Satu Laptop Ramai-Ramai

| 5 Comments | No TrackBacks

Pada musim hujan tahun 2005 saya sempat menghadiri acara Bandung High Tech Valley (BHTV) yang diwadahi oleh Pemkot Cimahi, diselenggarakan di Hotel Permata Bidakara, Bandung. Saat itu persoalan penanganan sampah di Kodya Bandung mulai terasa “tidak beres”. Armein Z. Langi, dosen Program Studi Teknik Elektro ITB yang menjadi salah satu pembicara mengakhiri materi yang disampaikan — seingat saya bermula dari konsep “Samudera Biru” — dengan menyebut bahwa memang saat ini demikian banyak persoalan yang kita hadapi di Kota Bandung dan sekitarnya. Tanpa bermaksud menafikan persoalan lain, dengan adanya terobosan lewat jalur TI barangkali kita dapat mencari solusi “menelikung” tanpa harus berdiam diri atau menghabiskan energi hanya berkutat pada satu persoalan.

Sampai hari ini sampah di Bandung (dan kemungkinan besar di kota-kota lain di negeri kita) masih menjadi persoalan laten yang belum diperoleh solusi utamanya. Saya pribadi juga memilih urusan pengelolaan sampah dibenahi terlebih dulu dibanding misalnya kita terlalu bersikeras akan koneksi Internet supercepat dengan ongkos terjangkau. Namun pada kenyataannya, dengan spektrum persoalan yang sangat luas, semua pihak sedang bergerak membenahi benang kusut masing-masing.

Ilustrasi di atas yang saya gunakan untuk menyikapi perbedaan pandangan dalam hal One Laptop Per Child (OLPC). Kita sangat mungkin menajamkan perbedaan sehingga menghasilkan keputusan tegas, “diterima atau tidak”; atau, bersifat kompromistis dengan membenahi banyak kekurangan satu per satu.

OLPC bukan solusi tunggal atau panasea untuk pendidikan — melainkan, seperti digagas oleh pencetusnya, ia adalah alat bantu pendukung pendidikan,

[…] sebuah mesin yang fleksibel, sangat murah, efisien-daya, responsif, awet yang memungkinan bangsa-bangsa di dunia yang sedang bangkit dapat melakukan lompatan pengembangan yang jauh – dengan segera mengubah materi dan kualitas pembelajaran anak-anak.

Demikian juga, ide dasar OLPC justru bukan semata untuk lingkungan yang sudah berkondisi bagus seperti di negara maju, melainkan berangkat dari kondisi yang terbatas di negara-negara berkembang. Oleh karena itu prasyarat infrastruktur seperti listrik, koneksi Internet, atau jaringan lokal, bukan latar belakang program tersebut. Siapa tahu justru dengan adanya banyak komputer jinjing yang sangat praktis, sekolah tidak perlu harus memiliki laboratorium komputer dan dana untuk pembangunan tersebut dapat dialihkan pada sektor lain.

Selain itu, yang juga perlu disadari: negara kita terbentang sangat luas dan memiliki jumlah anak-anak siswa sekolah sangat besar. Sangat tidak mungkin rencana seperti OLPC dapat mencakup semua kalangan dalam waktu seketika. Bahkan dari segi nama pun, kemungkinan besar untuk negara seperti Indonesia perlu diganti menjadi “satu laptop ramai-ramai”. Artinya: dengan skala sebesar itu, pada implementasi di lapangan tentu akan dipilih sekolah yang cocok menerima dan yang belum (dengan sejumlah alasan). Itu pun dengan kemungkinan penyesuaian terhadap kondisi di negara partisipan.

Semangat berkontribusi tersebut yang lebih penting. Coba kita amati: Mark Shuttleworth membagi ribuan keping cakram optik Ubuntu ke seantero jagat dan OLPC melengkapi dengan laptop murah. Saya kira hal ini sudah lebih dari cukup untuk dijadikan teladan bagi lebih banyak lagi kegiatan donasi dari lingkungan kita sendiri.

Saya dapat memaklumi sikap India keluar dari partisipan OLPC, namun alasan yang dikemukakan Sudeep Banerjee, Sekretaris Departemen Pendidikan, malah kontra-produktif karena mengesankan bahwa komputer adalah alat bantu yang bersifat gemerlap atau pernak-pernik (fancy). Di antara kita yang relatif sudah “melek komputer” saya pikir gambaran tentang komputer bukan seperti itu. Atau, saya sendiri yang ketinggalan zaman karena tidak memiliki sekian pernak-pernik gadget?

