Kebetulan saya sedang tidak memiliki pendanaan finansial dalam arti harfiah, sehingga terhadap pilihan pengadaan perangkat lunak komersial atau bukan, saya lebih gampang memutuskan. Saya masih berlangganan majalah Oracle gratis yang berisi informasi dunia gemerlap TI dengan omset menggiurkan. Versi gratis produk mereka untuk pengembangan pernah saya ambil komplit lewat Internet. Namun setelah semua siap, saya berpikir beberapa kali: apakah memang Oracle yang powerful itu yang saya perlukan terpasang di komputer saya sekarang?
Tentu saja saya tergoda untuk mencicipi backend sebuah RDBMS top sekelas Oracle ditambah dengan iming-iming Web Services yang dipilih mayoritas pengembang versi Oracle, yakni berbasis Java. Hanya saja, dengan dunia yang saya urus sekarang ini, apa manfaat semua itu? Barangkali salah satu alasan yang sophisticated dan futuristik adalah mempersiapkan untuk “masa depan.” Wah, ini juga lebih terasa samar-samar bagi saya. Karena yang saya tangani saat ini pun sudah menyita sumber daya penuh dan secara praktis berjalan sesuai dengan kondisi yang disebutkan di awal tulisan ini: semuanya berjalan nyaris dengan ongkos-ekstra nol.
Apakah dengan demikian saya anti dengan perangkat lunak komersial? Katakanlah terdapat sebuah produk dengan harga bantingan namun berkualitas top.
Pertama yang perlu disadari adalah saya harus bijaksana dengan pengeluaran untuk perangkat lunak: pikiran sederhana saya selalu menyebutkan masih banyak yang dapat memperoleh manfaat dengan dana tersebut alih-alih dibelanjakan untuk pengadaan perangkat lunak. Misalnya saya anggap uang untuk tempat hosting lebih menghidupkan bisnis berskala menengah ke bawah tersebut. Atau menyewa jasa tenaga desain Web domestik, administrator alumni pendidikan komputer, dan sejenisnya, yang pada intinya adalah menyisihkan sebagian (atau semua) budget untuk tenaga dan keahlian pelaku TI domestik.
Kedengarannya seperti terlalu dibungkus faktor sentimentil nasionalisme, namun bukan itu yang lebih saya utamakan. Saya tetap berpendapat bahwa setiap komunitas (dapat diartikan luas sampai sebuah bangsa) memiliki kans untuk “menghidupi” dunia TI mereka dengan kemampuan yang mereka miliki dan cara yang juga khas. Tanpa mengurangi fakta bahwa beberapa pelaku TI di Indonesia sudah memiliki kemampuan internasional, saya masih merasa lebih nyaman memandang TI di Indonesia harus dapat mengakomodasi lapisan paling luas partisipannya, yakni mereka yang masih berebut ceruk pasar teknologi menengah ke bawah dan berbiaya murah.
Jadi sekalipun konon DBA dari India sudah berani pasang tarif ratusan dolar per jam, tenaga lokal kita jangan terburu-buru terlalu cepat bermimpi meraih angka tersebut. Kita harus cukup yakin bahwa untuk memajukan TI tidak selalu harus melangkah seperti India.
Yang sering saya khawatirkan apabila arah perkembangan TI di negeri kita dibayang-bayangi produk komersial: konsep yang lebih penting dan esensial tidak berhasil diraih, sementara duit sudah terlanjur dibelanjakan untuk membeli barang. Tenaga ahli kita di dalam negeri umumnya belum sampai menghasilkan sebuah produk yang siap jual secara komersial, baru keahlian; sehingga jika kita ingin menumbuhkan sikap optimis mereka, belilah keahlian tersebut.
Sikap bekerja saling menguntungkan dan maju bersama ini lebih mudah diterapkan untuk organisasi menengah ke bawah. Karena tuntutan operasional bisnis mereka tidak sekritis perusahaan besar, faktor reliabilitas dapat diturunkan. Dengan demikian tidak perlu tergoda memiliki perangkat lunak papan atas (yang biasanya juga mahal).
Belanjakan porsi yang lebih besar lagi untuk keahlian pekerja TI domestik.