, latar musiknya belum tentu “independen dari mainstream”. Independen pada proses rekaman dan penjualan saja. Mengapa? Salah satu faktornya, musisi independen belum semua mengenal dan yakin dg lisensi creative commons.
Saya coba menulis di web jurnal geofilsafat (http://www.jarkom.biz) ttg violinis feminis + jews yg ekspos karyanya 1 ALBUM di www.jamendo.com. Website jamendo.com (pasti ada di OS linux Mandriva 2008.1,krn Mandriva ikut mendukung open music), menayangkan ribuan lagu, bebas download, dan musisi benar-benar bebas menamai aliran\trend-nya sendiri. Sistem donasi masih dipertahankan, dan daftar donatur maupun besaran donasi juga ditayangkan.
Belajar dari Linux Mandriva atau jamendo.com: semakin banyak komentar atas karya musik, ternyata semakin berkembang progresi/komposisi lagu itu. So, komentar penonton pun ikut menentukan kemajuan musisi & karyanya. Tak sekedar merdu di studio rekaman, tapi NAFFas pun tak imbang dg suara. Tegasnya, fans yg cuma modal KANGEN, tak cukup utk mengembangkan mutu.