Mengapa membela tindakan “mencuri”? Itu pertanyaan yang membuat saya
mengernyitkan kening setelah membaca tulisan Radhar Panca Dahana,
Pencuri Hak
Intelektual.
Radhar adalah seorang sastrawan dan tulisan tersebut dimasukkan ke
rubrik humaniora. Jika ia berniat membandingkan sejarah penjarahan
kebudayaan-kebudayaan dunia, seperti terlalu rendah dia terjun pada
persoalan penertiban Warnet yang dibelanya sebagai, yang
terbayang adalah penghasilan yang berangka trilyunan rupiah bagi
Microsoft.
Sedangkan apabila tujuan dia melawan kapitalisme,
liberalisme, dan globalisme — itu pun disimbolkan dengan
penyederhanaan terhadap “sebuah Microsoft” — seperti tidak
sepantasnya membaca “para maling saling berteriak, ‘maling’!.”
Sudah barang tentu, saya tidak ikhlas, tidak mau begitu saja bangsa kita menjadi korban. Kalau saya — katakanlah — “mafhum” pada persoalan penerapan hak atas kekayaan intelektual bukan dalam hal menjadi korban yang ikhlas, melainkan karena melihat ada sesuatu yang tidak seharusnya seperti itu pada proses perlawanan kita. Jika pemerintah yang lalu menyetujui begitu saja WTO, kenapa tidak kita tuntut pemerintah saat ini untuk mengevaluasinya, alih-alih menyebut maling kepada pihak lain.
Itu di level pengambil kebijakan, sekarang coba amati yang terjadi di lapangan: bagaimana kita hendak menuding penjarahan kebudayaan global apabila prosedur penertiban Warnet yang dilakukan petugas masih jauh dari cara-cara yang tertib dan menghormati bangsa sendiri? Bukankah hal ini lebih menyakitkan dibanding tudingan kita kepada bangsa lain? Coba kita bercermin lebih jujur: siapa sebenarnya yang sedang dengan aktif menjarah kita sendiri saat ini? Kebudayaan global, kapitalisme, Microsoft, atau… jangan-jangan sikap bangsa kita sendiri?
Saya pun tidak sampai hati menimpakan semua kesalahan kepada
petugas, karena dari salah satu teman yang mengelola Warnet
terdengar faktanya: calon pemakai Warnet mulai pilih-pilih, begitu
datang mereka bertanya, Di sini pakai [Microsoft] Windows?
Siapa yang mewajibkan pemakaian produk Microsoft untuk mengakses
Internet? Tidak ada! Jadi kenapa kita minta “barter” tindakan
menggunakan perangkat lunak ilegal dengan kisah sejarah di masa yang
lampau? Mengapa bukan kita yang berusaha menjadi mandiri sehingga
tidak mengekor pada sebuah produk tertentu untuk dipakai di
Warnet, misalnya?
Jika kita tidak sudi duit ratusan ribu dolar mengalir ke pundi Microsoft, caranya bukan dengan mengungkit-ungkit sejarah di masa lalu. Itu cengeng dan hanya membawa-bawa simbol (yang dianggap) keemasan yang telah lewat. Cara yang lebih rasional, lebih menjaga martabat bangsa, dan lebih menabuh genderang perang adalah: tinggalkan produk Microsoft! (Microsoft pada paragraf ini hanya sebuah merk, dapat diganti dengan merk lain yang tidak disetujui atau istilah generik, “kapitalisme”)
Atau jika anda berpendapat sangat sulit untuk meninggalkan sama sekali (ini juga konsekuensi globalisasi), gunakan kemampuan bernegosiasi lebih baik lagi. Sayangi “musuhmu” dengan cara berunding dan rangkullah temanmu dengan mengingatkan dia agar melakukan introspeksi.
Yang jelas: sudah usang berteriak “maling”, karena — siapa tahu — kita sendiri masih menyisakan keinginan untuk membalas dendam dengan cara maling juga.
kaya nasionalisasi nya Anwar Sadat dong ? Atau malah kaya Saddam Hussein ?
Eh tapi ndak papa ding, seru seru :))
bukannya membela pencuri “di negeri para maling”.
