Pada mulanya, seperti banyak situs Web informasi saat itu, media dalam format daring (online media) menampilkan berita searah. Situs Web berita — yang memang pengembangan dari edisi cetak, kecuali Detik.com — benar-benar memindahkan bentuk di atas kertas ke layar. Pada era perubahan halaman Web menjadi lebih benar secara semantik, perubahan besar yang terjadi adalah perbaikan penggunaan kode HTML mereka. Salah satu pendorongnya adalah ketinggalan telak pada hasil pencarian Google yang lebih awal memberi bobot signifikan pada aspek semantik Web.
Fasilitas komentar pembaca termasuk belakangan dipasangkan di media daring. Barangkali karena di edisi cetak respon dari pembaca sudah diakomodasi di rubrik Surat Pembaca, dengan gaya yang berbeda dibanding komentar di halaman Web. Akhirnya komentar per halaman — untuk berita, rubrik, opini, berita foto — ditambahkan. Seingat saya, Gatra Online yang lebih awal mulai menyediakan tempat komentar per halaman berita.
Sekarang komentar pembaca sudah merupakan sesuatu yang lazim dijumpai. Mayoritas media daring menyediakan dan tampaknya mendapat apresiasi dari pembaca. Apalagi di era Web 2.0 saat ini, respon balik merupakan mantra yang menunjukkan kepedulian sebuah situs terhadap pengunjungnya.
Sayangnya, komentar pembaca di media daring cenderung tak-beridentitas jelas dan materi yang disampaikan di komentar lebih banyak tidak relevan terhadap isi halaman tsb. dan disajikan dengan kasar. Generalisasi berlebihan, prasangka, simpulan tergesa-gesa, dan — lebih buruk lagi — memaki dan mengata-ngatai, terlihat mencolok. Secara umum kondisi komentar masih lebih baik di blog: penulis komentar menunjukkan jati dirinya dalam bentuk tautan ke blog ybs. dan penulis blog banyak yang masih menyempatkan waktunya untuk menjadi moderator yang baik. Ingat masa-masa ketika Priyadi Iman Nurcahyo sedemikian telaten menulis jawaban panjang dan berkali-kali di komentar blognya? Saya belum pernah melihat hal seperti itu dilakukan oleh tim redaksi media massa.
Saya menyayangkan artikel bagus yang sudah disusun reporter atau tim redaksi menjadi anti-klimaks dengan adanya komentar asal-asalan di akhir berita. Pembaca pun — setidaknya saya — kehilangan mood setelah membaca komentar serabutan di bagian bawah. Akhirnya, saya batasi untuk tidak perlu membaca komentar dan lebih baik menunggu tulisan berikutnya yang berkaitan dengan berita tsb.
Saran saya: jika memang tidak ada rencana mengolah komentar dari pembaca menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat, lebih baik fasilitas komentar ditiadakan saja. Seperti disinggung di atas, saya belum melihat itikad tim redaksi media massa untuk menanggapi komentar tsb. dalam bentuk komentar juga atau menjadi artikel baru seperti yang lazim dilakukan oleh narablog.
Jika pun tetap dipertahankan dengan pertimbangan tertentu, ada baiknya komentar dari pembaca dipisah dari halaman berita dan baru akan ditampilkan jika pembaca berniat mengunjunginya. Saya lihat Detik.com sudah melakukan hal ini: komentar tersedia di halaman terpisah. Selain keuntungan secara estetika, pemisahan tersebut memperbaiki pengolahan mesin pencari agar tidak mencampuradukkan berita yang sudah matang dengan komentar sambil lalu. Malah jika perlu, akses ke komentar tidak diikutkan ke bot mesin pencari, dengan demikian hanya bagian yang lebih relevan — yaitu artikel itu sendiri — yang diakses oleh bot mesin pencari.
Komentar tanpa moderasi, memang parah. Hasilnya bisa sumpah serapah yang muncul + sekumpulan anggota dari kebun binatang.
Contoh nyata, ya komentar-komentar di detik hehe. Yang agak mendingan, komentar di kompas.com, karena memang dimoderasi.
Tentang komentar yang gak nyambung, saya alami sendiri diblog yang saya kelola. Bahasan A di artikel A, eh komentar di artikel B.
