Impor Komputer Bekas atau Kedatangan Limbah?

| 17 Comments | 1 TrackBack

Pada awalnya adalah sebuah tulisan di Kompas, Posisi Microsoft yang diangkat ke mailing list Asosiasi Warnet oleh Judith MS dan beredar lewat pengiriman email silang (cross posting) ke mailing list Telematika. Akhirnya saya hanya mengamati perjalanan diskusi ini di Telematika dengan tema yang berkembang selanjutnya tentang kebijakan impor komputer (atau, lebih sempit lagi PC) bekas. Pada beberapa pendapat, diskusi ini membawa nama Microsoft yang memang dari tulisan di Kompas tersebut meminta pemerintah agar membuka keran impor komputer bekas.

Kompas melihat keinginan Microsoft tersebut lebih pada campur tangan sebuah perusahaan terhadap kebijakan pemerintah,

Yang kita tidak mengerti, tidak pahami, dan tidak dukung adalah mencampuradukkan persoalan kesenjangan digital dengan memengaruhi kebijakan pemerintah tentang telekomunikasi dan impor komputer bekas. Dalam bahasa politik ini namanya intervensi kedaulatan.

Perkembangan selanjutnya yang saya pandang penting dan menarik adalah paparan Pataka di Telematika perihal kepedulian pemasok komputer untuk tidak serta-merta begitu saja tergiur mendatangkan komputer bekas dari negara lain. Hal ini dikemukakan pada salah satu email yang merespon contoh jaminan yang diberikan pemasok bahwa pihaknya, Tidak sembarangan mengambil barang. Yang saya ambil 100% jalan, bukan sampah seperti yang rekan-rekan khawatirkan.

Jawaban Pataka,

Bagi penjual akhir, memang itu yang akan terjadi. Memilih yg terbaik tentu saja karena tidak mungkin menjual barang rongsok kepada pengguna akhir (end user).

Namun, apakah Anda sudah pernah melakukan penelusuran apa yang terjadi pada saluran yang lebih atas? Para dealer tempat Anda “kulakan” maupun para pengimpor komputer bekas? Pernahkah Anda memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi-kondisi ketika barang-barang itu sampai di negeri ini?

Tidak lain, hal ini adalah persoalan limbah produk teknologi yang bahkan di negara asalnya pun sudah menjadi persoalan pelik, dibuang ke negara lain dan penerimanya memperoleh insentif, dan kemudian diolah lagi (dengan cara tradisional) oleh negara tersebut untuk dijual lagi sebagai “produk bekas” — dan inilah yang akan kita impor!

Fakta: Amerika Serikat adalah pembuang limbah elektronik terbesar dan sejak tahun 1980-an Amerika adalah negara yg konsisten menolak setiap konvensi mengenai pengolahan limbah elektronik ini meskipun faktanya mereka tidak pernah melakukan daur ulang lebih dari seperempat total volum sampah mereka. Pada tahun 2005 sampah elektronik tersebut mencapai angka 30 juta unit per tahun dari total produksi yang mencapai 100 juta unit (yang sebagian besar dimanufaktur di luar negeri dengan praktik pengendalian lingkungan yang lemah).

Setengah dari jumlah tersebut diekspor ke negara-negara yang bersedia untuk “mengolah limbah elektronik” seperti Cina atau beberapa negara di Afrika. Upah yang diterima untuk “jasa pengolahan” ini cukup besar, tapi prakteknya “sampah” tersebut bukannya didaur ulang atau dimusnahkan, melainkan diekspor lagi ke negara-negara miskin seperti indonesia dengan dalih “rekondisi”.

Dari beberapa pengakuan importir, kondisi komputer-komputer ini lebih setengahnya benar-benar sampah, bisa masuk ke Indonesia berkat kongkalikong, praktik KKN, manipulasi dokumen impor serta pencampuran dg barang-barang lain. Sebagian besar sampah ini ditimbun di gudang-gudang, ditanam di lahan-lahan tidur, dibuang ke laut dan tidak terdeteksi keberadaannya karena kecenderungan praktek impornya yang setengah haram dan lemahnya tata cara pengawasan serta pengendalian.

