Hanya menuntut pemerintah beralih ke perangkat lunak bebas terasa kurang bijaksana. Sebagian dari keperluan aparat pemerintah memang memerlukan perangkat lunak proprietary yang belum tersedia substitusinya. Hal lainnya adalah pertimbangan hitung-hitungan ongkos secara keseluruhan.
Yang tidak kalah penting adalah teladan dari kita sendiri, pemakai komputer di Indonesia — yang sering komplain bahwa produk Microsoft bermasalah namun acapkali belum tergerak untuk berubah.
Apa yang dapat kita lakukan?
Kita memang bukan pengembang di lingkungan perangkat lunak bebas seperti halnya Mohammad DAMT atau Ariya Hidayat; bukan juga figur sentral seperti I Made Wiryana; pengalaman kita tertinggal jauh di belakang Budi Rahardjo atau Andika Triwidada; dan kita belum berbicara seperti Onno W. Purbo yang membawa Linux Mandriva di setiap acara.
Kita hanya pemakai biasa, pemakai akhir, pengguna aplikasi yang sering maunya tahu beres, atau bahkan tidak mau tahu sistem operasi itu seperti apa di komputer yang kita hadapi. Kita hanya ingin koneksi ke Internet berjalan dengan baik, tugas penyusunan dokumen berhasil, atau situs Web yang diperlukan sudah ditemukan. Jumlah kita secara keseluruhan sangat banyak — boleh dikata mendominasi pemakai komputer di negeri ini, kendati nama kita tidak disebut jika isu perangkat lunak bebas sedang diangkat.
Kita menentukan sendiri perangkat lunak yang cocok untuk keperluan kita dan sekaranglah saatnya menentukan pilihan.
Paling awal, timbang-timbanglah: benarkah Linux sulit dioperasikan? Membantah pendapat yang menyebut sulit atau percaya begitu saja ajakan yang mengatakan mudah seringkali menciptakan pembatas yang lebih sulit dibanding mengoperasikan Linux itu sendiri. Benteng keogahan itu sendiri yang acapkali menyulitkan calon pemakai Linux. Cara mengatasinya lebih mudah: ambil CD Ubuntu dan coba operasikan.
Mohon jangan menuduh saya memihak distro tertentu, yang lebih penting dalam hal ini adalah “sensasi pemakaian Linux”; demikian juga ini tidak berarti perangkat lunak bebas hanya Linux. Apabila Anda pemakai gadget fanatik, gagal menghubungkan aneka piranti tersebut dengan Ubuntu, dan Anda tidak punya kesempatan untuk mengotak-atik konfigurasi atau modul, saya sangat maklum. Saran saya ada dua: coba ditimbang ulang perihal prioritas pengaksesan gadget tersebut dengan komputer — dapatkah diganti dengan cara lain? Jika tetap saja gagal total, sila berkeputusan bahwa Linux bukan sistem operasi yang cocok untuk Anda, namun mohon jangan langsung digeneralisasi bahwa Linux tidak cocok atau sulit untuk semua orang hanya akibat kegagalan yang Anda alami. Tidak semua orang menggunakan komputer disandingkan dengan gadget.
Bagaimana dengan OpenOffice yang sudah ada di Ubuntu? Berhasil menulis dokumen atau menghitung rekap dan mencetaknya di HP LaserJet? Tidak perlu harus mengetik perintah baris, kan? Penyimpanan berkas yang sedikit aneh? Ah, biasakan saja; setelah empat atau lima dokumen, Anda akan terlatih. Atau Anda menjadi repot mondar-mandir di antara dua sistem operasi karena pekerjaan lain harus diselesaikan dengan perangkat lunak di Microsoft Windows? Jangan berkecil hati: OpenOffice enak dipakai, kan? Bagaimana jika perangkat lunak tersebut yang dipasang di atas Microsoft Windows dan sila bersulang telah berhasil mengganti Microsoft Office yang berharga mahal.
Apakah berkeputusan pindah total menggunakan Linux atau hanya memilih aplikasi di atasnya, kita semua — sebagai pemakai biasa — dapat berkontribusi pada penyebaran pemakaian perangkat lunak bebas. Seperti halnya blog yang ditengarai sebagai salah satu cara promosi getok-tular, sebarkan pemakaian aplikasi perangkat lunak bebas ini kepada orang lain. Di akhir dokumen atau bagian ucapan terima kasih, sebut nama perangkat lunak yang digunakan. Dengan demikian pembaca dokumen tersebut akan kenal atau menyadari produk tadi, serta langsung melihat hasilnya.
