Kabar One Laptop Per Child (OLPC) sudah marak di mana-mana. Bertabur harapan bahwa inilah misi pengiriman laptop untuk edukasi terbesar dalam sejarah.
Oke, siapa yang sangsi? Saya hanya menggumam pelan: bagaimana dengan Indonesia, negara kita? Apakah kita hanya menjadi penonton, bersorak riuh untuk rencana tersebut, atau sambil sedikit menggerutu? Mengapa contoh negara yang diikutkan pada OLPC sudah kita kenal dekat seperti Thailand dan Cina, sedangkan Indonesia tak disebut-sebut?
Tidak enak berhenti pada penasaran: saya cari penjelasan proyek tersebut di situs mereka. Ternyata mekanisme keikutsertaan negara masih dibahas dan akan ditampilkan lebih rinci nantinya di halaman wiki mereka, How can my country get involved.
Saya lanjutkan ke halaman Web Walter Bender yang dirujuk. Berbekal alamat email di sana, saya tanyakan perihal Indonesia sebagai berikut,
Dear Mr. W. Bender,
I am an Indonesian blog writer focusing on IT for Small Office and Home User (SOHO). Having read recent progress on One Laptop Per Child (OLPC) project, I am very interested and so well many media and blogs here in Indonesia.
However, I would like to know how a country such Indonesia can apply to involve this interesting project? I have read information from OLPC’s Wiki [1], the detail is not yet ready for now. We must wait for this to be completed, but can you give a direction — maybe a guideline — some things we must prepare in case our government are ready to involve.
I also ask your permission to publish your respons on my blog [2], so it will be available to public.
Thank you for your attention to this letter.
URL:
[1] http://wiki.laptop.org/go/How_can_my_country_get_involved
[2] http://direktif.web.id (in Bahasa Indonesia)Regards,
—
Ikhlasul Amal
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Email di atas dikirim tadi pagi, 17 Januari.
Sore ini, dua belas jam kemudian, saya mendapat jawaban. Bukan dari Walter Bender, melainkan Nicholas Negroponte sendiri, sebagai berikut,
Ikhlasul Amal
With regard to your e-mail to Walter Bender, we are working on including Indonesia and I plan to visit on April 18th. As details unfold, I will keep you advised. Grass roots and Open Source support are key, so your help is appreciated.
Nicholas Negroponte
Thank you very much for your respons. Terima kasih atas balasan Anda.
Pikiran saya setelah membaca email Negroponte hanya dua: ini kesempatan untuk mengikutsertakan Indonesia pada rencana besar tersebut dan kuncinya ada di komunitas akar rumput dan dukungan open source. Sangat menarik, apalagi dalam suasana pasca-FUD terhadap open source langsung dari Menkominfo.
Bagaimana, ada usulan agar momen positif ini dapat menghasilkan manfaat yang sebenarnya seperti niat mulia OLPC?
Sebagai pengimbang: India menghentikan keikutsertaan di
OLPC dengan
salah satu alasan yang disebut Sekretaris Pendidikan Sudeep
Banerjee, Kami memerlukan kelas-kelas dan guru-guru lebih urgen
dibanding alat-alat bantu gemerlap.
Pihak komunitas dapat memulainya dengan menyediakan materi lokal, misalnya: * buku elektronik cerita-cerita rakyat (yg ini sudah mulai kepikiran untuk saya pribadi jalankan) * koleksi audio/gambar/video tentang sejarah (misalnya dengan merekam materi yang ada di diorama-diorama Monas atau Museum TNI) * digitalisasi permainan yang akrab di Indones (ular tangga/lido/monopoli, dsb) * pengalihbahasaan antarmuka program * dan banyak lagi yang lainnya
Mudah-mudahan ngga dikorupsi kalau jadi benar2 beli OLPC.
Ini yang sebenarnya salah kaprah. Para negara maju mengira bahwa jika para siswa dibekali dengan teknologi maju seperti internet dan laptop, produktivitas siswa akan semakin maju. Tentu saja hal ini ada benarnya.
Tetapi untuk negara berkembang seperti contohnya Indonesia, masalah dasar yang harus lebih diprioritaskan jauh lebih banyak daripada sekedar memberikan internet atau bahkan listrik.