Hanya seperempatnyanya yang akhirnya bisa diedarkan dan nampak bagus dan bermanfaat dan ditunggu-tunggu oleh saudara-saudara kita di Indonesia Timur serta membawa kesejahteraan bagi rekan-rekan kita. Itu karena mereka adalah pakar yang mampu memaksimalkan utilitas PC bekas. Padahal sebagian besar konsumen PC bekas bukanlah pakar; kebanyakan akan merasakan manfaat itu hanya dalam jangka pendek, selanjutnya akan muncul kesulitan mendapatkannya dan tidak mampu membeli periferal, spare part yang dihargai mahal seperti barang antik (sedemikian sedikit yang tersedia di pasaran), termasuk program-program yang relevan dengan tren saat ini.

Sedangkan argumen yang disebutkan oleh pihak yang belum melihat impor komputer bekas ini sebagai persoalan umumnya hanya melihat bahwa harga per satuan dianggap lebih murah. Kenyataannya, ongkos mahal yang disembunyikan adalah mengurus “bak raksasa” berisi limbah komputer dan solusi perangkat lunak “bantuan” yang diberikan Microsoft sangat mungkin menjadi mahal setelah komputer bekas itu tidak ditinggalkan ditinggalkan, upgrade ke spesifikasi perangkat keras baru dan berarti muncul tuntutan pindah ke perangkat lunak versi yang lebih baik, berlisensi dan bayar!

Bulan Oktober 2003 lalu, saya pernah menulis rencana KKP-PPI yang berniat mengumpulkan komputer bekas dari negara maju dan membagikannya ke sekolah-sekolah. Tujuannya memperbaiki rasio komputer dan siswa. Microsoft sudah disebut-sebut dalam rencana tadi dengan donasi berupa perangkat lunak yang “didomplengkan” pada komputer bekas tersebut. Kabar lain yang saya dengar saat itu, PPI Jepang yang sudah mengumpulkan komputer kesulitan memasukkan ke Indonesia karena terkena kendala administrasi barang masuk.

Dengan penjelasan cukup lengkap yang diberikan oleh Pataka dan pihak-pihak lain yang keberatan dengan kedatangan komputer bekas, alangkah baiknya jika inisiatif seperti yang dilakukan oleh PPI itu pun ikut ditelaah lagi dengan lebih baik. Limbah adalah limbah, sekalipun dikemas sebagai “komputer bekas dengan harga lebih murah.”

Catatan: kutipan paparan Pataka di atas diambil dari email dia untuk Telematika dan dipublikasikan atas persetujuan yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena mailing list Telematika tidak membuka arsipnya untuk dibaca publik. Kutipan tersebut tidak sama persis dengan tulisan aslinya dalam hal terdapat perbaikan ejaan.

1 TrackBack

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/382

Harry Sufehmi merasakan sedikitnya pendukung impor komputer bekas. Read More

17 Comments

kemajuan tanpa memperhatikan faktor lingkungan sama sekali bukanlah kemajuan. dalam hal ini saya gak setuju impor limbah teknologi.

Kebetulan saya beberapa kali ke India dan melihat kondisi pasar komputer bekas di sana. Walau saya tidak punya statistik dasar, tapi karena pernah bermain di perakitan komputer, saya boleh bilang kalau dari setiap satu komputer sehat, itu merupakan kanibal dari 3-5 unit lainnya. Dan kemana unit yang un-repairable? Di India ada orang orang yang bersedia keracunan hidupnya melakukan proses recycle e-waste dengan tenaga manusia. Dan hasilnya lingkungan rusak serta kesehatan buruk. Coba search artikel di Times tahun 2005 akhir, ada yang membahas kondisi ini. Saya harap Indonesia tidak jadi turut seperti itu.

Saya sekarang sudah berkali-kali melakukan instalasi infrastruktur Linux + LTSP. Hasilnya adalah sistim komputer yang reliable, performa bagus, dan biayanya minimum. Hal ini karena Pentium II + 32 MB RAM tanpa hard disk sudah cukup untuk menjadi workstation nya.

Ini bisa menjadi solusi IT yang cost-effective untuk di Indonesia. Kami ada tim kecil yang sedang menyusun panduan untuk membuat sistem ini, sehingga bisa dilakukan oleh orang lain. Juga sedang merencanakan seminar/workshop, agar ide ini bisa lebih memasyarakat lagi.

