Montase Foto

| 6 Comments | No TrackBacks

Kendati kasus montase foto Herman Saksono sudah diselesaikan dengan canda Presiden Yudhoyono di Bangkok dan Menteri Komunikasi dan Informatika sudah menyampaikan hak jawabnya terhadap opini editorial Koran Tempo, ada baiknya kita — pemilik situs Web — mengambil hikmah yang lebih mendasar dari persoalan foto tersebut. Sudah cukup banyak riuh-rendah terjadi pada komunitas Internet yang disebabkan oleh peredaran foto atau gambar digital, baik yang memang dari awalnya berupa aib pihak tertentu atau produk otak-atik dengan berbagai motif di belakangnya. Walaupun persentase pemakai Internet di negara kita masih tetap saja lebih kecil dibanding negeri jiran1 dan kehebohan kasus di Internet hanya persoalan kecil segelintir orang, distribusi foto atau film ke luar dari dunia Internet saat ini sudah sedemikian mudah dari tangan ke tangan, transfer antar-telepon genggam misalnya.

Memang sebagian besar ulasan menyebut bahwa montase foto dilakukan dengan tujuan bercanda, namun demikian dalam hemat saya produk yang dihasilkan cenderung berupa humor yang vulgar. Pada satire berbentuk tulisan, pembaca dibiarkan berimajinasi akan sindiran yang disampaikan dan umumnya humor yang disampaikan dengan cerdas perlu dipikir dan diketahui latar belakangnya terlebih dulu sebelum “ditemukan” unsur jenakanya. Demikian pula karikatur yang baik “menyerang” dari sisi pemikiran figur yang disorot; gambar-gambar yang ditampilkan di sana hanya menjadi simbol pencetus pemikiran tersebut. Tentu saja, karikatur “lebih rendah” yang hanya membawa olok-olok terhadap seseorang atau preferensi pribadinya juga ada.

Kondisi yang berbeda muncul dari montase foto yang memang bermaksud berkelakar terhadap bentuk fisik seseorang. Sekalipun pemirsa dapat diyakinkan bahwa hal tersebut sekadar “main-main” dan tidak ada maksud jelek apapun, ada perasaan rikuh, tidak nyaman, dan cermin tidak langsung: bagaimana jika situasi seperti itu menimpa saya atau keluarga saya? Beberapa teman dekat saya secara lugas menyampaikan perasaan itu setelah melihat hasil montase Herman dan mereka tidak dapat tertawa begitu saja menjumpai “kelucuan” seperti itu. Kira-kira serupa dengan penonton film Warkop DKI yang merasa aneh dengan adegan slapstik di film mereka setelah menjumpai humor-humor cerdas Warkop di panggung. Tentu saja tidak semua orang akan bersikap seperti itu; saya yakin ada yang sebaliknya.

Salah satu acara televisi RTL DE, Jerman, yang dulu sering saya tonton adalah Freitag Nacht Journal yang berisi lelucon-lelucon dalam bentuk montase film terhadap peristiwa politik mutakhir yang berkembang terutama di Jerman. Bagian yang menarik menurut saya justru pada potongan film yang menyerang ide para politisi, misalnya dengan mengganti-ganti suara mereka, mencari potongan klip rapat partai yang unik, atau klip video mirip lagu asmara antara Presiden Amerika Serikat G.W. Bush dan mitra dekatnya, PM Inggris Raya, Tony Blair. Adegan tersebut adalah hasil montase dan potongan berbagai klip yang dicocok-cocokkan. Sedangkan bagian sisa acara Freitag tadi hanya berisi potongan klip yang mempertunjukkan “kesialan” orang lain, mirip dengan America’s Funniest Home Videos. Kocak sih, namun malah muncul pikiran: masak saya tertawa begitu saja untuk klip video seorang anak kecil yang terantuk batu terus jatuh ke bak mandi, misalnya?

Saya belum tahu secara langsung dan belum yakin: apakah humor yang bertujuan menembak gagasan — apalagi jika di dalamnya berisi politik — di negara kita justru lebih berbahaya dibanding kelucuan yang mempertontonkan kesialan seseorang atau olok-olok bentuk fisik? Yang saya fahami: selain bentuk humor yang kedua tadi cenderung vulgar, salah satu keyakinan saya adalah sedapat mungkin menghindarkan aib seseorang (lebih) terbuka diketahui publik. Bagian yang seharusnya dibahas adalah gagasan pemikiran yang bersangkutan.

Apabila Anda tidak sejalan dengan pendapat di atas, saya tetap ingin menghargai hak Anda untuk berbeda dan menyatakan pendapat.

1 Lima dari seratus penduduk Indonesia yang menggunakan Internet, dibanding dengan 62 dari 100 untuk Singapura dan 45 dari 100 untuk Malaysia, demikian dijelaskan Wakil Presiden Direktur PT Microsoft Indonesia, Ari Kunwidodo. (Sumber: Koran Tempo edisi Senin, 19 Desember 2005, hal. A22)

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/378

6 Comments

bercanda dengan cara yang cerdas, begitu?

memang batasan becanda dengan menghina itu tipis, dan beda-beda untuk tiap orang, tapi dalam kasus herman, gue rasa pihak yang menuntut herman kelewatan juga, meskipun herman juga mestinya jangan masang gambar SBY (looking for trouble)

sepakat dengan apa yang sampeyan sampaikan kang….

setelah keliling2 kesana kemari akhir ulasan yg paling sesuai dgn isi hati saya aku temukan di sini. salam hormat saya dari mantan mahasiswa kepada mantan rektornya.

Iyap, yg pasti ada hikmahnya juga kasus itu.

Pertama, apapun bentuk dari kreativitas tidak bebas nilai (etika, kesopanan, batasan agama dll). Kedua, tidak bisa dianggap suatu kebebasan berekspresi jika kebebasan itu “mengganggu” (kebebasan) orang lain. Batasan untuk “mengganggu”, hukumlah yang menentukan.

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on December 21, 2005 6:31 AM.

"Internet Bangkok" — Bukan Hanya Jambu was the previous entry in this blog.

Tak kan Lari Pemakai OpenOffice karena Unsur Jaminan is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261