Cara tersebut saya terapkan di hampir semua dokumen untuk acara
publik yang saya ikuti selama ini. Materi presentasi atau dokumen
pendek biasanya saya tulis dengan OpenOffice, sedangkan beberapa
artikel ditulis di atas LaTeX. Saya tetap melakukan kompromi dengan
mengirim salinan lunak (soft copy) dalam format OpenOffice,
PDF, dan Microsoft
Word. Pada saat rehat atau di tengah acara terkadang ada yang
membicarakan hal tersebut dan sekalipun di luar topik materi, saya
coba menjelaskan. Tentu, kita harus siap dengan sejumlah “keluhan”
yang bersifat subjektif, seperti, Wah, saya tidak terbiasa.
Jelaskan dengan baik bahwa semua pengguna — termasuk kita yang
sudah lebih dulu menggunakan — juga harus “bersosialisasi” dengan
perangkat lunak baru tersebut.
Demikian pula jika kebijakan di tempat kerja memilih Microsoft Windows misalnya, kita tetap dapat menjelaskan bahwa di lingkungan pribadi seperti di rumah pun, pemakaian perangkat lunak yang legal dan berharga lebih murah sudah perlu dibiasakan. Dengan menggunakan contoh kita sendiri yang sudah memilih, calon pengguna berikutnya akan lebih mudah mempercayai penjelasan yang diberikan.
Dalam hal ini peran lembaga pendidikan komputer sangat membantu. Walaupun di kelas sanggup diadakan perangkat lunak komersial, akan lebih bijaksana lagi jika dipertimbangkan kondisi siswa dalam menggunakan perangkat lunak sehari-hari di luar kelas.
Itu juga yang perlu dicermati: Microsoft tentu sanggup menyokong kegiatan sosialisasi komputer dengan produk mereka hingga ke pelosok, namun apakah mereka bersedia memikirkan konsekuensi yang dihadapi para pemakai setelah meninggalkan semua perangkat yang disediakan tersebut?
Microsoft Office Basic Edition 2003 Rp 1.561.900,00 (harga hari ini di Tempat Shopping). Menurut saya harga tersebut “mahal” untuk daya beli mayoritas penduduk di kampung, namun dapat bergeser menjadi “bukan pilihan prioritas” jika diingat sepeda motor dan telepon genggam sudah menjadi keperluan baru bagi sebagian orang di sana.
Ajakan yang bijak. Hal serupa saya lakukan. Silahkan tengok pengalaman saya berkenalan dengan Mandriva. http://asep.wordpress.com/2006/12/16/berkenalan-dengan-linux/
Seminggu laptop saya berpoligami dengan istri tua M$ XP dan istri muda Mandriva 2006. Sejak hari ini, saya ceraikan istri tua saya agar konsisten berpartisipasi pada gerakan OpenSource di Indonesia. http://asep.wordpress.com/2006/12/25/makin-akrab-dengan-linux-ceraikan-windows/
Go Open Source!!
kalau saya, sekarang lagi senang membuat tampilan ubuntu saya seindah mungkin. dengan tambahan beryl, saya membuat tampilan desktop-nya menjadi sangat indah.
dan saya berhasil membuat beberapa orang memutuskan untuk menginstall linux (ubuntu) demi tampilan itu :D
mikocok cocok dipakai untuk orang yang ada di kampus seperti ITB, karena hanya bayar RP.10.000 per tahun
sedang mikocok jangan sekali sekali dipakai untuk kebutuhan server, biayanya mahal banget… maintenance lebih parah
jadi, gunakan linux
first desktop OS : Mac OS X on PowerBook G4
second desktop OS : FreeBSD 6.1 x64 on AMD64 Desktop
last choice : Windows XP on AMD64 Desktop (kalo lagi dipake ama adek)
hehehehe… sayangnya FreeBSD ngambek gak mau diinstall di PowerBook euy… Mana sekarang sedang berjuang ngadonlot OpenOffice for FreeBSD x64… emang susah banget nyari software untuk x64… yang penting, tetep semangat berjuang untuk opensource!
Tulisan ini membuat satu draft tulisan saya jadi basi. Jadi mending saya tulis saja draftnya disini :D
Microsoft bergerak diaras atas. Top down. Secara kronologis kira-kira seperti ini:
Microsoft. Bottom up : Dengan Commnity Building seperti milis, blogs, program MVP/Student Ambassador, dan Hanoman Online.
