Jika Riswandha Imawan, Guru Besar Ilmu Politik UGM, mempertanyakan konsekuensi politik dari keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka jalur SMS untuk publik, yang terbayang pertama oleh saya setelah nomor SMS istimewa tersebut beredar di banyak mailing list adalah resiko data bervolume besar berdatangan. Ini SMS, sebuah pesan sangat singkat, sangat praktis, dan berada di telapak tangan pemakai telepon genggam yang meningkat terus jumlahnya di Indonesia. Pemakai SMS sejati sudah sangat lincah menggunakan tombol berisi tiga huruf dan sebuah angka di pesawat telepon; tinggal tekan OK dan pesan langsung sampai di nomor bapak presiden. Sekalipun beberapa orang menggunakan nomor telepon genggam yang dapat dipercaya kredibilitasnya, lebih banyak lagi yang dengan mudah ganti-ganti nomor antara lain akibat fasilitas yang kian mudah untuk melakukan hal itu.
Bukan, ini bukan karena karakteristik Bangsa Indonesia di sebuah negara yang oleh Wicaksono disebut tinggal di sebuah Republik SMS. Saya juga menyukai SMS lebih-lebih karena sangat ekonomis dibanding bercakap lewat telepon. Persoalan yang perlu mendapat lebih perhatian adalah situasi penanganan pesan massal lewat media elektronik tersebut, dan ini berlaku global. Lembaga kepresidenan Amerika, Gedung Putih, pun terpaksa mengakali pengiriman email untuk mereka dibuat berliku akibat jumlah pesan yang luar biasa dan sebagian — sudah dapat diduga — berisi materi spam.
Dalam urusan ini email dan SMS setali tiga uang, sedangkan memilih media SMS untuk Indonesia jelas membawa keuntungan audiens lebih luas yang dapat dijangkau. Boleh dikatakan semua pemilik telepon genggam secara otomatis menguasai cara pengelolaan SMS, berbeda dengan pemakai komputer yang tidak langsung memahami tata cara pengelolaan email.
Mengelola pesan yang masuk lewat SMS atau email relatif sulit karena cenderung bergaya bebas (free style) dan format yang digunakan sangat mendekati tulisan mentah (raw). Tradisi diskusi lewat email di negara kita juga masih berisi angggapan menulis email layaknya mengobrol di warung kopi.
Oleh karena itu, ini usul serius kepada Presiden Yudhoyono: bagaimana jika Bapak membuka diri terhadap dinamika masyarakat salah satunya dengan cara membaca blog?
Jangan salah sangka: bukan karena profesi saya penulis blog, namun terdapat beberapa pertimbangan di bawah ini,
- Informasi dari blog dikumpulkan, bukan datang menyerbu, sehingga inisiatif presiden untuk membuka diri tidak disia-siakan oleh banjir pesan yang masuk. Sebuah sumber tidak resmi menyebut jumlah sekitar empat puluh ribu pesan SMS yang diterima presiden setiap hari, atau kira-kira satu pesan SMS setiap dua detik.
- Pesan dapat ditampilkan dengan beberapa format, baik semata-mata persoalan tampilan atau modus pratilik atau tampilan penuh. Sudah jamak pembaca blog mengumpulkan sampai dengan ratusan sindikasi dan bagi mereka yang sibuk pun tetap dapat memilih bagian yang memang perlu saat ini dibaca, ditunda untuk waktu berikutnya, atau dilewati sama sekali.
- Kualitas pesan yang disampaikan lebih bagus. Penutur di blog relatif lebih peduli terhadap cara penyampaian, etiket mengirim dan menerima pesan di dunia Internet, sampai dengan persoalan kebahasaan. Jika mailing list sering dianalogikan dengan kedai tempat mengobrol, blog lebih sering diperhatikan oleh pemiliknya layaknya beranda rumah pribadi.
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pernah diceritakan oleh Majalah Tempo di zaman Orde Baru sebagai salah satu pejabat yang punya kebiasaan mengumpulkan potongan koran yang berisi kritikan terhadap Pemda DKI saat itu. Dengan adanya media baru saat ini, berbeda dengan media massa cetak dan media massa elektronik, blog dapat langsung membawa cetusan penulisnya.
Dan, Pak Presiden, ehm… percayalah, blog bukan tren sesaat!
oke. gimana kalo para blogger rame2 ngumpul di HI buat bilang ke masyarakat luas kalo blog itu bukan tren sesaat, patut dibaca, dan perlu! :D
SMS presiden ini bahkan sekarang sudah jadi spam! Hal ini menunjukkan bahwa tim kepresidenan memang gemar menggunakan teknologi tetapi tidak berpikir tentang implikasi etisnya. Bahkan mungkin tidak juga pada aspek manajerial-nya.