Kabar lain: Nicholas Negroponte dijadwalkan mengisi salah satu sesi acara Asia Open Source Software Symposium kedelapan di Kampus ITB, Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 11 dan 12 Februari.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/514

5 Comments

mas Amal, salam kenal ya, dan sekaligus mau komentar ni.. “satu laptop ramai2” rasanya memang lebih realistis dibandingkan dg OLPC. Toh sebagian besar tugas sekolah belum perlu diselesaikan dg laptop kan? Lain halnya jika hampir semua tugas sekolah harus diselesaikan dg laptop, maka OLPC menjadi “wajib”. Lagipula minat anak/orang kan beda2; tidak semua anak/orang tertarik untuk bermain/bekerja dg komputer. Banyak orang yg bekerja tidak dg menggunakan komputer.

Namun, mengingat fungsi komputer + internet yang sangat penting dalam memperoleh informasi & pembelajaran dalam hampir semua bidang, maka pengadaan komputer & internet di sekolah (& masyarakat) saat ini memang sudah menjadi suatu keharusan.

Dulu, di awal tahun 1995 ketika internet mulai booming di US dan Eropa, majalah Time (atau Newsweek ya?, sy lupa) menurunkan laporan khusus mengenai internet. Di situ ditulis juga ttg kekhawatiran melebarnya jurang antara sekolah2 kaya dan miskin, yaitu bahwa hanya sekolah2 kaya saja yg bisa ber-internet. Tetapi ternyata, di th 2001 di-klaim bahwa sdh 95% sekolah dan 63% ruang kelas di US memiliki akses ke internet (http://www.netday.org/history_reflections.htm). Ternyata kuncinya adalah sukarelawan2 + sponsor yg bekerja sama menghubungkan sekolah/ruang kelas ke internet sejak dicanangkannya NetDay pd tgl 9/3/1996. Tampaknya kita harus mencontoh ini, dan Indonesia membutuhkan saaangat banyak volunteer. Kita tidak bisa menunggu Pemerintah utk melakukannya.

Sy menghargai tindakan mas Amal yg menanyakan keikutsertaan Indonesia kpd tim OLPC.

Hm, saya juga berpendapat bahwa laptop belum segitu pentingnya dalam pendidikan di Indonesia. Lebih baik kita memberikan effort untuk membenahi infrastruktur pendidikan, meningkatkan kesejahteraan guru, kualitas pengajaran dan lain-lain yang lebih mendesak. Pengadaan komputer dan internet untuk anak-anak memang bagus, tapi sepertinya lebih baik ada di sekolah saja.

Mungkin yang lebih butuh laptop itu mahasiswa. Ya gak sih? Kenapa gak satu laptop per mahasiswa? Hehe..

Saya mempunyai ilustrasi seperti ini: “anak seorang pendisain program OLPC hingga kini belum dapat menikmati XO “Jenolan” yang telah hadir di rumahnya. Sebagai benda, XO (laptop berwarna hijau) itu sudah ada, namun belum sebagai appliance. “Papa Papa” mereka sedang melakukan pembenahan, sprint dipelbagai level teknis agar laptop itu siap luncur mulus tanpa bugs. Kita (baca: komunitas akar rumput dari Indonesia) akan ambil posisi dimana? atau secara subyektif, pihak developer OLPC mem-plot Indonesian community sebagai apa? Mari kita mulai dari titik skeptis, bahwa kita diperlakukan seperti anak pendisain program tadi.

Anda butuh modal untuk perluasan usaha?saya siap memberikan pinjaman minimal 100 milyar,info lanjut hub saya di 085217982587/sms

Kalau menurut saya fasilitas komputer & internet di tiap sekolah saja yang dibuat memadai, para siswa kan bisa belajar dari situ. Kondisi masyarakat, keluarga, dan anak2 berbeda-beda dan akibatnya juga berbeda-beda kalo OPLC dijalankan. Urusan perumahan, listrik, dll perlu diselesaikan dulu. Kalau listrik di rumah belum beres nge-charge-nya mo pake apa? Apa digenjot kaya program laptop utk anak afrika itu?

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on January 25, 2007 8:25 AM.

Kisah Perburuan "Driver" was the previous entry in this blog.

IPTV dan Pemerataan is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261