Blom lagi para pencari backlink, kadang berkomentar sambil lalu, gak nyambung (atau kadang berusaha disambung-sambungin), yang merupakan masalah juga.
Kalau komentarnya gak banyak sih, gak masalah. Apalagi di blog pribadi, mudah mengelolanya. Tapi untuk sekelas detik atau kompas, rasa-rasanya harus menyediakan staff khusus untuk mengelola dan memoderasi komentar.
Kalau mau jujur, komentar di blog justru lebih ancur lagi. Coba deh blogwalking ke blog-blog ‘gurem’, jangan cuma ke blog-blog seleb. Setelah itu coba ambil generalisasi, eh maksud saya deduksi, lagi :D
Percakapan yang bagus tidak terjadi dalam sehari semalam. Di ekosistem blog yang notabene memiliki pemirsa ‘echo chamber’ alias “lu lagi lu lagi”, membangun percakapan yang bagus saja susah. Butuh waktu. Energi. Dan keseimbangan mental spiritual.
Cara pandang kita melihat sekumpulan, gerombolan, kerumunan, dan massa tentu beda. Demikian pula perangkat rekayasa sosial yang bisa digunakan. Blog ya blog. Tweet ya tweet. Koran ya koran.
Meski begitu, saya sendiri mengamati, kualitas ‘percakapan’, jika ada, di media daring sudah meningkat baik. Masih parah, tapi jika kita ambil contoh dari 2-3 tahun yang laiu, saat ini sudah lebih baik. Artinya: pengguna internet Indonesia nggak goblok-goblok amat.
Penentuan topik blog tentu terserah si empunya blog. Penentuan topik di media daring siapa yang menentukan? Menyerahkannya ke publik? Mungkin. Malah itu yang dilakukan Yahoo! dengan algoritma canggih di Yahoo! News. Apakah sukses? Tidak. ‘Voice’ alias ‘suara’ media sama sekali tidak ditentukan dari pembaca.
Mendewasakan massa ujung-ujungnya akan terantuk di tiga pilihan: dimoderasi (konservatif), bebas (liberal), atau tanpa komentar (komunis). Entah apa yang terbaik buat bangsa ini. Namun buat saya, yang berazaskan “Demi Pageview yang Maha Esa”, asas liberal jauh lebih mengasyikkan.
Bisa bayangkan jika Slashdot dimoderasi? ;)
soalnya banyak yg ngejar posting atau tujuan lain..
Merespon komentar Andry di atas.
Ini contoh komentar yang dikelola kurang baik: setelah setengah bulan baru ditindaklanjuti. :)
Tulisan saya di atas bukan dalam konteks membandingkan media massa dan blog. Justru saya ingin menekankan bahwa media massa perlu “berbeda” lebih menekankan bobot tulisan dan tidak perlu terlalu bermanis-manis dengan komentar spontan seperti tambahan yang muncul belakangan ini. Hak jawab pembaca tetap lebih elegan disampaikan lewat bentuk Surat Pembaca yang sudah ada jauh lebih dulu dibanding sistem komentar spontan. Jika memang dilihat secara kronologis lebih baik, syukurlah, namun tampaknya masih perlu waktu untuk meningkat pada kualitas yang memadai.
Blog “gurem” memang banyak — dengan komentar “gurem” pula — namun pengaruhnya harus diakui masih di bawah media massa. Dengan jumlah kerumunan massa lebih banyak, cetusan komentar tidak patut langsung mengajak pembaca berikutnya lebih cepat dibanding mengajak berpikir sehat. Kira-kira sama dengan dalam sebuah antrian, satu orang membelot merusak antrian, langsung susunan tersebut berantakan. Rentang ragam pembaca media massa lebih lebar dibanding blog, alhasil faktor risiko “komentar sekenanya” lebih tinggi pula.
Jika ungkapan “liberal bertanggung jawab” terdengar sebagai oxymoron, menurut saya masih terbuka kemungkinan menyediakan stimulan agar proses perbaikan kualitas diskusi dipercepat. Toh dari satu simpul ke simpul lain penuh kemungkinan seperti halnya gradasi hitam ke putih.
Poin kedua dari tulisan Matt Mulenweg, 6 Steps to Kill Your Community menuliskan dengan cukup gamblang perlunya moderasi untuk komentar.