Terus terang: saya heran dengan orang atau pihak yang begitu anti terhadap blog pada tahun 2006 ini. Sebuah anakronisme, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga diartikan salah satunya adalah penempatan tokoh, peristiwa percakapan, dan unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu di dalam karya sastra.
Anakronisme tadi bukan karena blog sedemikian hebat dan perkasa. Yang justru mengherankan: untuk apa melawan sebuah aktivitas yang biasa-biasa saja, dilakukan oleh orang biasa, dibaca oleh orang biasa, dan dapat ditirukan oleh orang biasa lainnya? Semua orang bisa menulis di blog dan blog tidak menunggu seorang sohor untuk mengangkat kredibilitasnya. Karena penulis blog memang tidak berangkat berburu wawancara dengan tokoh penting, melainkan dalam banyak hal kami mewawancarai diri sendiri.
Jika kredibilitas dikaitkan begitu saja dengan figur penyampainya, kita akan terlalu melambungkan segelintir orang dan membuang begitu banyak pernik-pernik pemikiran. “Kredibilitas” semacam itu hanya dipegang oleh sekelompok orang dengan atribut tertentu dan tidak ada tempat untuk orang biasa yang (sayangnya) justru berperan pada aktivitas blog.
Fatih Syuhud menyebut tiga topik tulisan yang memerlukan kejelasan identitas penulisnya, yakni: agama, politik, dan isu mayoritas-minoritas. Dia juga menyebut kredibilitas dapat diraih dari netralitas dan objektivitas terhadap opini yang dibahas. Jika dilihat dari materi yang lazim ditampilkan di blog Fatih, hal-hal seperti yang ditulis tadi memang penting adanya. Namun demikian, tetap ada terus blog bergaya atau berjenis sebaliknya: Polisi EYD hingga hari ini belum menampilkan identitasnya secara jelas, namun kita semua — setidaknya saya — punya harapan dia dapat dengan baik membumikan sebagian dari persoalan kebahasaan di negeri ini. Dari entri yang telah dia pasang, termasuk lewat pengujian silang ke rujukan lain, saya anggap penulisnya kredibel.
Sayangnya, hal itu semua tidak termasuk topik yang sesungguhnya secara serius dibahas, karena dua contoh yang dibicarakan kemudian sudah tidak ada kaitan lagi dengan persoalan kredibilitas atau bukan. Baik kasus Natasha Anya atau Basuki Suhardiman adalah persoalan lain yang berkaitan dengan efek pemberitaan media massa.
Oh ya, mengapa saya berpanjang-panjang untuk sesuatu yang konon di luar topik ini? Saya akhiri: sebenarnya yang “dipertanyakan” kegiatan blog (blogging) atau kegiatan seorang Priyadi di blog? Karena saya sudah heran pada pilihan pertama, yang terlihat menonjol (dan sudah berulang kali) adalah pilihan yang kedua.
Daripada Roy Suryo buang-buang tenaga “memusuhi” begitu banyak orang biasa yang beraktivitas blog, lebih baik datangkan saja Priyadi: debat atau bincang-bincang di acara talkshow. Dengan demikian saya tidak perlu ikut dianggap keroyokan “membela diri”. Selain karena sebenarnya urusan ini tidak ada sangkut-paut apapun dengan aktivitas blog, saya yakin Priyadi Iman Nurcahyo dapat membawa dirinya dengan baik.
Bagaimana, Pak Priyadi?
setuju bagaimana klo kita pertemukan saja kedua org itu di talkshow blogawards2006 :)
iya nih kok jadi personal :( padahal saya udah baik2in lho hehehe..
Bang Enda,
Om Amal,
Om Pri …
…
Tetap Semangat ! * setiap hari : ada hari baru, ada kesempatan baru … dan kesempatan itu akan selalu dipakai oleh “anak - cucu” om-om semua untuk mengatakan : Go BLOG !
hahaha…. aku setuju!
kita pertemukan aja mereka…
serius banget yaw….
aku juga setuju sekali kalau sang pakar di pertemukan dengan dimas pri :) Amal yuk yuk sekalian promo blog award ke sang pakar suh gue kok berasa lidahnya belibet kalau nyebut sang pakar … roy aja getho loh !
om kita satu itu koq sebegitunya ya, heran…
Dengan munculnya fenomena blog di ruang maya, maka munculah kebangkitan dunia media non-mainstream yang (bisa jadi) mulai berhasil menggeser media mainstream yang ada. Per saat ini setiap orang memiliki hak yang sama untuk mengungkapkan apapun yang dialami maupun yang dipikirkan dan kemudian menerbitkannya di dunia maya melalui blog. Kehadiran blog berhasil “mendekonstruksikan” media mainstream yang notabene hanya mereka yang punya hak menerbitkannya kepada umum.
Begitu juga dengan fenomena photolog atau blog foto. Kehadiran blog foto di dunia maya, mempermudah dan mempercepat proses pembelanjaran bagi para calon fotografer potensial (atau setidaknya seorang antusias spt saya) yang notabene dulunya harus melalui proses panjang dan lama di dunia nyata di bawah bimbingan seorang fotografer profesional. Dengan semakin pendeknya jarak dan waktu di dunia maya, tidak menutup kemungkinan kita bisa belajar langsung dan bersama-sama dengan para photoblogger lainnya. Kehadiran photoblog berhasil “mendekonstruksikan” persepsi umum mengenai hak ekslusif seorang fotografer profesional sajalah yang berhak untuk menerbitkan fotonya kepada publik. Per saat ini, kita semua punya hak untuk menerbitkan foto kita kepada publik, terlepas dari baik & buruknya.
Saya yakin setiap proses dekonstruksi akan membutuhkan waktu, bahkan bisa jadi revolusi, dan tidak tertutup kemungkian bisa timbul ketakutan bagi banyak pihak. Saya berharap dapat terjadi proses dekonstruksi ke arah yang lebih baik di bumi nusantara ini, termasuk ruang maya-nya. Semoga yang merasa takut dapat disadarkan dan yang sedang berjuang ke arah yang lebih baik tersebut dapat selalu dikuatkan…amin.
Jika argument blog bermanfaat sudah lengkap, tidak perlu lagi tergoda nanggapi ketakutan yang jelas-jelas tak bisa sebutkan alasan.
Eeeh … ini bukan soal blogging yach? he he .. meramaiakan komentar dech.
kalau kredibiltas pak juwono gimana tuh di juwonosudarsono.com :)
ya udah pertemukan saja. disponsori oleh gudangbatere.com, yang menang dapet batere gratis.. kakakaka… ga nahan liat tokoh kita yang satu itu bikin rame kok ya ga ada matinye :D
*spammm… ngacirrr