Secara berurutan saya mengikuti presentasi Armein Z.R. Langi dan Craig W Smith pekan lalu dengan tema besar pasar yang sedang merekah dan kesenjangan digital. Istilah merekah merupakan terjemahan bebas saya dalam konteks emerging market1; sedangkan kesenjangan untuk digital divide mengacu pada “jurang pemisah” di antara dua kelompok pengguna teknologi informasi.
Ungkapan “kesenjangan digital” sudah ditulis oleh Pujiono pada sebuah komentar tulisan saya, Proyektor Al-Hidayah, dan paparan kedua pembicara di atas mendorong saya untuk mengirim uluk salam lewat pesan singkat ke “bos proyektor” bahwa langkahnya adalah salah satu terobosan.
Pasar yang sedang merekah
Pasar merekah yang digambarkan Armein adalah potensi negara kita di Asia Tenggara dan Asia Pasifik, dalam kaitan sejarah bangsa Asia-Afrika, dan simpul besar di lingkungan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Gelombang bisnis yang ditengarai kian membesar dari riaknya yang sekarang sudah mulai terasa perlu dihadapi dengan strategi jika kita ingin menjadi pemain yang berselancar di atasnya. Pasar besar ini memiliki tingkat pendapatan per kapita rendah dan perlu sebuah model bisnis berbeda sebagai strategi.
Poin penting yang menarik (ditambah penjelasan oleh Budi Rahardjo):
- produk yang dilepas harus menghasilkan inisiatif balik berupa “pemberdayaan” konsumen. Konsumen yang memiliki sumber daya terbatas tadi dimudahkan dengan fasilitas teknologi yang dikonsumsi dan kemudian menjadi produsen, sehingga muncul istilah “prosumer” — produsen sekaligus konsumen.
- melengkapi gambaran strategi Samudera Biru perihal cara berkompetisi yang lebih damai, model penambahan nilai pada suatu produk dapat dipertajam dari penguatan identitas (branding), pengalaman menggunakan produk (kasus iPod), dan terakhir adalah kebanggaan. Gabungan antara teknologi, latar belakagn kultural, dan inovasi dapat menjadi titik-awal untuk menghasilkan produk “kebanggaan”.
- peran industri domestik, termasuk sektor UKM, adalah menjadi penapis agar gelontoran gelombang global ini tidak langsung menghantam konsumen di negara kita.
Kesenjangan digital
Apakah pemakai PlayStation di penyewaan permainan elektronik sudah mempersempit kesenjangan digital? Ini pertanyaan Craig W. Smith terhadap definisi yang mengaitkan kesenjangan digital semata-mata terhadap akses yang dimiliki seseorang terhadap teknologi. Betul, kita ingat produsen telepon genggam juga menyelenggarakan acara peluncuran perdana besar-besaran di negara kita.
Definisi yang disodorkan Craig tentang kesenjangan digital adalah perbedaan antara mereka yang mendapatkan keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya. Jurang pemisah pemakaian teknologi ini kian menganga jika konsumen hanya dipacu untuk membeli produk. Contoh kebalikan dari kasus PlayStation di atas adalah revolusi besar yang dilakukan Wikipedia. Dengan menyediakan layanan bebas dan pemakai mengeluarkan ongkos koneksi, Wikipedia mendorong pemakainya untuk menghasilkan tulisan, berbagi pengetahuan, dan terlibat pada penyediaan materi yang bermanfaat.
Terlalu ekstrim membandingkan PlayStation dan Wikipedia? Budi Rahardjo memberi ilustrasi yang lebih moderat: bagaimana jika permainan elektronik didesain agar memacu pemain untuk berkontribusi misalnya dalam penciptaan karakter, penyusunan skenario permainan, dan hasil reka cipta para pemain tadi diproduksi ulang?
Omong-omong tentang bisnis permainan elektronik, yang saya dengar lebih banyak faktor negatifnya, terutama jika sudah dikondisikan secara massal seperti di tempat penyewaan atau jual-beli chip permainan. Animasi, dongeng domestik, monolog (dakwah dan motivasi hidup, misalnya) adalah sekian contoh dari alternatif produk multimedia yang dapat disandingkan dengan industri permainan digital. Saya kira Budi Rahardjo tidak akan keberatan contoh yang dia paparkan di atas ditindaklanjuti menjadi bisnis baru.
Apakah kesenjangan digital adalah kewaspadaan baru yang menjadi tengarai para pelaku bisnis saat ini? Adi Indrayanto, staf dosen Elektro ITB, mengomentari lugas: jangan-jangan ini barang lama yang dilabeli baru? Jika kita lihat, sebelum beranjak pada persoalan adanya kesenjangan, bagian elementer yang sering menjadi biang persoalan di negara kita adalah pemahaman terhadap teknologi. Tidak sedikit kasus yang membawa-bawa teknologi sebenarnya cetusan dari kondisi snobisme2 atau benar-benar ketidaktahuan yang malu untuk diungkapkan dengan jujur.
Alhasil, karena tema kesenjangan digital yang saya ikuti berkaitan dengan inisiatif investor untuk memeranginya, kepentingan pelaku bisnis tentu bukan pada filosofi sebuah teknologi diperlukan atau tidak oleh konsumen, melainkan melengkapi agar secara sosial tetap menghasilkan nilai tambah. Sisi positifnya: tetap ada upaya agar pundi-pundi investasi bergerak dan indikator ekonomi tumbuh.
Yang masih tersisa pertanyaan di benak saya: sependek ini, yang justru bergerak mempersempit kesenjangan digital di negara kita umumnya justru dilakukan oleh gerakan non-profit dan tidak jarang bernasib swadaya. Bila inisiatif para investor benar-benar datang?
Tautan terkait:
- Budi Rahardjo: Indonesian Group Against Digital Divide.
1 to emerge: to come into existence — sumber: Answers.com.
2 Snob: orang yang senang meniru gaya
hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa
perasaan malu. Snobisme: sikap atau cara hidup seorang snob.
— Sumber:
prosumer tuh bukannya professional-consumer yah? kelas antara kelas consumer (low-end) dan kelas professional (hi-end).
cheers…
oshuqe jwzic jvephq oqrzhkf wlhc xwqhyv antcr
oshuqe jwzic jvephq oqrzhkf wlhc xwqhyv antcr