Tapi, kami kadang kesulitan mendapatkan workstation untuk solusi ini. Ada beberapa tempat yang menjual komputer bekas, tapi seringkali laku keras. Kadang kita berebut membelinya.

Kalau komputer berharga murah, mudah2an bisa makin banyak rakyat Indonesia yang bisa mengaksesnya. Kalau yang ada hanya komputer baru, saya pun berpikir2 dulu sebelum membelinya.

Di luar negeri, sudah banyak charity yang mengirimkan sumbangan komputer bekas ke Afrika, dan tempat2 lainnya yang membutuhkan. Kuncinya adalah partner di lokasi tujuan - di negara ybs, sudah ada LSM yang menerima dan men setup komputer2 sumbangan tsb, sampai siap pakai.

Sekedar menambah beberapa perspektif di isyu ini.

Menilik potensi daya guna komputer bekas (seperti ditulis di atas); usul saya, sebaiknya impor komputer bekas dibuka.

Namun, konsekuensinya adalah pemerintah membuatkan sebuah pusat recycling untuk komputer.

Jadi, ketika akhirnya ada komputer yang benar2 tidak bisa digunakan lagi (contoh: karena sudah di “kanibal” habis-habisan), maka kemudian bisa di-recycle. Sebuah pusat recycling yang bagus bisa me-recycle nyaris 100% dari komponen-komponen komputer.

Kalau sekarang pemulung memunguti kertas, kardus, kaleng, dst; mungkin di masa depan mereka akan mendapati tambahan pendapatan dengan me mulungi komputer yang sudah mati :)

Lagipula pusat recycling ini sudah diperlukan juga toh, sudah berapa dekade komputer masuk ke Indonesia ? Bagaimana recycling komputer2 yang sudah pada mati selama ini ?

Kalau mau obyektif, musti dihitung cost to acquire itu komputer bekas+cost of maintenance+cost of disposal (proper disposal). Kalau total costnya dibawah benefit yang diperkirakan, sebaiknya impor tetap dilakukan. Belum ada yang ngitung ya?

#4, tahukah anda bahwa kebanyakan e-waste itu sifatnya toxic? Saya tidak masalah jika proses recycle dilakukan secara safe menggunakan teknologi tinggi, seperti yang dilakukan di Singapore, dimana Seagate, AMD, Intel dsb menghancurkan hard disk atau processor bagus untuk menjaga harga. Prosesnya menggunakan mesin yang dirancang untuk mengolah e-waste dengan aman dan yield yang tinggi. Tapi kalau seperti kasus di India, dimana dilakukan dengan tenaga manusia, bisakah kita rela orang orang miskin tersebut keracunan dan lingkungan hancur karena banyak kebocoran entah sengaja atau tidak sengaja terbuang ke lingkungan?

Saya tahu darimana sudut pandang Harry dan impiannya akan LTSP. Tapi coba anda pikir 2 kali, apakah LTSP akan berguna untuk konsumen pribadi? Jelas tidak, karena LTSP hanya berjalan di lingkungan jaringan multi user, jelas bukan pangsa rumahan

Saya juga pengguna komputer bekas, dengan kegunaan yang sama: LTSP, tapi setelah banyak mempelajari “udang di balik rempeyek” akhirnya saya termasuk yang menentang masuknya pc-pc sampah ini.

Dan seperti yang di atas saya sebutkan :) LTSP toh adalah bagian kecil, bagian besarnya adalah pengguna biasa. Dan melihat harga-harga PC baru, saya optimis kita bisa menghasilkan pc yang murah dan tidak perlu mendatangkan pc sampah ini.

Biarkanlah negara maju dengan persoalannya, kita dengan persoalan kita. Jangan mau persoalan mereka di lempar ke kita dengan alasan “sumbangan”.

#6 - ya, karena itu di komentar #4, saya tulis ide agar momen ini (isu impor komputer bekas) dimanfaatkan agar Indonesia jadi memiliki fasilitas recycling yang layak pakai.

