Terselip sebagai berita kecil di Koran Tempo Sabtu kemarin: Internet mulai masuk di lingkungan pondok pesantren. Dikutip dari situs Web Koran Tempo edisi digital (hanya anggota yang boleh mengakses),
Rabu lalu, CAP di Pondok Tremas diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Tony Chen, Presiden Direktur Microsoft Indonesia, melalui CAP diharapkan para santri dan guru dapat memanfaatkan Internet untuk memperluas pengetahuan.Kami sangat antusias mendukung program mengurangi kesenjangan digital di Indonesia,ujarnya.
CAP pada berita di atas adalah kependekan dari Community Access Point bagian dari program Unlimited Potential milik Microsoft. Delapan kabupaten akan didatangi Microsoft dan yang disebut pada berita di Koran Tempo: Madiun, Rembang, Situbondo, Trenggalek, dan Wonogiri.
Di sisi sebaliknya, saya teringat inisiatif sejumlah “santri perkotaan” yang tergabung di MIFTA (Muslim Information Technology Association). Dari edaran mereka via email, beberapa kali kegiatan mereka bersentuhan dengan pondok pesantren atau organisasi Islam di lingkungan urban.
Kebetulan pula, pada sisi yang agak berbeda, KPLI Jakarta bulan lalu melansir Linux Community Center di dua lokasi: Universitas Al Azhar Indonesia di Kebayoran Baru, Jakarta, dan Graha Assuryaniyah, di samping Universitas Attahiriyah Jakarta.
Dengan demikian, situasi “dakwah” TI di dua kelompok ini bersuasana berbeda: kelompok pondok pesantren (atau organisasi Islam) di perkotaan berani menyodorkan perangkat lunak bebas (terkadang disertai jargon “halal/haram” dikaitkan dengan pemakaian perangkat lunak), sedangkan pondok pesantren di daerah — karena keterbatasan SDM dan lokasi yang lebih sulit dijangkau — lebih dulu didatangi Microsoft (jangan lupa: sekalian diresmikan oleh Presiden Yudhoyono).
Situasi monokultur di kabupaten memang sangat dimungkinkan: ketersediaan tenaga ahli dan jumlah peminat adalah rantai sebab-akibat yang boleh jadi sulit diputus. Pada tahun 1985-an, kendati buku BASIC dan Pascal sudah sampai di toko buku kota saya di Jember, Jawa Timur, kursus komputer di sana hanya menyediakan BASICA, bahasa pemrograman Pascal hanya tertulis di selebaran atau spanduk. Editor juga hanya WordStar dan aplikasi lembar kerja VisiCalc (karena dibawa oleh komputer Osborne), diikuti oleh Lotus 1-2-3.
Dua puluh tahun kemudian — beberapa bulan lalu — saat saya datang ke Warnet terbesar di Jember dan menanyakan kemungkinan adanya terminal GNU, petugas mengernyitkan dahi sebentar dan menjawab tidak ada. Yang tersedia puluhan terminal Windows XP. Sempat saya lihat panel bertuliskan Microsoft Legal OS (Legos) di bagian depan.
Realita: apa mau dikata?
Motivasi: apakah perlu dicanangkan “kota menyerbu desa”?
Catatan: mengapa nama-nama inisiatif di atas berbahasa Inggris? Bukankah “Community Access Point” dengan mudah diterjemahkan sebagai “Titik Akses Komunitas” dan “Linux Community Center” sangat sepadan dengan “Pusat Komunitas Linux”? Toh, target pengunjung dua layanan tersebut adalah warga negara Indonesia.
Masalah nama yang digunakan, aku sendiri kurang tau kenapa pastinya. Tapi mungkin dengan bhs Inggris terasa lebih keren and menjual ketimbang pake bhs Indoe yang terdengar agak aneh.
yah itu sih yang ku pikir klo mengingat ilmu marketing :)
hanya anggota yang boleh mengakses, kecuali kalau javascript dimatikan :)
Hehehe… ada yang “buka kartu”.
Saya hanya sempat dengar dari teman bahwa autentikasi di “sana” disebutnya “aneh” dan dengan santainya dia melenggang kangkung keluar-masuk. Karena jarang mengunjungi situs mereka (lebih enak baca edisi cetak), tidak terpikir harus “mengakali” dengan JavaScript.
Untuk menjaga “rasa hormat” kepada penyedia JavaScript, URL artikel tidak akan disebutkan. :)
di Aceh ada beberapa pesantren sudah terkoneksi dengan internet mas :)
wah lumayan tuh buat microsoft nurunin bayar pajaknya dia.. :D dengan “kegiatan sosial”
# 2/3 pake matiin javascript? makanya!!!! punya login dong… hmmm… ketik disini nggak yah?
#3… Karena jarang mengunjungi situs mereka (lebih enak baca edisi cetak), …
Cak amal cuma baca edisi cetak-nya? Wah kalau saya malah nggak pernah baca . ha ha ha !
[BiG], saya punya akun untuk login di Tempo. ;)
Jika tidak ada login di Tempo edisi online, saya hanya akan menggunakan kutipan dari edisi cetak mereka.
Sridewa: betul, saya tidak mungkin sepanjang waktu di depan komputer terus. Oleh karena itu media massa cetak tetap saya perlukan.
issue CAP terus terang cukup menarik minat saya. pertama kali baca di kompas beberapa hari lalu. ini sebenernya proyek nya siapa ya mas? Microsoft? bukannya Depkominfo? hometown saya, Bengkulu, juga rasanya perlu deh dapet bagian di proyek CAP. ibu kota provinsi, tapi awareness TI nya masih kurang dibandingkan dengan ibukota lain di sumatera setidaknya. pengen rasanya klo hometown sendiri juga ikut melek TI..
salam..
Mbu, saya belum tahu persis tentang CAP, karena di berita singkat di Koran Tempo tersebut hanya berisi penekanan pada pemasangan Internet di pondok pesantren.
Nanti akan saya coba mencarikan informasi tentang CAP. :)
salut atas karya besarnya; dalam pengembangan jaringan dawah TI di pesantren-pesantren!4JJIAkbarr…!!!