Ali Sadikin dalam contoh anda mengumpulkan klipping media dan menggunakannya sebagai kontrol atas kerja/kinerja bawahannya, dengan demikian ada pengaruh komunikasi (tidak langsung) lewat media massa terhadap kualitas pelayanan yang dilaksanakanoeh anak buahnya. Menarik untuk diikuti bagaiman pengaruh SMS presiden terhadap jalannya roda pemerintahan SBY.
TIDAK SETUJU! Mending Pak Presiden lebih bekerja keras memberantas korupsi! Lebih keras lagi.
Seperti halnya terhadap SMS, tentu kita tidak berharap Presiden, atau pejabat tinggi lainnya, menghabiskan waktunya di depan layar telepon genggam atau komputer, melainkan menjadikan sebagai salah satu sarana untuk “membuka diri” terhadap persoalan bangsa. Salah satunya adalah persoalan korupsi itu sendiri.
“Permintaan” saya agar Presiden membaca blog lebih didasarkan pada inisiatif beliau sendiri untuk mendengar aspirasi masyarakat lewat “media baru”. Apakah jalur ini dapat lebih efektif atau tidak, tentu masih terbuka kesempatan untuk melakukan evaluasi.
Saya tidak mengkaji misi SBY dengan ber-sms-ria tersebut. Tapi metoda yang dipilih, ya sms itu, saya pikir layak dengan pertimbangan: audiens jauh lebih besar ketimbang email dan (tentu saja) blog. SBY mungkin berharap sms itu bisa menyingkat “birokrasi” rakyat bicara dengan pemimpinnya, ketimbang harus menulis dengan mengikuti EYD versi koran kalau ingin dimuat di media massa.
Saat niat itu disampaikan ke publik, saya sudah bertanya2 (walau tidak mencari jawabannya) apakah SBY dan timnya sudah mempunya infrastruktur yang mumpuni untuk meladeni jutaan sms yang pasti akan masuk? Tentu dengan punya 2 atau lebih nomor bukanlah solusi yang tepat. Setelah infrastruktur, kemudian dia seharusnya sudah tim khusus untuk membaca dan memfilter sms2 itu untuk disampaikan ke presiden. (Saya kurang rela juga kalau presiden membaca sendiri, walau cuma 1 jam. Mendingan waktunya dipakai buat yang lain.)
Untuk yang kedua saya percaya dia sudah punya, tapi untuk yang pertama? Saya baca di koran hari pertama selponnya hang karena kebanyakan terima sms.
Selain sms, menurut salah blog adalah metoda terbaik lainnya yang bisa dilakukan SBY kalau ingin mendengar pendapat dari rakyatnya. Sms dan blog sebenarnya setara: tidak ada lembaga pengontrol, mandiri, dan subjektif. Namun audiens blog tentu lebih sedikit. Dan saya sendiri masih ragu, bagaimana tim SBY nanti memilih blog yang memang bagus untuk dilanggani (syndicate)?
Saya sendiri tidak tahu apakah kita-kita ini sudah punya komunitas blog yang bersifat organisatif (setidak2nya paguyuban) selain yang bersifat konco2an? Kalau ada, bagus banget menurutku…
Maaf, tadi ada salah ketik pada alinea ke-4:
Harusnya: Selain sms, menurutku blog adalah salah satu metoda terbaik lainnya yang bisa dilakukan SBY… dst.
Sekali lagi minta maaf…
#5
Saya kira, disanalah seninya. Tim presiden harus bisa memilih dengan benar dan tepat. Seperti halnya apa yang telah dilakukan Ali Sadikin dengan mengumpulkan kliping dari “traditional” media :)
perlu google buat search jutaan sms yang masuk. :) telkomsel makin kaya nih. aku lihat sms di detik isinya grup AA melulu.
coba wiki. rasanya lbh realistis.
Tentu saja, pada akhirnya adalah seni untuk memilih, kiat untuk mendengar. Apapun media atau jalurnya, tentu pengambil keputusan harus melakukan pengelompokan masukan yang diterima, melakukan analisis, dan bukan semata-mata berbasis keterangan orang per orang. Dalam komunikasi massal seperti ini yang lebih diperlukan adalah pengambil keputusan memperoleh gambaran yang memadai tentang hal-hal yang terjadi di sekelilingnya, secara berimbang dan memenuhi kualifikasi tertentu.
