Delapan hari setelah tulisan Enda Nasution berjudul Kalau Aku Jadi Amien Rais dipasang, email dari seorang teman lewat salah satu mailing list membuat kening berkerut: pernyataan yang disebut sebagai tulisan Amien Rais itu rasanya pernah saya baca. Benarlah, saya periksa isi email tersebut memang salinan utuh tulisan Enda dengan perubahan pada tanggal dan dibubuhi inisial AR di bagian bawah. Subjek yang digunakan jelas-jelas salah interpretasi atau memang sengaja dibuat palsu: Surat dari Amien Rais.
Elfahmi, teman saya yang lain, mengomentari email palsu yang beredar tersebut pada tanggal 29 Juli dan setelah saya ceritakan kejadian yang saya alami di atas, dia menambahkan bahwa di bagian komentar artikel Enda tersebut terdapat nama Goenawan Mohamad. Setelah saya periksa dan saya cari judul komentar tersebut lewat Google, tampaknya yang dimaksud oleh pemasang komentar adalah: tulisan itu dibuat oleh Goenawan Mohammad, sehingga namanya dipakai saja sebagai entri. Lebih jauh saya telusuri di bagian berikutnya, terdapat nama Bondan Winarno, sehingga wajar saja jika pembaca ingin tahu juga: apakah Bondan memang mengisi komentar di sana, atau seseorang yang main comot identitas?
Di tempat lain, humor yang dipasang Jaimy Azle juga mengundang komentar dari seseorang yang mengaku sebagai Prof. Dr. Din Syamsudin. Dugaan saya, karena tulisan Jaimy tersebut bersifat guyonan maka orang dengan mudah menduga bahwa nama tokoh kondang tersebut hanya dicatut.
Barangkali deretan nama tokoh yang saya sebut di atas belum tertarik mengunjungi blog dan menyelipkan komentar, namun bagaimana sekiranya nama yang dicatut adalah Jeffrey Zeldman dan komentar tersebut terpasang di blog Joshua Kaufman? Keduanya penulis blog dan aktif menuliskan komentar di halaman Web orang lain — hasilnya adalah kontroversi seketika dan Zeldman perlu buru-buru mengoreksi bahwa komentar tersebut bukan dia penulisnya.
Intinya: tidak ada mekanisme autentikasi dengan cara penulisan komentar yang umum dipakai sekarang — termasuk yang saya gunakan. Yang sedikit membantu: pemasang komentar di Blogger yang menggunakan akun di sana, atau jika mekanisme TypeKey dipasang. Kendala dua pendekatan tersebut: tidak semua orang memiliki akun di Blogger dan cara tersebut hanya dapat digunakan untuk blog di sana. Demikian halnya dengan TypeKey, hanya bekerja pada alat bantu yang dikeluarkan Six Apart. Mark Pilgrim sudah wanti-wanti bahwa TypeKey dapat menjadi semacam Passport milik Microsoft, yang menurut dia sentralistis karena dikendalikan oleh sebuah perusahaan.
Bagaimana jika dipilih yang lebih netral, seperti pendekatan yang diusulkan Krishnan Nair Srijith, yakni OpenPGPComment? Plug in ditulis untuk MT dan sudah tersedia port untuk WordPress. Dari sisi keterbukaan dan netralitas terhadap merk, OpenPGPComment lebih menguntungkan. Saya pribadi juga lebih condong pada solusi Srijith karena lebih elegan dan kendali autentikasi ada di tangan pemilik blog.
Persoalannya: sangat sedikit pemakai komputer yang menggunakan PGP/GPG. Demikian juga karena mekanisme yang digunakan adalah memeriksa balik URI milik pemasang komentar, secara tidak langsung menyarankan pemasang komentar untuk punya situs Web. Ini akan menciptakan kerepotan kedua, karena cukup banyak pemasang komentar yang sekadar ingin menuliskan komentarnya dan tidak memiliki situs Web yang dapat dikunjungi balik. Walaupun OpenPGPComment tetap membolehkan pemasang komentar biasa (tanpa autentikasi), dugaan saya jika dipasang di lingkungan yang tidak terbiasa dengan PGP/GPG, maka pemasangan teknik tersebut tidak akan terlalu banyak membantu.
Selain itu, dengan kemampuan mayoritas pemilik blog, memasang plug in ini potensial menambah kegagalan baru. Pun mereka perlu bersosialisasi terlebih dulu dengan konsep PGP/GPG.
Alhasil solusi yang memadai secara teknis dan kepraktisan masih perlu waktu. Saran saya pribadi: jangan langsung percaya begitu saja komentar yang ditulis oleh seseorang dengan mekanisme tanpa autentikasi seperti sekarang ini. Terlebih jika materi yang ditulis bersifat ofensif. Sedangkan bagi penyebar tulisan yang mengubah artikel seolah-olah milik Amien Rais atau Goenawan Mohammad, apa susahnya sih tetap mencantumkan identitas dan menuliskan sumber kutipan tersebut?
Kalau saya sendiri menambahi komentar di curang.com, biasanya saya buat nama saya dengan huruf tebal. Kalau tidak tebal, bisa jadi bukan saya yang menulisnya. Selamat mengamati…