Ihwal kebahasaan sedikit marak pekan terakhir ini. Secara praktis, urusan yang masih akan banyak dikerjakan adalah penerjemahan. Kendati sudah tersedia Launchpad untuk Ubuntu, Zope, Creative Commons, dan Silva, ada yang menyebut alternatif yang bayak di sana dapat menyebabkan “sedikit membingungkan.” Risiko sebuah sistem terbuka yang dikeroyok banyak orang tanpa sebuah gugus tugas tertentu.
Di Linux Aktivis, Andika Triwidada menyampaikan pertanyaan dan antusiasme berkaitan dengan penerjemahan: pemutakhiran yang terlambat dan pekerjaan ganda, tumpang tindih, antara Ubuntu dan Debian Sid. Saya mengobrol langsung dengan Andika dan motivasi penting penerjemahan menurutnya adalah untuk pemakai akhir kebanyakan yang tidak berlatar belakang pengetahuan TI secara khusus.
Beberapa hari berselang kemudian, Arie Kusuma Atmaja, si “Bapak Ruby” Indonesia mengundang saya ikut membicarakan persoalan penerjemahan untuk topik singleton method, instance method, dan class method yang bermula pada tanggal 27 April lalu. Keikutsertaan ini menjadi milis pemrograman berawalan id- ketiga yang saya ikuti setelah Perl dan Python, dengan catatan saya harus membaca The Pragmatic Programmer’s Guide dari paket rubybook di Ubuntu terlebih dulu. Terima kasih Arie, masih sesuai dengan rencana saya terhadap Ruby.
Seharusnya keperluan persoalan kebahasaan yang meningkat dapat menjadi pemicu bagi alumni ilmu bahasa untuk berkarier pada ranah pekerjaan yang berbeda, mengambil spesialisasi, dan mulai membangun karakter profesi yang lebih kuat, yaitu di lapangan teknologi informasi. Memang terkadang ada pernyataan seperti, “Ini lebih condong pada penguasaan konsep di belakang istilah tersebut dibanding persoalan bahasa”, atau pertanyaan, “Mengapa harus ‘orang bahasa’? Ini kan dapat dilakukan oleh semua pihak?”
Saya melihatnya sebagai dialog dua arah bidang keahlian dan niscaya akan membuka wawasan lebih baik pada proses penerjemahan atau penyediaan antarmuka untuk pengguna akhir perangkat lunak. Dengan kelapangan sikap para praktisi teknologi mengikuti aturan pembentukan istilah misalnya, kita dapat berhemat sumber daya mengurangi debat kusir yang sering bertumpu pada perasaan, “ini tidak enak dipakai dan janggal” atau “maknanya beda deh…”
Di sisi sebaliknya, dengan aktif menceburkan diri pada kajian teknologi, para ahli bahasa akan menyemarakkan khazanah kebahasaan kita agar tidak mudah dituding kolot atau jumud dan dapat berpacu dengan perkembangan teknologi. Jangan sampai terjadi kesenjangan pada saat dunia sastra kita bertabur penjelajahan ungkapan bercita rasa tinggi dan sedemikian kaya torehan isi perasaan, penggunaan bahasa di lingkungan teknologi kusam dan rombeng.
waw, artikel menarik. Seharusnya memang ada orang-orang dari disiplin ilmu bahasa yang ikut serta agar tidak menjadi pembicaraan 1 arah.
Sebagian orang yang tergolong cukup lama terlibat dalam penerjemahan, ada 1 hal yang sering dilupakan. Pekerjaan penerjemahan istilah TI itu cakupannya tidak hanya berhenti dengan menerjemahkan istilah (dan menggunakan di menu), tapi juga harus sampai pada bagaiamana mengkomunikasikan ke masyarakat luas hasil terjemahan itu.
Proses terjemahan hanya akan bisa sukses (terlepas apakah istilah itu benar atau tidak) bila secara konsisten digunakan. Konsistensi akan dapat lebih mudah tercapai bila lebih dari 1 orang menggunakan istilah terjemahan tersebut secara sering.
Aku akan bahagia kalau suatu hari membaca semacam geeklit, dimana kata singleton dll bisa masuk dalam bahasa sastra :). Apakah tokoh Ikhlasul Amal bisa disebut merupakan singleton di ranah blog nasional? Hush.