Di awal tahun ajaran 2007/2008 ini saya membantu membelikan pencetak untuk kelas di sekolah anak saya. Berdasarkan informasi dari salah seorang teman yang “berfoya-foya” menggunakan “teknologi tinta botol”, saya mengambil keputusan memilihkan jenis inkjet yang sudah dimodifikasi ini untuk kelas. Pertimbangan sederhana: anak-anak di kelas perlu teknologi yang murah-meriah dan bukan kualitas cetakan. Kami orang tua juga jangan sampai sewot hanya gara-gara pemakaian pencetak oleh anak-anak dengan cara menekan ongkos pengadaan tinta.
Teknologi infus inilah solusinya. Barangkali sekadar nama sembarangan: hanya karena pencetak dimodifikasi dengan tambahan selang dan botol tinta di luar — dan mirip dengan pasien yang digelayuti selang di rumah sakit, para pedagang memberi julukan “infus”. Di mal komputer Bandung, BEC, teknologi ini sudah mapan dan Epson menjadi raja kembali. Hal ini mengingat Epson sudah paten sebelumnya di lingkungan dot-matrix.
Seri terbaru yang sedang memenuhi pasar printer inkjet adalah Epson Stylus C90.
Di sudut salah satu lantai BEC saya temui toko yang khusus berjualan teknologi infus dan C90 ditumpuk dalam kondisi siap-bawa. Saya lupa persisnya, tambahan untuk teknologi infus ini sekitar Rp 150.000,00 termasuk tiga botol tinta. Risiko yang ditanggung pembeli: garansi hilang karena bagian kepala pencetak (print head) “dirusak” dan pencetak tidak boleh dianggurkan lebih dari tiga hari agar cairan dari botol tinta tidak kering dan menyumbat ujung kepala pencetak.
Melihat tumpukan pencetak siap-bawa dalam jumlah banyak — yang berarti si penjual sudah merakit sebanyak itu, saya menduga pencetak berteknologi infus ini laris manis. Penjual memberi rasio 1:10 untuk pembeli Epson apa adanya (bukan hasil rakitan) terhadap teknologi infus. Sayang dia tidak buka kartu dalam hal omset penjualan per hari.
Yang menggelitik saya: jika teknologi ini lebih mudah diterima konsumen kita dengan alasan lebih murah, dapatkah hal ini disebut sebagai “teknologi yang lebih tepat guna” dan lebih berorientasi kepada pemakai di negara kita? Alasan pembeli tentu berkisar di seputar harga pengadaan tinta disertai pertimbangan bahwa keperluan mereka belum sampai pada kualitas cetakan premium. Organisasi kecil atau beranggaran terbatas bermain dengan pertimbangan di atas, semisal lembaga pendidikan, Warnet, termasuk pemakaian di rumah.
Saya teringat salah satu terobosan bisnis yang dijadikan contoh di buku Strategi Samudera Biru yakni mengambil jalan tengah dari kenyamanan layanan pribadi dan ongkos murah layanan publik. Pencetak inkjet menghasilkan cetakan yang relatif nyaman digunakan, sedangkan bagian yang dianggap mahal — yakni pengadaan tinta — diganti dengan tinta botol yang berkualitas lebih rendah dan lebih murah.
Apakah Epson tidak tertarik mempertimbangkan produk berorientasi pasar Indonesia seperti kasus ini? Setidaknya dengan diurus oleh divisi penelitian dan pengembangan produk mereka, secara estetis desain produk mereka tetap terjaga — tidak seperti sekarang ini yang dicantoli selang sekadar mengikuti kaidah fungsional.
Atau justru hal ini kesempatan buat pihak ketiga untuk melakukan improvisasi produk? Setidaknya pemilik toko di sudut BEC tersebut punya pekerjaan rutin: merakit belasan pencetak setiap pekan dan dibayar sebagai nilai tambah produk oleh konsumen.
bisnis printer-tinta itu sama dengan bisnis pencukur-pisau atau console-game. jadi printer itu dijual rugi, tapi produsen menutupi kerugian itu dari penjualan tinta. wajar kalau produsen printer selalu menghalang2i keberadaan produk tinta pihak ketiga, misalnya dengan membuat mata tinta yang sulit diakali, atau bahkan lewat kriptografi dan solusi hukum.
harganya juga kadang2 jadi aneh, bisa jadi harga tinta gak jauh beda dengan harga printernya sendiri. jangan harap printer bisa murah dan tintanya tetap murah :)
Betul itu, Epson akan rugi kalau meresmikan tinta infus.
Kecuali Epson khusus menjual printer infus-compatible dengan harga full (bukan harga rugi) dan membebaskan penggunaan tinta non-Epson. Kalau begini, baik Epson maupun penjual tinta akan sama-sama untung. Yang rugi mungkin orang-orang selama ini kerjaannya modif printer.
Ya, ini strategy loss leader - merugi di satu sisi, tapi melaba besar dari sisi yang lain; sehingga totalnya menjadi profit.
Cuma pada saat ini sudah keterlaluan memang, seperti kata Priyadi, harga tintanya cuma beda sedikit dengan harga printer barunya. Ini jadinya kan mendorong orang untuk dengan mudah membuang printer bekasnya. Sangat kontras dengan teknologi printer zaman dahulu, dimana printer bisa dipakai sampai 20 tahun dan tetap berfungsi dengan baik.
Zaman sekarang betul-betul mendorong kita untuk konsumtif sekali ya; harga barang murah luar biasa, namun juga mudah sekali rusak. Beli lagi, beli lagi, dst.
btw; saya ngobrol2 dengan tukang servis printer, karena sudah bosan dengan printer-printer yang mudah rusak ini, dan menurut ybs yang paling reliable adalah inkjet printer merk HP. Menarik …
Daripada Epson, saya pilih Brother. Soalnya biar tidak dipakai, Brother ini “kencing” otomatis biar print head tidak kering. Tentu saja kudu dibekali ilmu bagaimana membersihkan deposit tinta yg keluar
Tetap tidak (belum) percaya dengan tinta infus/refill, karena takut dengan aset printer yang kita punya.
btw ada tidak produsen pihak ketiga yang jual tinta tanpa embel2 refill/infus?
@harry, yap HP memang paling bandel, printar deskjet tipe 500 yang umurnya lebih dari 10 tahun masih berfungsi dengan baik sampai sekarang
Yg bingung neh rekan2 di Surabaya kena razia karena jual infuskit, padahal Epson kan tidak patenkan infuskit. Yg gak boleh kan kalau jualan pake embel2 epson atau njiplak model cartridge epson. Klo konsumen tuntut balik epson bisa gak ya ? jual product bermasalah spt type 5xxx all in 1 itu. pake cartridge ori jg mendadak gak dikenbalin ama printer.