Jadi kira-kiranya; “loe mau impor komputer bekas? Boleh, tapi bikin dulu recycling plant-nya. Kalo gak, sori aja” :)

Dengan demikian:

  1. Kita jadi bisa me recycle komputer bekas yang sudah ada di dalam negeri - yang selama ini entahlah bagaimana pengurusannya!
  2. Kita mendapat komputer yang layak pakai dengan harga terjangkau.

Pemilik pabrik recycling di subsidi pada awalnya dengan keuntungan dari jualan komputer bekas, namun selanjutnya diharapkan bisa profit. Contoh; kerjasama dengan EU (yang sdh menjalankan direktif WEEE nya) = Indonesia kini bisa me recycle komputer bekas Anda dengan benar dan biaya bersaing.

btw; mengenai ide LTSP, itu memang kurang (tidak) cocok untuk home user :) ini lebih cocok untuk institusi : school lab, LSM, UKM, dst.

#7 - harga komputer bekas bisa cuma 1 / 10 dari harga komputer baru :) Ini sangat signifikan, apalagi untuk negara miskin seperti Indonesia.

Bahas juga “limbah perangkat lunak” mencakup software aplikasi, sistem, organisasi, pemikiran akibat teknologi lama.

Kutip:

… Kenyataannya, ongkos mahal yang disembunyikan adalah mengurus “bak raksasa” berisi limbah komputer dan solusi perangkat lunak “bantuan” yang diberikan Microsoft sangat mungkin menjadi mahal setelah komputer bekas itu tidak ditinggalkan ditinggalkan, upgrade ke spesifikasi perangkat keras baru dan berarti muncul tuntutan pindah ke perangkat lunak versi yang lebih baik, berlisensi dan bayar!

Ngakali barang lama supaya jalan kembali memang ada bermanfaat, namun pertimbangkan berapa besar resource yang diperlukan untuk hacking. Lebih baik resource diarahkan untuk mendapatkan temuan teknologi yang lebih sesuai dengan situasi di Indonesia.

Saya suka komen #7 (Irwin):

Biarkanlah negara maju dengan persoalannya, kita dengan persoalan kita. Jangan mau persoalan mereka di lempar ke kita dengan alasan “sumbangan”.

Ini berlaku juga secara pemikiran dan ilmu. Ngakali komputer bekas menjadikan kita follower, pengikut teknologi negara lain. Akibatnya, makin jauh tertinggal pemikiran teknologi negara ini untuk memiliki competitive advantage terutama di bidang IT.

Memang secara finansial, investasi tampak mahal, tapi setelah keunikan ini tercapai banyak keuntungan akan dipetik.

BTW … adakah data: 1. berapa rupiah tersedia? 2. berapa unit yang diperlukan? Barangkali ada yang bisa kasih ide dengan target dan kendala tersebut.

Komputer bekas…di suka dan di benci… Orang yg ingin belajar uangnya pas-pasan boleh lah gunain komputer bekas…untuk ketak-ketik buat skripsi dst.

Untuk Orang yg mampu silakan beli yg baru…kali mao irit ya yg bekas dengan segala konsekwensinya.

Untuk kedaulatan bangsa dan harga diri…

itu urusan pemerintah…bukan kita…

yg penting untuk Indonesia (miskin) jangan belagu dech..

Thx

Hemdi, memakai komputer bekas tidak sama dengan mengimpor komputer bekas. Pakai dulu stok komputer bekas di dalam negeri.

