Saya menyimpan sejumlah catatan berisi diskusi yang di dalamnya
disusupkan persoalan pemakaian perangkat lunak ilegal atau sering
disebut “perangkat lunak bajakan”. Pada saat kasus pengambilan berita dari Detik.com yang dilakukan sejumlah mahasiswa di
Yogyakarta, salah satu pleidoi yang dikemukakan
Sridewa,
Masalah Hak Cipta Detikcom ?? (vs Oggix), dengan
subjudul Di Atas Langit Masih Ada Langit, adalah aspek
legalitas perangkat lunak yang digunakan reporter Detik.com.
Berikutnya, tatkala plagiat desain blog diekspos,
pembelaan diri yang muncul adalah, Coba anda pikir jika anda
masih menggunakan OS bajakan,
perangkat lunak bajakan, artinya anda tidak
ada bedanya dengan orang yang anda cela.
Kedua kasus di atas terjadi di awal dan tengah tahun 2004; dan masih berlanjut di awal tahun ini di sebuah topik mailing list id-gmail yang pada awalnya membicarakan cara menghilangkan banner di Blogger, entah penyebabnya, yang bersangkutan kemudian membelokkan ke persoalan lisensi perangkat lunak. Beberapa hari berikutnya, di situs Priyadi Iman Nurcahyo, komentar tentang pembuat perangkat lunak game pertama di Indonesia juga berisi dugaan lisensi alat bantu yang digunakan.
Benar, tudingan berkaitan dengan lisensi perangkat lunak yang kita gunakan punya kemungkinan menyebabkan suasana menjadi keruh, sehingga salah seorang pengirim email di mailing list Linux Aktivis mengeluh,
Memang sih susah untuk menjauhkan Indonesia dari pembajakan. Terkadang inilah yang membuat para aktivis Linux sering dibikin kesal oleh mereka, apabila mereka langsung membalas, “Munafik lo!”
Pembajakan: kita semua, pemakai komputer di Indonesia, suka atau tidak, terkena getah banyak orang (tidak dapat disebut sebagai beberapa) yang menikmati cempedak pembajakan perangkat lunak. Pembahasannya bisa bertele-tele dan melelahkan: sedikit yang rasional, lebih banyak aspek sentimentilnya. Seorang teman dari sebuah Fakultas Hukum salah satu universitas ternama di negeri kita menyebut pendapat seorang dosennya bahwa sekalipun bapak tersebut menyadari hal itu melanggar hukum, namun kalau bermanfaat bagi bangsa, tidak menjadi soal. Nasionalisme, dalam banyak hal, lebih dekat dengan sikap romantik.
Pendapat yang saya dengar di sekitar juga setali tiga uang: jika tidak tersedia perangkat lunak bajakan, bagaimana kami belajar menggunakan komputer? Mereka — para penyedia perangkat lunak bajakan — kan ikut membantu di dunia pendidikan, karena tidak mungkin kita yang masih belajar harus membeli perangkat lunak asli yang mahal.
Akan menjadi seperti benang kusut apabila diteruskan dan tidak cukup dibahas hanya dengan sebuah artikel pendek di laman Web ini.
Karena tudingan tersebut seperti kalap ditujukan di sebarang tempat, marilah kita berhati-hati untuk tidak menggunakan isu legalitas secara serampangan. Semua diskusi menjadi kontra produktif, kehilangan arah, dan berubah menjadi konflik pribadi begitu isu legalitas ini disulut. Semua argumen seperti dibungkam, setiap orang menjadi seperti dilecehkan. Ringkasnya: tema utama diskusi menjadi macet.
Kalau argumen perangkat lunak bajakan dijadikan mortir yang diarahkan ke segenap penjuru bahkan untuk mengusir lalat, seharusnya perlu juga dipertanyakan legalitas perangkat lainnya — apakah anda yakin semua komponen komputer tersebut diperoleh dengan jalan halal? Bagaimana dengan koneksi Internet, izin pengelolaan Warnet, buku, koleksi MP3 dan film di komputer? Jangan dijawab, saya hanya ingin menunjukkan betapa runyam apabila sebuah diskusi dibelokkan pada persoalan yang sudah di luar konteks.
Saya masih berprasangka baik bahwa kita tidak ingin menjadi bangsa pembajak perangkat lunak, oleh karena itu beberapa alasan yang dikemukakan ada baiknya didengar dan dicarikan solusinya. Karena dihasilkan dari pendapat yang bersilangan dan serampangan seperti di atas, argumen yang dihasilkan menjadi tidak jelas kaitannya. Misalnya belajar komputer dan menggunakan perangkat lunak bajakan, itu adalah dua hal terpisah. Pemakai sangat mungkin belajar komputer tanpa harus secara sembrono terperosok menggunakan produk ilegal. Banyak variasi lisensi perangkat lunak — sila pilih yang sesuai dengan keperluan dan kemampuan anda. Demikian pula beberapa vendor menyediakan variasi lisensi dalam paket penjualan mereka, pintar-pintarlah bernegosiasi.
Yang tidak kalah penting juga adalah perilaku kita sendiri sebagai
pemakai komputer. Benarkah perangkat lunak itu yang saya
perlukan?
, adalah pertanyaan penting. Untuk membesarkan atau
melakukan rotasi gambar, benarkah perlu Adobe Photoshop? Tidak
sedikit juga Microsoft Word versi terbaru dipakai hanya untuk
menulis surat atau pengumuman yang paling banyak hanya berisi
sepuluh halaman, dilihat fasilitas yang digunakan pun sebenarnya dapat
dilakukan dengan WordPad.
Tapi, kan saya sudah terlanjur menjadi pemakai Microsoft
Windows?
Pertimbangkan saran dari Microsoft
sendiri, Jangan
Ragu. Ubah Perilaku. Coba lirik koleksi masif
GNUWin misalnya — siapa
bilang GNU hanya untuk Linux?
Atau anda sebenarnya pemakai Microsoft namun tidak peduli dengan apa yang mereka sarankan? Berarti ini tugas yang lebih penting bagi Microsoft Indonesia, daripada hanya membesar-besarkan pernyataan bahwa pemerintah meminta Microsoft Windows edisi Bahasa Indonesia.