Kita membutuhkan lebih banyak guru, lebih banyak buku2 pelajaran yang harusnya semakin murah, dan juga biaya sekolah yang seharusnya juga semakin mendekati kata bebas-biaya.
Jika hal2 pokok tersebut (dan juga hal2 pokok yang lain) bisa dipenuhi, niscaya, kebutuhan lain akan muncul. Seperti listrik, komputer, internet, dsb.
Satu hal lagi, olpc ini seharusnya bukan menjadi barang mewah melainkan menjadi sarana alternatif yang lebih murah untuk siswa-siswa yang kurang biaya.
Jadi kepikiran, kalo ini masuk ke Indonesia, akan lari kemana ya?
Upaya Mas Ikhlasul mengusulkan Indonesia masuk ke program OLPC patut diapresiasi. Ini adalah inisiatif yang bagus; benar-benar datang dari “grass-root” — dan bukan berasal dari pemerintah.
Memang program OLPC tidak akan menyelesaikan segalanya. Tetapi ini mestinya tugas kita memikirkan bagaimana menindaklanjutinya. Mungkin ada baiknya kita diskusikan bersama.
#2 Setuju. Masih lebih banyak sekolah yang kebutuhan minimaluntuk sebuah sekoalah saja blm terpenuhi (atap bocor, lantai tanah dll). Namun jangan surut langkah, ide ini bisa diterapkan sebagai proyek percontohan saja untuk sekolah-sekolah ungggulan saja. (namun jika diterapkan bukannya justru akan mengurangi tujuan awalnya, yaitu laptop untuk semua).
Bagi kebanyakan siswa, $100 itu sangat besar.
lho kok jadi huruf besar? gara-gara pound sign?
Tidak enak pula berhenti pada pencarian penjelasan proyek. Korespondensi yang cemerlang ini bisa dilanjutkan dengan pembentukan komunitas bermodalkan pemahaman linux dan ketertarikan untuk mengembangkan content. Seraya meminta developer proyek OLPC mengirimkan beberapa unit XO dan kelengkapan lainnya UNTUK DIJADIKAN PERIKSA :D
mas, FUDnya yang ini ya: http://en.wikipedia.org/wiki/Fear%2Cuncertaintyand_doubt
HHm, emang tuh Laptop proyeknya cuma buat anak-anak sekolah yg kurang biaya ya? cuz namanya one laptop per CHILD.Kirain ada marketnya buat orang-orang yang awam ma teknologi dalam artian orang-orang dewasa…, so aq juga pgn beli ntu produk. Hehuehuehue :)) Aq tertarik nih laptop karena baca di kolom salah satu media cetak terkenal di bandung(murah-meriah). Yaah, mmg perlu dikembangkan proyek-proyek berbau teknologi seperti ini. Bukankah teknologi pun bisa menjadi guru terbaik?
kalo menurut saya, sebenarnya program itu bagus juga untuk Insonesia. Coz y ujur aja, kalo kita pergi ke daerah yang agak dalam,seperti di pedesaan misalnya,sebagian besar warganya amat sangat buta akan teknologi seperti komputer. Menurutku, seharusnya yang dijadikan prioritas program itu adalah anak2 di daerah.dan karena usd100 itu relatif mahal untuk penduduk desa, kalo isa pemerintah membantu, cukup 1 laptop untuk 1 sekolah, SD ato SMP ato SMA gitu. G usah per anak dulu deh..yang penting saudara-saudara dita yang didaerah juga isa menikmati perkembangan tekno.
kalo menurut saya, sebenarnya program itu bagus juga untuk Insonesia. Coz y ujur aja, kalo kita pergi ke daerah yang agak dalam,seperti di pedesaan misalnya,sebagian besar warganya amat sangat buta akan teknologi seperti komputer. Menurutku, seharusnya yang dijadikan prioritas program itu adalah anak2 di daerah.dan karena usd100 itu relatif mahal untuk penduduk desa, kalo isa pemerintah membantu, cukup 1 laptop untuk 1 sekolah, SD ato SMP ato SMA gitu. G usah per anak dulu deh..yang penting saudara-saudara dita yang didaerah juga isa menikmati perkembangan tekno.