Pembebasan Pemakaian Frekuensi 2,4 GHz

| No TrackBacks

Inilah tragedi — atau karena sering terjadi, kemungkinan sudah menjadi komedi — yang umum di Indonesia: dikekang protes, dilepas saling memangsa. Setelah bertahun-tahun diteriaki lantang agar frekuensi 2,4 GHz dibebaskan, akhirnya Departemen Perhubungan RI mengeluarkan Kepmen No. 2/2005 tentang Pembebasan Frekuensi 2,4 GHz. Keputusan ini berlaku mundur semenjak tanggal 1 Januari 2005. Tragedi itu sendiri adalah sejumlah indikasi “hukum rimba” pihak yang kuat memangsa yang lemah — dan tanpa kesadaran akan konsekuensi, akhirnya jor-joran pada kekuatan sumber daya fisik, yakni kekuatan daya pancar.

Budi Rahardjo mengingatkan kondisi ini pada awal November tahun lalu, 2.4 GHz: tragedy of the commons, dengan mengambil judul tulisan Garrett Hardin, The Tragedy of the Commons, di Science, 162(1968):1243-1248. Hardin menulis penutup yang menarik tentang perang nuklir, Kedua sisi pada adu kekuatan… berhadapan dengan dilema peningkatan kekuatan militer secara terus-menerus dan penurunan keamanan nasional secara terus-menerus. Menurut pertimbangan profesional kami dilema ini tidak memiliki solusi teknis. Apabila kekuatan-kekuatan besar terus mencari solusi hanya di area sains dan teknologi, hasilnya akan memburukkan situasi.

Dari pasar terdapat kondisi seperti yang ditulis oleh Rodadi Edo,

Penjual amplifier WLAN 2,4 GHz iklannya begini:

WLAN 2,4 GHz bebas agar WLAN anda tidak terganggu pasang amplifier. Jual amplifier WLAN sampai 10 Watt terima orderan khusus sampai 20 Watt.

— Dikutip dari email Rodadi Edo untuk IndoWLI.

Teriakan kepada komunitas juga yang diulang oleh Benyamin Naibaho,

Kadang-kadang saya bingung lihat komunitas kita sendiri: waktu 2,4 GHz belum dibebaskan, banyak yang “teriak-teriak” minta dibebaskan. Sekarang setelah diteken Keputusan Menteri Perhubungan untuk pembebasan 2,4 GHz, kita sendiri yang bingung, karena bakal ada potensi konflik antar kita sendiri.

Kalau saya yang jadi pemerintah atau pembuat kebijakan, saya akan kumpulkan dan minta pertanggungjawaban orang-orang yang dulu minta frekwensi 2,4 GHz dibebaskan — minimal membuat aturan antar mereka sendiri, biar tidak [menyebabkan] ribut.

— Dikutip dari email Benyamin Naibaho untuk IndoWLI.

Bagaimana dengan komunitas penyeru pembebasan frekuensi 2,4 GHz yang sekarang diminta menyusun aturan di lapangan agar lebih tertib?

Pataka ID sudah menjelaskan lebih gamblang lewat email pada tanggal 30 November lalu,

Argumen baliknya cuma satu: tiap pengguna (dalam hal ini operator) harus memahami standar, regulasi, desain, dan implikasi teknis. Tidak bisa abai lagi sehingga konsekuensi logis bagi organisasi (IndoWLI) dan komunitas haruslah bisa melakukan sosialisasi. Seluruh rantai industri harus peduli. Kalau tetap abai, maka pelanggaran akan tetap terjadi dan represi akan jalan terus.

— Dikutip dari email Pataka ID untuk IndoWLI.

Bukan hanya urusan mengatur para pemakai frekuensi, seperti sudah disinggung oleh Santoso Serad, Kepala Bagian Hukum Ditjen Postel Dephub, akan ada kewenangan dari pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten, dalam urusan ini. Tidak perlu menunggu lama, Dinas Perhubungan Jawa Timur sudah menyiapkan draft perijinan dan penyelenggaraan spektrum frekwensi 2,4 GHz, yang salah satu butirnya adalah klausul Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) dan retribusi penggunaan frekuensi.

Ya, regulasi di Indonesia — terutama dalam hal pengaturan ongkos dan jatah pengelola aturan — masih berlapis-lapis. Jika di atas diloloskan, di bawah masih ada jaring lagi.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/272

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on January 25, 2005 1:48 PM.

"Nofollow" yang Belum Saya Perlukan was the previous entry in this blog.

Getok Tular is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261