Hari ini, 3 Desember, diperingati sebagai Hari Penyandang Cacat Internasional. Salah seorang teman yang sedang mengikuti program Master Humanitarian Assistance di Rijksuniversiteit Groningen dan sebelumnya aktivis LSM di Surabaya, semenjak perkenalan sudah menyampaikan uneg-unegnya ingin menyusun situs Web yang berisi ungkapan pemikirannya. Tidak pelak lagi, model blog akan memudahkan orang-orang seperti dia menyusun situs Web sendiri. Tidak perlu banyak bekal teknis kecakapan HTML.
Akhirnya dengan persiapan dua pekan sebelumnya — terutama untuk keperluan registrasi domain dan pemesanan tempat hosting — blog Cak Fu dengan tema Berbagi Gagasan untuk Membangun Kesetaraan diluncurkan resmi menyambut Hari Penyandang Cacat Internasional. Cak Fu, demikian panggilan akrab Bahrul Fuad, teman yang saya maksud di atas, sudah nawaitu, memanjatkan niat, untuk menulis lewat media Web.
Saya yang membantu menyusunkan sedikit bagian teknis persiapan blog tersebut turut senang terutama karena kemudahan pemilik gagasan menyuarakan pendapatnya. Apalagi untuk seseorang yang ingin menulis hal-hal yang positif, saya pikir jangan sampai gagasan dia tersumbat oleh kesulitan media penyampai. Pada sisi ini blog punya peran membantu.
Ongkos yang dikeluarkan juga masih terjangkau. Penyiapan situs Cak
Fu menghabiskan biaya untuk pembelian domain dan tempat hosting
sebesar USD 31 ditambah Rp 200.000,00 atau sekitar
Rp 500.000,00. Harga domain sebesar itu karena dibeli untuk
periode lima tahun memanfaatkan harga promosi untuk domain info
di
GoDaddy. Jika dilihat dengan mata uang Euro
yang kami gunakan di sini, tentu tidak terlihat besar dengan ongkos
EUR 26/tahun untuk penyediaan situs Web. Namun bagaimana dengan
penghasilan dalam Rupiah? Saya semangati Bahrul, Ya sudah, nanti
di Surabaya kamu menabung saja sekitar Rp 20.000 setiap
bulan.
Barangkali pos pengeluaran pembelian sebagian pulsa telepon
genggam dapat dipindah ke tabungan tersebut?
Harapan saya terhadap blog Cak Fu adalah tulisan dengan topik-topik penyandang cacat yang besar kemungkinan perlu difahami lebih jauh lagi oleh publik. Apalagi ditulis oleh pelakunya sendiri, yang menurut Tomi Satryatomo, wartawan televisi, lebih kuat dari sisi pemaparan dibanding pengamat atau komentator yang tidak mengalami sendiri. Sekaligus menjadi kontribusi bagi blog berbahasa Indonesia agar lebih kaya dengan tema.