Kata Priyadi kemaren Microsoft 1 Jakarta 0? Gw pikir malah Microsoft 3 Jakarta 0.
Apa yang dapat kita lakukan (saya jadi ingat pidato Lenin : “What Needs To Be Done”) adalah mulai dari diri sendiri. Saya sepakat dengan panjenengan untuk urusan “keteladanan”. Jika ingin “Be Legal”, maka lebih baik dimulai dari sendiri.
Excuses paling banyak saya lihat: “tapi kantor gw pake Windows dan kita kuat beli license”. Ga papa sih. Kita ga bisa maksa programmer .NET untuk debug ASP.NET 2.0 di Linux (Well, Mono XSP kan sux todemak :D).
Tapi selama pekerjaan itu bisa dilakukan di Linux ya mestinya lakukan saja.
Untuk migrasi, kita harus punya semacam ‘mapping’ aplikasi. Sama seperti yang sudah panjenengan tulis. Misalnya OpenOffice untuk mengganti Microsoft Office.
Disini saya pikir IGOS bisa “make themself effectively useful”. IGOS bisa “ambil peran” jadi semacam Canonical-Ubuntu. Maksud saya, IGOS bisa membuat dan merekomendasikan software-software pengganti —katakan IGOS certified— dengan juga mencatat software lain diluar IGOS certified. Serupa seperti logika Universe dan Multiverse itu lho.
Bentuknya Wiki saja. Gampang dan kolaboratif.
Saya pernah melihat solusi FLOSS yang dijalankan secara top-down gagal total. Surat edaran sudah ada, instruksi pejabat sudah dibikin. Semuanya agar mengganti seluruh sistem komputasi di satu kantor dengan Linux (dan memang sudah diganti). Waktu itu belum ada Ubuntu, jadi instalasi Linux Mandrake di desktop bertahan cuma 3-4 bulan saja. Gagalnya karena urusan sepele seperti “bagaimana ngeprint di jaringan pake Linux” . Bagi kita yang betah membaca milis dan terbiasa RTFM mungkin mudah. Tapi tidak untuk ‘average joe user’.
Inventaris masalah-masalah seperti inilah yang mestinya dikoordinir oleh IGOS. Simple tapi efeknya besar. Maaf jika saya hanya bisa kritik. Menurut saya distro IGOS justru kebalikannya, susah tapi efeknya kecil. Secara benwit download itu mahal, jendral.
Yang terakhir, saya pikir mending kita biarkan saja pemerintah dengan MoU-nya. Sekarang mungkin belum kerasa kerugiannya, tapi 2-3 tahun lagi pastinya bisa ngerasain betapa besar kerusakan yang ditimbulkan dari MoU itu.
Atau dalam bahasa militerisme Che Ghuevara “tambahkan realitas penindasan sampai maksimal agar muncul etos-etos perlawanan”. Biar saja pemerintah bersakit-sakit dahulu dengan Mou itu. Biar sadar dengan sendirinya.
Hoi.. saya figur sentral ? Bukannya saya cuma tukang kompor ke ke ke ke
#3, ITB dapat discount murah karena bisa jadi “legitimasi” Microsoft he hee gimana kampus “gurem” ? Sulit deh dapat discount gede-gedean. Discount itu bagi MS seperit investasi he he he.
Oh ya desktop yg tidak kritis (mungkin) cocok dengan Windows XP, dengan catatan tidak pernah kena virus, tidak perlu reinstal. Sayangnya itu jauh dari kenyataan.
Hanya mungkin orang sudah “nerimo” dengan nasib beban tambahan scan virus, instal anti virus, dan reinstal. Jadi tidak dianggap beban.
#3, woi gak ada hubungannya 10 ribu pertahun dengan microsoft.
Microsoft di ITB itu gara2 ITB beli campus agreement yg disediakan utk seluruh civitas akademika ITB. Buat yang mau, tiap tahun membayar license nya. Harganya terjangkau utk satu pake winxp, office, encarta, visio, project dkk. Sementara itu mahasiswa ITB membayar biaya 10 ribu per bulan utk username akses Internet. Itu sudah dari tahun 2000an.
Waduh… serius amat harus pake linux…. gimana dengan game2 gue yang seru2 itu…??? adik2 gue yang imut2 suka dengan game yang lucu2… ahhh… masih mikir deh pindah ke linux