komputer kena virus wah susah deh ngobatinnya

hi, kang harry harus tegar di tegah badai hujatan, seperti yang saya alami di milis awari dan indowli beberapa bulan yang lalu. tapi setelah saya mengeluarkan kata kunci barulah posting selesai dan nggak ada reply lagi. kata kuncinya “kalo komputer bekas memiliki efek lingkungan seperti yang dikatakan anggota milis,pertanyaannya apakah komputer generic alias jangkrik alias rakitan nggak punya efek lingkungan?” hampir semua menolak menggunakan komputer bekas karena alasan yang sangat tidak masuk akal dan dibuat2, seolah2 kita hidup di negara maju, kenyataannya di indonesia masih banyak yang belum punya komputer dan celakanya pemerintah menganggap komputer sebagai barang mewah yang harus dipajak tinggi. untuk masalah limbah coba ke www.bekas.com pake keyword harddisk bekas, atau monitor bekas, atau periperal apa saja yang bekas masih bisa dibeli oleh orang di surabaya. kesenjangan harga bekas dan baru sangat terlihat dari harga laptop vaio baru dan bekas, saya sangat yakin kalo hanya beberapa orang saja yang bisa memiliki laptop baru vaio yang harganya hampir 20 jt. kecuali itb dan its bisa mengikuti jejak langkah menglan corporation di shanghai untuk membuat prosesor sendiri dan laptop sendiri dengan biaya yang sangat2 murah, apalagi ditambah dengan os linux, barulah komentar seperti yang disebut teman2 yang menolak impor komputer bekas layak untuk dibaca,sesuai dengan kondisi dan realita. dari segi bisnis, saya sebagai penjual komputer bekas dan baru melihat ada peluang bisnis yang sangat besar dari komputer bekas ini, disamping performanya yang handal dan stabil (bekas tapi branded) pc seperti compaq,ibm,hp,dell adalah merk internasional yang sudah diuji dan bisa dipertanggungjawabkan karena di instansi khususnya perbankan BCA hampir semuanya menggunakan pc brand. daripada ribut nggak jelas juntrungannya lebih baik kita bersatu mendukung kang harry memasyarakatkan ltsp yang sudah terbukti low cost,kalo kita lihat di toko elektronik ada ampli bikinan surabaya, kenap[a nggak diskless workstation kita bikin aja sendiri kalo bisa setipis dvd player dan sekecil ps2.mudah2an bisa menjadi pertimbangan untuk para creator it indonesia.maju terus teknologi indonesia. thanks

Bang Thoyib, tentu saja semua komputer menghasilkan limbah dan hal tersebut — sedikit atau banyak — membawa pengaruh pada lingkungan. “Limbah” dalam bentuk komputer bekas yang disisakan oleh komputer yang ada saat ini (dihasilkan oleh komputer impor baru atau rakitan) perlu “dihabiskan” terlebih dulu sebelum kita mendatangkan limbah lain berikutnya.

Selain itu, usia pakai komputer impor bekas tentu lebih pendek dibanding komputer baru (diimpor atau dirakit di dalam negeri), dengan demikian ongkos pengelolaan limbah mereka nanti tidak sebanding dengan masa pakai komputer tersebut.

Apabila kran komputer impor bekas tersebut dibuka, banjir bah komputer bekas akan datang. Mirip seperti impor baju bekas saat ini yang menjadikan negara kita wadah pembuangan komputer tidak terpakai di negara asalnya dan siapa yang akan sanggup menyortir barang dalam jumlah besar tersebut? Setelah disortir pun, komputer atau komponennya yang memang datang ke sini sudah rusak (atau “sampah yang datang ke sini”) hendak diapakan?

Negara kita belum terbukti sanggup mengelola sampah; belum ada pemerintah kota satupun yang berhasil mengatasi persoalan sampah mereka dengan baik.

terima kasih atas tanggapan dari amal. memang benar efek lingkungan dari elektronik sangat berbahaya untuk kita,tapi jangan terlalu munafik lah ya,mungkin kalo sampeyan anggota green peace wajar kalo ngomong begitu.kenapa nggak sekalian aja ngelarang tambang emas yang ada di indonesia yang jelas2 memiliki efek limbah lebih besar dari komputer. siapa bilang usia komputer bekas lebih pendek umurnya ketimbang yang baru?teman saya yang buka game center hampir tiap bulan dia bilang vga card jebol atau mainboard jebol, padahal semua baru.dan merk cukup terkenal dan bukan kacangan. banjir bah akan datang,tidak jadi soal asalkan punya kemampuan memanage seperti singapura yang notabene hidupnya pure dari sdm dan bukan sda. mengelola sampah tidak bisa? siapa bilang? buktinya banyak (maaf) orang madura yang jadi juragan sampah yang kaya raya ketimbang kita2 ini yang bergelut di dunia ti.memang kalo melarang dan mengeluarkan undang2 di indonesia persis seperti ketoprak humor, sudah banyak undang2 yang dianggap lelucon seperti undang2 larangan merokok, undang2 anti pornografi,undang2 larangan impor komputer bekas,larangan impor mobil bekas. penetrasi teknologi di tanah air sangat sedikit sekali,bayangkan jika indonesia seperti india,komputer sudah ada dimana2 sampai ke pelosok2 desa dan wifi enable. di india sudah mendiskusikan bagaimana membangun mesh net, di indonesia masih meributkan keberadaan komputer dan efek limbahnya,yang lucunya lagi hanya komputer impor yang punya limbah, yang komputer jaman abal2 bangsa 286,386,486 saya yakin banyak yang jadi barang rongsokan dan pasti kadar limbahnya sama dengan komputer impor. seharusnya bikin seminar bagaimana mengatasinya dan bukan melarang keberadaannya dengan dalih efek lingkungan.mengurangi efek bukan berarti mengatasinya,berpikirlah lebih dewasa.dan di negara kita ada departemen khusus mengenai amdal,kalo memang benar2 kerja dan tidak makan gaji buta,adalah kewajiban mereka. the right man on the right job