Tapi kenyataannya emang tidak bisa di pungkiri negara tercinta ini memang lebih banyak maling nya dari pada yg nggak. Padahal sudah di beri opsi lain yg lebih memudahkan dan meringankan semacam Linux tapi gak dipake .
M$ memang mudah dan menarik tapi sama sepeti narkoba ,,, sama - sama memudahkan :P
Wah, saya belum sampai memberi label “negeri para maling.” ;)
Linux juga “mudah” lho, yang lebih sulit adalah mengubah kemauan. :)
Benar sekali, interest saya terhadap Open Source emang tinggi. Dan karenan tuntutan kerja dikantor saya tetep make M$ Bajakan. Jadi pusing sendiri saya :(
kalau nyingkapi kasus kayak saya gimana?
Mas Jauhari,
Aku juga selalu ngadepin banyak temen dan kastemer yang selalu mengeluh dengan sudah banyaknya data (baca: kerjaan) mereka yang dikerjakan menggunakan basis sistem operasi kluaran MS.
Pekerjaanku saat ini yg banyak berkutat di kustomisasi sistem informasi geografis untuk salah satu badan milik pemerintah selalu berhadapan dgn kenyataan bahwa: “wahh…saya biasa ngedigit dgn ArcInfo, AutoCAD”, “biasa ngelola data spatial di ArcView”. Sampe bosen dan gedeg aku.
Spt kata Mas Amal, “kemauan”nya rendah sekali. Aku ngertiin kemauan yg rendah ini karena dulu mrk ini blajar AutoCAD, ArcView (padahal ini jg s/w bajak) susahnya setengah modar karena hampir semua usernya dah tuek2 (baca: tua). Bahkan ada yang sampe sekarang msh megang2 buku primbonnya yg dah kucel. Trus, disuruh pindah pulak ke Linux, QuantumGIS.. Hehhee…
So, klo kita liat dari masalah di tptku mengais sesuap berlian :) dan masalah Mas Jauhari, (maaf) klo aku ngeliatnya sbg “karakter bangsa”. Bangsa kita emang “begitulah”. Tidak banyak mas dari bangsa kita ini yg mau ngargain orang lain. Aku bukan bicara masalah masy. kota. Di desaku malah lebih gila.
Kebanggaan bangsa kita yang masih aku liat saat ini HANYA tepo seliro. Sayang itu hanya utk masalah sosial tapi gak merasuk seluruhnya termasuk ke soal IT.
Dari jaman bajakan msh merajalela, aku masih berpikir utk punya s/w asli. (bahkan aku sampe kehilangan temen gara2 mertahanin pengen punya s/w asli waktu bikin usaha) Bahkan aku tidak mau membuang sampah sembarangan dan pernah dibilang jorok karena menyimpan sampah permen karetku di kantong celana (wong saya gak nemu tong sampah kok, tentunya permen karetnya tak bungkus dulu:).
Bahkan aku pernah dibuat kagum guruku di negerinya Ratu Wilhelmina karena ketika aku kesulitan, doi malah mendatangi mejaku. Padahal doi dah tua, 59 taun. Sejak itu, aku bersumpah, jika ada yg minta tolong, mk aku akan bangkit dari mejaku. Ini contoh kecil.
Jadi Mas Jauhari, berusahalah sampeyan untuk sesegera mungkin melisensiin MS nya. Klo tetep gak bisa, migrasilah ke tpt yang seharusnya.
Insya Allah, saya akan bantu sebisa kemampuan saya untuk memberikan tangan saya dalam hal migrasi klo mas mo bedol desa. Hehehehehe… Peace!
Mmm… kayaknya pendapat Mas sm tulisan Radhar gak ada pertentangan. Cuma, Radhar menutupnya dengan pertanyaan kebingungan (mungkin krn dia gak akrab sama open source kaleee…). Sy kok ngeliatnya, Radhar menyesalkan keputusan pemerintah yang —seperti keputusan2 lainnya— banyak yang tidak menyertakan para ahli, gitu.
#5, ya sebenernya gak ada salahnya kok pake arcview atau autocad juga, yang penting softwarenya bukan hasil bajakan. kalo misalnya kemahalan ya udah suruh pake yang open source atau mungkin bikin sendiri…. gampang tho :P