Akhirnya keluar juga asap siluman materi memorandum saling
pengertian pemerintah dan Microsoft yang sudah memenuhi media massa
dalam pekan ini lewat blog. Aplaus untuk Priyadi Iman Nurcahyo;
sebagian “amanat” yang dituntut oleh I Made
Wiryana dari tanah yang
sedang dingin-pucat sana (atau, sedang menikmati Rendang di Jakarta,
Bli?) dapat dilaksanakan. Saya amati di Koran Tempo, kendati berita
ini sudah menjadi topik utama hari inikemarin, namun isinya masih malu-malu
dalam pengungkapan identitas, lebih-lebih isi gamblang dokumen itu
sendiri.
Priyadi sudah menulis analisis dan konsekuensi yang dihadapi pemerintah terutama dalam jangka panjang, seperti absurditas lisensi hanya untuk komputer berprosesor Pentium III dan cakupan memorandum tersebut ke semua instansi. Ketinggalan zaman dan meniadakan pilihan di semua lini pemerintahan kita. Dengan persetujuan seperti itu, kewenangan instansi dalam hal teknis pupus dan kita kembali pada era “ukuran pasak rumah Perumnas di Merauke pun ditentukan oleh Jakarta.” Ini yang membedakan dengan “harga korting” produk Microsoft di sejumlah lembaga pendidikan karena tidak diembel-embeli dengan komitmen harus “semua Microsoft”. Belum lagi National Single Window[s] Project dengan Microsoft InfoPath dan kerja sama Microsoft dengan Depdiknas.
Jika ada yang keberatan Linux diajarkan di tempat pendidikan dengan alasan risiko dari monokultur misalnya (betul, anak didik perlu wawasan beragam merk perangkat lunak), kemungkinan menyediakan variasi produk masih dimungkinkan. Bagaimana halnya dengan komitmen “hanya Microsoft”?
Konsesi yang diminta-paksa terlalu besar dibanding ongkos legalisasi perangkat lunak pemerintah dan itu pun hanya berlaku pada kondisi absurd.
Jika ada dana USD 50 juta seperti yang disebut I Made Wiryana
di detikINET, saya mengusulkan lebih condong untuk ongkos pendidikan dan
sosialisasi perangkat lunak bebas. Bukan apa-apa, distribusi Linux
sudah cukup banyak dan kian mudah digunakan (bahkan sering muncul
pertanyaan dari calon pemakai, Linux itu banyak [distronya], ya?
Pilih yang mana?
) Distribusi spesifik untuk keperluan instansi
pemerintah boleh jadi diperlukan, sedangkan yang akan menyita porsi
besar adalah distribusi dalam arti penyebaran dan pemasyarakatan
Linux itu sendiri. Microsoft sendiri sudah masuk sampai ke pedesaan
dan pondok pesantren di pedalaman. Siapa yang akan membiayai
sosialisasi perangkat lunak bebas sampai sejauh itu?
Setuju dengan argumen Priyadi, pilihan yang tersedia adalah berubah atau membeli lisensi Microsoft. Yang tidak kita setujui adalah konsesi terlalu mahal yang diminta Microsoft.
Tekan pemerintah untuk membatalkan kontrak Microsoft melalui partai-partai Islam seperti PKS, diperkuat dengan ormas Islam seperti HTI, FPI, FUI. Mereka ini anti Amerika, punya kekuatan politik yang signifikan, punya organisasi solid dan rapi, dan basis massa yang besar.
Kalo kira-kira Microsoft kasih gratis semua ke Pemerintah Indonesia, kira-kira, menguntungkan tidak ke depannya mas Amal???
Daud: Microsoft tidak otomatis sama dengan Amerika Serikat. Persoalan ini tidak perlu langsung dibawa begitu saja ke ranah politik.
Cahyo: sampai berapa lama kita semua “terlena” dengan kegratisan tersebut? Taruhlah kita menikmati sejumlah perangkat lunak versi sekarang ini dengan cuma-cuma, bagaimana pada periode mendatang? Apakah kita masih akan merengek-rengek, “Kami sudah terbiasa dengan produk X: kami sulit pindah ke produk lain, tapi kami tak punya duit juga untuk melanjutkan ke X versi 2.”
Jika kita berani mengambil keputusan dan menghentikan rengekan dan sekian dalih aneh-aneh itu, boleh saja. Setelah itu hitung-hitungan untung rugi: dengan sekian pengeluaran tersebut, mana pilihan yang menguntungkan?
Negara Sudah miskin kok bikin MOU seperti itu. kenapa nggak buat biayain bikin distro dan os buat pemerintah.
nasib..nasib.. indonesiaku
Saya manusia bayangan, jadi bisa sewaktu-waktu di Jakarta bisa sewaktu-waktu di Jerman lagi masak rendang. Bisa sewaktu-waktu jadi seniman, bisa sewaktu-waktu jadi kuli.
Yang penting kuping dan indra ke-6 tetap terbuka :-) dan tangan tetap mengetik.
Oh ya mendapatkan proprietary secara gratisan lebih berbahaya daripada dengan membeli. Manis di muka, menusuk di belakang.