Saya bukan anggota Green Peace dan urusan lingkungan bukan semata-mata kepedulian Green Peace atau organisasi peduli lingkungan lainnya. Anda juga tidak perlu menuding saya munafik atau “terlalu munafik” (apa pula ini? hehehe…) karena topik pembicaraan ini adalah risiko berupa limbah dari impor komputer bekas.

Pendapat Anda betul: jika memang tambang emas menghasilkan limbah yang ongkos penanganannya lebih mahal dibanding hasilnya (misalnya mengorbankan ekosistem), tentu harus dievaluasi keberadaannya. Pertimbangan ekologi ini sudah menjadi keniscayaan pada arah pembangunan di semua negara saat ini.

Limbah komputer tetap akan kita peroleh dari komputer yang sudah dipakai. Ini sudah disebut berkali-kali; Anda tidak perlu mempertanyakan komputer tua atau rusak yang sudah kita pakai. Yang dikhawatirkan dari impor komputer bekas adalah penambahan jumlah limbah dari barang bekas tersebut karena dari barang yang masuk tentu terdapat sekian persen yang tidak bisa dipakai (karena satu dan lain hal) dan itu berarti datang sudah dalam bentuk limbah. Selain itu, yang bisa dipakai pun berumur lebih pendek dibanding komputer yang didatangkan dalam kondisi baru.

Teman Anda yang buka game center pada contoh di atas berapa orang? Saya sebut barang baru lebih awet dari barang bekas tentu mengikuti kelaziman dan contoh dari sedikit orang tentu belum memadai menggugurkan kelaziman tersebut.

Singapura punya kemampuan mengelola sampah? Mengapa mereka kirim baju bekas ke Tanjungbalai Karimun? Itukah yang disebut “mengelola”?

Maaf juga, orang Madura punya kemampuan mengelola sampah? Mengapa sampah-sampah di kota-kota kita masih bertumpuk menggunung? Yang saya tahu juga, orang Madura punya keahlian hebat menjual barang bekas, bukan atau belum mengolah sampah. Begini Bang, negara-negara yang maju saja puyeng mengurus limbah elektronik, kita tidak perlu terlalu yakin dulu bisa mengatasinya.

Tulisan saya tidak menyebut perundang-undangan, namun perlu disinggung tentang UU yang Anda sebut sebagai “dagelan”. Di negara maju pun hal-hal tersebut diatur; bukan hanya Jakarta yang mengeluarkan aturan tentang merokok, di Eropa hal itu sudah lazim dan lebih dulu.

Tentu saja tidak semua orang India memikirkan mesh net, kebetulan saja Anda sedang bergelut dengan topik tersebut. Mereka juga menghadapi persoalan dengan limbah elektronik: India: a dump yard for electronic waste. Serupa juga di negara kita: tulisan tentang limbah ini merupakan salah satu dari bunga rampai perkembangan dunia TI kita. Masih banyak topik lainnya.

