Di akhir tahun lalu kantor kami kedatangan tim survei yang dilakukan oleh teman-teman di Bandung High Tech Valley (BHTV). Kuesioner yang diajukan berasal dari salah satu instansi pemerintah daerah (saya lupa, Pemkot Bandung atau Pemda Jawa Barat). Pertanyaan terakhir tentang harapan pelaku bisnis terhadap iklim usaha, di Bandung secara khusus sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya. Bos di kantor — ya, ini UKM, bos sendiri yang menjawab survei — merespon sudah bosan dengan korupsi.
Barangkali ini jawaban klise, namun saya tetap berharap dengan sangat bahwa tidak perlu menjadi pahlawan untuk lantang menolak korupsi, melainkan sepatutnya menjadi keniscayaan sehari-hari. Terutama bagi kami, para pelaku usaha kecil (jika Anda merasa tergerak, langsung ubah menjadi kita!). Korupsi sering menjengkelkan: sudah harus akrobat menyiasati hidup, masih juga dicekik di sana dan di sini dengan pat-gulipat angka. Bahkan pengalaman saya sendiri, secara pribadi, sering sebal dengan tipu-tipu recehan seperti permainan tanda tangan, daftar hadir, dan sejenisnya. Kesannya sepele dan semacam “menipu untuk kebaikan” (white lies), namun mana ada seperti itu? Lebih mengerikan lagi, jika kita menyepelekan suatu bentuk kemungkaran, dampaknya akan menjadi akut dan sudah berbatas sangat tipis dengan kejahatan yang lebih besar lagi.
Bukan, bukan saya sok suci, sudah imun dari hal buruk seperti korupsi. Justru sebaliknya, karena merasakan betapa mengerikan tinggal di negara yang seperti tidak peduli lagi dengan kebusukan lewat korupsi, seringkali masa depan terasa gelap. Seolah-olah kita menganggukkan setuju untuk semua kompromi terhadap keadaan di luar dan kemudian mencari berbagai pembenaran.
Kemarin sore teman-teman di Twitter mulai sedikit gaduh dengan kabar berulang bahwa skor indeks korupsi untuk Indonesia masih mencengangkan (atau malah lumrah!). Tentu saja, mayoritas komentar tersebut — termasuk saya — mengarah pada gaya bahasa sinisme. Semacam ungkapan di buku-buku humor yang menggambarkan paduan antara kepahitan hidup dan kemauan untuk berontak. Karena tetap realistis melihat sedemikian besar kendala untuk membereskannya di lapangan, sinisme itulah barangkali penyegar jiwa. Saya juga yakin bahwa respon yang umum terhadap kelakar seperti itu adalah, “Jangan berputus asa akan harapan,” “Ayo kita coba perbaiki.” Sayangnya, harapan ini lekas kandas terhadap banyak kompromi. Satir-satir kelakar itu juga jika diinsyafi akhirnya kita harapkan menjadi introspeksi terhadap kita sendiri.
Walaupun saya menolak gagasan malu sebagai bangsa yang korup (“malu pada tabiat korupnya!”), yang sering membuat prihatin bahwa dalam lingkungan pekerjaan TI korupsi tersebut dapat lebih brutal. Jika konstruksi bangunan megah dirobohkan masih menimbulkan gaung suara di mana-mana, menghancurkan satu aplikasi cukup dengan satu perintah, sekian menit, atau bahkan detik! Tanpa suara berarti, dan dilakukan dengan tangan dingin (karena di ruang khusus server bersuhu 18°C!).
Tidak perlu saya paparkan dengan rinci di sini, karena dalam banyak kasus malah cukup gamblang, walau seringkali tidak terjangkau oleh penegak hukum dan dilewatkan begitu saja secara etis.
Memprihatinkan. Mengerikan.
Kuesioner di atas saya juga tidak tahu bagaimana nasibnya: baik untuk respon pertanyaan teknis atau usulan yang bersifat motivasi seperti ihwal korupsi ini.