Negera ini memang negara yg aneh! Katanya negara miskin, eh… bukannya menghemat atau dialihkan untuk kesejahteraan, malah buang2 duit beli lisensi M$ segala. Kalo memang miskin, sudahlah… gak perlu sok bela2-in HAKI segala, biarkan aja pembajakan software berjalan, sekalian kesempatan buat rakyat mendapat pendidikan “murah”. Itu kalo pemerintah udah ngerasa bego banget dan gak mau repot2 beralih ke FLOSS. Padahal bikin distro Linux juga gak susah dan gak mahal, banyak temen2 mhs kita yg bikin distro Linux sendiri. $50 juta juga rasanya udah kebanyakan tuh. :)
Untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru walapun itu lebih baik itu tidak semudah membalikan telapak tangan, contohnya saya sendiri, sekian lamanya menggunakan produk microsoft dan untuk beralih menggunakan produk open source sangat sulit sekali kawan :(, apalagi dari produk microsoft tersebut gw bisa mendapatkan penghasilan :)
#7 yang kita bicarakan adalah masalah nasional :-)
Pendapatan di penjual lisensi mungkin utang di RAPBN. kekekeke
Memang bagi sebagian individu hal ini tidak terlalu berpengaruh besar, apatis akan kemajuan bangsa. Itu die tuh orang-orang yang berdiri di atas kebodohan … (Kebodohan mendekatkan kemiskinan). Mengingat perjanjian terkait akan kebutuhan instansi untuk pengolahan dokumen, kenapa gak cari aja yang gretongan.. OpenOffice gitu!! Huh.. eling toh.. dah miskin.. sok-sok’an
Yang memang harus beli ya beli seperlunya, yang bisa berubah ayo berubah ^_^
#3: yth saudara Amal, pengambil keputusan adalah pemerintah yang adalah sebuah institusi politik. Upaya dari komunitas yang bersifat non-politik tentu mempunyai ciri dan kekuatan tersendiri, tapi alangkah baiknya jika dibarengi dengan tekanan politik. Benar bahwa Microsoft tidak sama dengan Amerika Serikat, tapi sentimen anti amerika yang sangat kuat di sini dapat dimanfaatkan untuk itu.
#1 dan #11: Kayaknya gak elegan menggunakan pengerahan massa untuk menggalang dukungan mempertanyakan MoU antara pemerintah Indonesia dengan M$ (menurut saya organisasi2 yg anda sebutkan terkenal akan pengerahan massanya)
Wah, ada anti Amerika segala, nanti seperti kita benci Intel ternyata mereka memproduksi Quran elektronik untuk Saudi Arabia.
sebenarnya kl boleh jujur, sebagian orang males menggunakan linux adalah adanya momok yang melekat pada pengguna awam sperti ‘Linux itu harus bisa perintah dasar’. sehingga beberapa pengguna yang ingin menggunakan linux pun selalu mengeluhkan ‘tidak bisa perintah dasar’, pdahal linux sekarang sudah jauh lebih mudah. dan saya setuju dengan pendapat om priyadi.
Kesepakatan yang benar-benar siluman. Mari kita memilih, membayar lisensi M$ atau beralih ke OpenSource.
Saya kini menggunakan Mandriva 2006 bermodal petunjuk dan CD yang ada pada buku Mandriva Linux 2000 terbitan Dian Rakyat. Harganya Rp 40 ribu.
Semua hal yang biasa saya lakukan bersama M$ XP dapat saya lakukan dengan baik. Jadi tidak ada alasan utk takut utk menghemat uang rakyat.
Bagi saya kesepakatan silman ini bukan hanya masalah IT dan hak atas kekayaan intelektual. Tapi kelakuan penguasa yang genit. Masa utk urusan jual beli saja harus rahasia. Saya tak rela jika garuda bergandeng dengan logo perusahaan dalam satu kertas yang ditandatangani pejabat negara. :(
Sebenarnya kalo mau jujur sih ini mungkin bukan proyek murni buat pemerintah. Tapi proyek bagi2 kue buat orang2 itu sendiri. Makanya pemerintah itu kelihatannya gak mau ambil perduli dengan keadaan rakyat kita sekarang. Kenapa gak pake open source? Kalo pake open source, apa yang bisa dibagi persenannya? Kalo saya sendiri sih tetep aja pake komputer warnet. Masih bisa ngasilin duit. Masih bisa kerjaan office. Lha wong aku ini freelance. Peace!
jadi pengen denger bagaimana pendapat masing2 rekan Seandainya Aku Pejabat Negara… dah gua whistle di http://adinoto.org
*numpang iklan pak bandar blog, kekekee… 50:50 tukeran ma batere kan? :D
saya rasa emang bener, mengalihkan perhatian dan penggunaan dari M$ ke Linux dan kawan2nya emang gak semudah membalikkan telapak tangan. itulah yg membedakan bangsa kita dg bangsa lain, belum dicoba dah nyerah… apapun tuh sebaiknya kita mulai dari nol!!!! Jangan mau enaknya aja…. dalam arti, yang susah kan orang2 yang emang udah terbiasa dengan M$, dan TIDAK MAU BERUSAHA MEMPERBAIKI apa yang kita punya sekarang. bagaimana negara kita bisa berkembang, kalo kita hanya mengikuti perkembangannya aja tanpa membuat perkembangan yang baru… ya…istilah anak SMA sih…MBEBEK TERUS……