Dari pertemuan rutin di kantor saya, SDDN, Senin dua hari lalu, tercetus pendapat dari para pengembang senior perangkat lunak perihal cara menjual produk perangkat lunak. Intinya: mereka lebih menyukai perangkat lunak tersebut disertakan sebagai komponen dalam sebuah proyek pengembangan dibanding dijual sebagai produk untuk publik.
Produk yang dibahas adalah sebuah alat bantu yang memudahkan pengembangan aplikasi dengan tingkat penyesuaian yang fleksibel. Pemakai aplikasi biasanya memanfaatkan alat bantu untuk menyetel bagian yang cukup fundamental, misalnya bagian tertentu dari laporan yang memerlukan pernyataan SQL tersendiri.
Yang menjadi tambahan pertimbangan pada diskusi tersebut adalah kecenderungan saat ini dalam hal penyediaan alat bantu pengembangan secara cuma-cuma atau sangat murah. Kompetitor berupa produk perangkat lunak bebas dan juga edisi gratis dari vendor komersial kian marak. Sebuah masa depan yang lebih menggairahkan untuk keperluan pendalaman alat bantu pengembangan — karena ongkos yang dapat ditekan, namun dapat berarti kompetisi pasar pada produk perangkat lunak komersial meredup.
Ditambah lagi dengan kondisi pembelian alat bantu pengembangan di Indonesia yang memang masih rendah. Sebagai ilustrasi: berapa jumlah pengembang yang membeli Borland Delphi, untuk produk sehebat itu? Ada yang mengusulkan: bagaimana jika produk perangkat lunak diarahkan ke luar Indonesia — lebih global lagi? Kendala ada di ongkos. Membidik pasar yang luas perlu pundi luar biasa.
Contoh konyol lagi: salah satu produk Al Quran digital seorang kolega di kantor yang berharga sekitar lima puluhan ribu dibajak juga dan dijual di toko buku Gramedia di Bandung.
Artinya perlu model bisnis baru atau alternatif agar pengembang tetap dapat bertahan hidup dengan profesinya. Salah satunya yang sudah beberapa kali kami jalankan adalah dengan memasukkan sebagai bagian dari modul pekerjaan berbasis proyek dengan anggaran yang diikutkan pada proyek tersebut.
Menjelang akhir 1990-an salah seorang pengembang di Borland pernah mengungkapkan kekhawatirannya berkaitan dengan gerakan perangkat lunak bebas yang mulai marak: pemrogram juga perlu makan.
Terima kasih kepada Kusnassriyanto S. Bahri yang telah menyodorkan beberapa pertimbangan pada diskusi tersebut.
Catatan: agar tidak salah pengertian berkaitan dengan tulisan di atas, saya juga pemakai perangkat lunak bebas untuk keperluan pribadi. Selain sudah memadai untuk keperluan saya, memang ada kaitan dengan alokasi pengeluaran.
“Contoh konyol lagi: salah satu produk Al Quran digital salah satu kolega di kantor yang berharga sekitar lima puluhan ribu dibajak juga dan dijual di toko buku Gramedia di Bandung.”
disinilah sebenarnya sangat diperlukan keterlibatan aparatur negara mas. tapi berhubung negara kita emang ga jelas hukumnya soal perangkat lunak.. jadi kasian melihat para pengembang yang kehilangan “gairah” gara pembajakan seperti contoh mas tsb.
#agung: saya pikir tidak perlu sampai keterlibatan aparatur negara. tergantung individu. cmiiw
Lalu, apa kolega kantor itu membayar royalti kepada Tuhan? Hehe..
Insya Allah dengan menjalankan ijab-kabul yang benar sesuai dengan aturan-Nya sudah merupakan “royalti” kepada Allah. :-)
mkbstc aybodj mqgipxra ocidq qgejvnlkr kvyzji fmekygtp