Sedangkan bagi mereka yang memang ingin melontarkan pengaduan dan dianggap serius (olehnya), tentu lebih baik menggunakan prosedur hukum yang sudah digariskan, bukan semata-mata langsung lapor kepada kepala negara.
Mas Amal,
Aku kadang2 suka bingung juga ngeliat cara pemerintahan kita ini supaya keliatan ‘care’ ke rakyat tapi sebenernya itu cuman ‘tren sesaat’, alias ide dilemparkan tanpa ada pemodelan dulu. Misal, klo unek2 bisa disampaikan lewat SMS, apa konsekuensinya (itu sudah ditulis oleh Mas Wicaksono), atau klo unek2 bisa lewat e-mail apa juga konsekuensinya (itu sudah dialami oleh pemerintahan US).
Alhasil, aku jadi ngeliat kayak Jim Carrey’s Bruce Almighty. Doi sibuk banget ngebales doa yang diorganisasikan lewat media e-mail.
Masalah BLOG. Aku dulu gak tau apa itu blog. Butuh 3 minggu untuk ngubek2 Goblogmedia, Inc dan itupun gara2 kepleset pengen bersedih ria dengan wartawan RCTI yang tewas di Aceh, alias gak sengaja nemuin Goblogmedia dan akhirnya saya memutuskeun untuk bergabung menjadi (go)blog. :) Hehehee… Trus nemuin fasilitas sindikasi setelah beberapa hari nge-blog.
Alhasil, aku jadi inget klo aku juga melakukan hal yang sama pada saat aku mulai serius langganan Intisari sejak harganya masih 4000 perak hingga sekarang yang isinya mulai basi, tanpa putus, yaitu ‘tidak pernah’ meluputkan satu artikel yang ada. Aku mulai baca heading dulu seperti di RSS. Dan, aku butuh waktu hampir 2 minggu utk selesai 1 buku. :))
Dari 2 contoh itu, satu, siapa yang akan bertanggung jawab untuk memperkenalkan blog ke SBY yang aku percayain doi kenal komputer itu cuman seadanya? (Dari KerMiT?:) Kesimpulan seadanya ini karena doi lebih memilih SMS yang lebih rentan dibandingkan e-mail. Kedua, berapa banyak waktu yang harus doi habiskan untuk semua sindikasi, jika dan hanya jika ternyata blog akhirnya memasyarakat?
Aku kok lebih berpikiran setuju dgn ada pendapat diatas. Presiden lebih baik lebih mementingkan presidensialnya (salah satunya brantas korupsi) ketimbang membuktikan bahwa doi ‘care’ terhadap Indonesia. (Pak SBY, saya kecewa thdp Anda. Saya berhak kecewa karena saya memilih Anda pada waktu pemilu)
Klo aku jadi SBY, aku akan cari Ali Sadikin lainnya. Mungkin kriteria Gubernur, Bupati, Walikota di fit and proper test-nya kudu memasukkan unsur melek teknologi. Sehingga gak perlu kliping. Cukup sindikasi aja. Dan bertekad spt presiden utk menuntaskan semua permasalahan di daerahnya sampai tuntas. Aku rasa itu juga gunanya beliau2 ini. Soale, aku rasa gak kena klo masyarakat pada komplen masalah yang seharusnya bisa ditangani oleh gubernuran tapi terpaksa mesti dipikiran juga oleh seorang presiden. Sangat mubazir.
Merdeka!
Blog juga perlu, tapi kalo presiden cuma baca blog melulu ya percuma. Intinya semua komunikasi dibuka, terutama komunikasi langsung dengan rakyat dan interaktif. Tapi juga ada penyelesaian jangan hanya ngomong, nanggapi dan argumentasi.
Saya lihat pemimpin di luar negeri sering sekali keluyuran ke pasar-pasar, ladang-ladang ternak petani, tanpa pengawalan yang ketat untuk langsung ngomong dg rakyat, dan itu bukan seremonial belaka. Mereka bicara di radio dan TV secara live dengan pewawancara yang sangat kritis dan tidak kaku. Isu2 mutakhir pun langsung direspon dengan cermat.
blog emang bukan tren sesaat,lucu juga kan klo SBY bisa curhat secara umum dan masyarakat bisa ngebaca tulisan beliau disitu, mungkin kita sebagai masyarakat bisa ngerti betapa beratnya jadipresiden, jadi kekhawatiran kita bisa berjalan 2 arah….mudah2an ada blog dgn alamat presidenindonesia.blogspot.com…hahahahaha
saya ingin tahu alamat bapak sby yang bogor(rumah pribadi) tolong kirimkan alamat itu kepada saya secepat mungkin terima kasih