Kita semua — hingga taraf tertentu — peduli akan kemajuan TI di negara kita, a.l. lewat penetrasi pemakaian komputer. Namun tetap hal tersebut ada aturannya dan sedapat mungkin kerugian di sisi lain ditekan.

hi, mbak atau mas amal yang saya hormati, topik memang “impor komputer bekas atau kedatangan limbah” tapi dari beberapa tulisan sodara2 sekalian hanya melihat dari efek buruknya saja, tidak melihat dari kedua sisi yang berlawanan, artinya efek manfaatnya juga dilihat dong.terutama dari segi ekonomisnya,karena sampai detik ini yang namanya pc buatan indonesia itu nggak ada,biarpun ada yang namanya pc nasional itu hanya membodohi saja,karena yang diproduksi di dalam negeri hanya casingnya saja,periperal yang ada didalamnya hampir semua impor.apakah periperal komputer yang diimpor tidak memiliki efek lingkungan? sama saja toh? kalo sudah komputer nggak boleh diimpor lagi,ya kembali ke jaman batu lagi deh, pake mesin tik lagi..:) disebut munafik karena dimulut dia bilang jangan tapi kenyataannya dia sendiri berbuat,sama seperti ente,bilang jangan impor tapi sendiri make komputer juga… baru dan bekas hanya dibedakan sehelai rambut, komputer yang katanya baru beli garansi 1 tahun,kalo sudah dibeli pake 1 hari itupun namanya bekas. yang mengherankan kenapa handpone bekas nggak pernah diributkan seribut komputer bekas? padahal kondisinya sama,cuma beda nama doang,handpone dan komputer. betul bagi anda belum tentu betul bagi orang lain dan saya,karena tambang emas yang punya limbah merkuri dilindungi oleh aparat dan pemerintah,karena pemasukan untuk negara.coba saja anda menutup pt.newmon atau pt.freeport di papua,kalo nggak langsung DOR…tewas,sebelum anda menutup tambang emas tersebut saya pikir ada baiknya direnungkan lagi kata2 anda. secara teori umur ekonomis memang demikian seperti yang anda sebutkan,tapi tidak di indonesia,indonesia memiliki keahlian khusus untuk hal ini,pernah pada suatu ketika orang arab datang kemari,dia bilang kalo di negaranya sana mobil jeep toyota hardtop sudah dibiarkan saja dipinggir jalan,beda dengan indonesia,selama roda mobil masih berputar pake terus,mesin jebol?di kolter dan overhol.casis patah?dilas.jadi kondisinya beda banget sama negara lain.contoh konkrit di jogja sudah ada yang bisa memperbaiki mainboard,padahal main dealer belum tentu bisa.itulah keunikannya indonesia. jangan samakan kualitas barang dengan kelas berbeda,komputer baru tapi taiwan.komputer bekas tapi merk terkenal.hitungannya sama saja,bahkan lebih bandel yang brand. singapura mengirim baju bekas ke tanjungkarang karimun,karena harga baju disini terlalu mahal untuk kalangan wong cilik,dan disingapura baju2 bekas hitungannya lebih menguntungkan ketimbang dijual disana, ya sah2 saja dan itu halal,walaupun secara gengsi indonesia kalah dibanding negara singapura,hal ini menyangkut hukum kausal sebab akibat, kalau saja indonesia memiliki sdm yang handal dan bisa bersaing didunia tekstil,nggak mungkin baju2 impor bekas dari singapura yang harganya hampir sama dengan baju baru dari cina bisa masuk kalo disini sudah banyak home industri ataupun yang skala besar semacam industri garmen,dan yang paling penting menumbuhkan iklim investasi supaya indonesia bisa bangkit lagi tanpa utangan,seperti jaman2 presiden pertama Soekarno. coba anda buka lagi arsip berita di www.detik.com, bukan cuma wifi tapi juga internet memang benar2 sampe ke kampung2 yang disampaikan langsung oleh menristeknya,dan tarifnya sangat murah banget,hampir seperti yahoo dsl singapura usd 19 / month. disetiap negara punya problematika limbah barang elektronik,tapi jangan dikait2kan dengan komputer impor bekas,karena tidak relevan jika limbah dikaitkan hanya dengan komputer impor bekas saja. seharusnya judulnya diganti tuh … limbah barang elektronik dan solusinya,begitu kali yak?

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on January 4, 2006 10:20 PM.

Wikipedia: Vandalisme Lawan Integritas was the previous entry in this blog.

Kilas Balik Blog: Perlu Lebih Komprehensif? is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261