Kendati saya sudah agak sinis menyebut instalasi ulang di Windows XP adalah ritual tahunan, sesekali saya kedatangan “korban-korban” persoalan di notebook mereka dan dalam beberapa kasus instalasi ulang adalah obat paling praktis. Misalnya virus atau worm berkecamuk, campur aduk dengan spyware dan notebook hang, atau mati semaunya sendiri. Mencari pola kemunculan persoalan saja sudah tidak jelas, alih-alih mencarikan penyembuhnya.
Padahal ongkos — dilihat dari sumber daya yang dikerahkan — untuk instalasi ulang Windows XP di notebook mahal.
- Penyelamatan data perlu waktu lama.
Berbeda dengan komputer desktop yang lebih mudah dipindah-pindah hard disk-nya, di notebook cara yang hampir selalu dipakai adalah menyelamatkan data keluar lewat jaringan atau koneksi langsung dua komputer (direct cable connection). Dengan koneksi LAN yang ada di tempat saya, tetap perlu waktu 2-3 jam untuk memindahkan data puluhan Gigabyte. Saya belum pernah membandingkan dengan menyelamatkan data ke hard disk eksternal — seharusnya lebih cepat karena menggunakan USB. Tentu saja, tidak semua pemilik notebook memiliki hard disk eksternal. - Notebook bukan gudang data.
Karena ukuran ruang hard disk di notebook bertambah besar, pemakainya sering menganggapnya menjadi satu-satunya gudang data. Berkas-berkas foto, lagu, film, atau game, yang diperoleh dari mengunduh dari Internet atau menyalin dari orang lain, disimpan begitu saja di notebook dan tidak dibuatkan cadangannya secara berkala. Alhasil, pada saat notebook terkena masalah, usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan koleksi berkas berukuran raksasa ini sering lebih memakan waktu dibanding data utama yang digunakan untuk bekerja di notebook. Manfaatkan CD Writer untuk membuat cadangan berkas tidak-penting-namun-sayang-dibuang tersebut, dan modal untuk membeli keping CD tetap lebih murah dibanding kesulitan yang muncul jika notebook bermasalah. - Dilema dengan CD Pemulih.
Umumnya notebook dilengkapi dengan CD Pemulih (Recovery CD) yang berisi prosedur instalasi Windows XP standar menurut produsen notebook tersebut. Pengoperasiannya juga lebih mudah: CD Pemulih benar-benar salinan utuh dari instalasi Windows XP di notebook yang bersangkutan, sehingga yang dilakukan adalah mengembalikan salinan di CD ke hard disk notebook. Tidak perlu ada deteksi perangkat keras dan konfigurasi yang dipasang sudah baku.
Namun justru di situlah letak persoalannya: tidak mungkin menyelamatkan sistem dengan membuat instalasi sekunder Windows XP — yaitu instalasi lain Windows XP di subdirektori baru, sesuatu yang mungkin dilakukan lewat instalasi Windows XP pada umumnya (bukan dari CD Pemulih). Partisi di hard disk pun akan dikembalikan sesuai “kemauan” CD Pemulih tersebut, dan hasilnya: tinggal satu partisi! Hal ini yang menyebabkan penyelamatan data yang disebut pada item pertama di atas menjadi keharusan, walaupun data tersebut seharusnya sudah aman karena misalnya disimpan di partisi lain. Belum lagi seandainya di notebook tersebut terdapat instalasi sistem operasi lain yang menggunakan partisi terpisah.
Apakah pemilik notebook diminta untuk membeli CD Windows XP dan tidak usah menggunakan CD Pemulih? Harga komersial Windows XP sekitar €100… Jika yang bersangkutan bersedia membeli, paling bisa dibantu dengan membeli lewat lisensi untuk universitas.
Notebook memang lebih menarik: praktis, mudah dibawa kemana-mana, dan di akhir masa kuliah dapat dibawa pulang ke Indonesia. Namun tanpa pertimbangan cara pemeliharaan yang memadai dari pemakainya, sejumlah kerepotan karena gangguan dari sisi perangkat lunak sangat mungkin terjadi.
Jika saya punya notebook pribadi, cukup beri satu CD atau disket kosong, kemudian disiapkan menjadi boot loader dan diisi konfigurasi instalasi lewat Internet untuk GNU/Linux atau keluarga BSD. Dengan kecepatan akses Internet 4 Mbps, cukup saya arahkan proses instalasi ke server mirror terdekat dan penyesuaian dengan konfigurasi sistem atau partisi hard disk mudah dilakukan.