Bulan Maret dan April saya melakukan perjalanan dinas beberapa kali ke Surabaya hingga Jember, Jawa Timur, dengan kereta api dan bus. Kesempatan kali ini saya dibekali telepon seluler (ponsel) bundel Smart yang juga berfungsi sebagai modem. Lewat tulisan ini saya akan menceritakan pengalaman tsb.
Pilihan Smart
Biasanya saya menggunakan modem Huawei dan paket IM2 Broom, yang menurut saya kurang optimal dipakai di daerah Ketintang dan Darmo Kali, tempat kerja dan penginapan kami, di Surabaya. Karena adanya IM2, ya saya gunakan saja; akan tetapi kali ini perangkat modem tersebut tidak dapat saya bawa pergi. Dari beberapa promo perangkat Internet seluler yang gencar di media massa, ada kecondongan untuk mencoba CDMA. Sebenarnya lebih tepat disebut “alasan coba-coba” dengan risiko daerah jangkauan namun berkeuntungan murah di investasi. Di pameran Open House ITB, saya sempat menimang-nimang Flexi namun urung mengambil ketetapan untuk membeli. Salah satu pemikiran saya saat itu: layar ponsel masih jauh dari memadai untuk digunakan di perjalanan.
Pertimbangan kondisi ponsel tsb. yang saya pakai saat ditanya pramuniaga gerai Smart: Haier lebih kecil dan ringan, sehingga berlayar lebih sempit, dan ZTE lebih berat dengan keuntungan layar lebih lebar. Saya perlu perangkat sebagai modem dan sebagai ponsel untuk akses Web di perjalanan. Nokia 2626 yang saya gunakan sehari-hari gagal menampilkan beberapa mikroblog, sedangkan perjalanan dinas merupakan kesempatan saya memanfaatkan pengalaman menggunakan mikroblog di perjalanan, selain memotret.
Keputusan akan ZTE C261 tidak rugi: layar terlihat jernih, lebih lebar, dan sudah tersedia Opera Mini. Di dus ZTE tertulis dukungan untuk Windows XP dan Vista, dan Mac OS (versi 10.4 ke atas). Di satu-satunya lapak promosi di BEC saya tanyakan ihwal Linux, si penjaga dengan bersemangat menyebut didukung, sambil menunjuk logo Mac OS. Saya hanya tersenyum: tampaknya di dunia ini hanya ada Windows dan non-Windows (apapun namanya) untuk sistem operasi!
Layanan di gerai resmi Smart lebih baik. Semula saya sangka gerai tsb. hanya digunakan untuk layanan perbaikan atau komplain, ternyata mereka juga menjual bundel. Pembayaran dapat dilakukan lewat kartu kredit dan pramuniaga cukup berhati-hati: mereka menyediakan modul kendali (driver) baru untuk Keluarga Windows (pemutakhiran dari yang disediakan di dalam cakram optik dalam bundel) dan dengan tegas menyebut ponsel ini tidak dapat diakses dari Linux. Saya jelaskan bahwa saya sempat mencari informasi akses Smart dari Linux di Internet, akhirnya mereka memberi batas, “Jika memang suka ngoprek, silakan saja, yang jelas kami tidak dapat membantu.” Jawaban yang baik, sesuai spesifikasi dukungan di dus ponsel.
Paket termurah ini memberi 100 hari koneksi Internet gratis, tanpa batas, dengan kecepatan maksimal 153,6 kbps (pengunduhan) dan 128 kbps (pengunggahan). Setelah baca-baca lebih seksama lagi, tulisan-tulisan akses ZTE dari Linux, memang bukan untuk level pengguna akhir yang sangat praktis seperti halnya ketersediaan aplikasi berbasis grafik, Vodafone Mobile Connect, yang saya pilih untuk IM2 (GSM). Perlu otak-atik konfigurasi USB agar ponsel tidak dianggap sebagai media penyimpanan (storage), melainkan sebagai modem. Dilanjutkan dengan eksekusi modem lewat Wvdial.
Dimatikan kemudian dihidupkan kembali merupakan salah satu trik efektif untuk ponsel ini. Pernah terjadi Wvdial menghasilkan deretan karakter kode janggal dan tanpa respon — matikan kemudian hidupkan kembali ponsel, beres kembali. Begitu pula di perjalanan, beberapa kali saya mendapati pesan koneksi bermasalah, padahal sinyal penuh — matikan dan hidupkan kembali, koneksi lancar kembali.
Koneksi di Sepanjang Jalur Selatan Pulau Jawa
Jalur kereta api selatan Pulau Jawa (Bandung-Surabaya) secara umum “ramah” terhadap Smart. Memang tidak tercakup seluruhnya, terutama di kawasan pegunungan di Jawa Barat yang terasa lebih lama tanpa sinyal, namun praktis koneksi Net tersedia begitu kereta api mulai memasuki pemukiman penduduk. Dugaan saya: akses di sepanjang jalur bus lebih rapat dibanding jalur kereta api.
Pramuniaga gerai Smart sedikit bercanda memberi tahu saya bahwa ada pelanggan yang justru menginginkan akses Internet Smart dibatasi karena mereka sering tidak kebagian. Walau cara ini baik agar para pengguna tidak jor-joran menggunakan jatah koneksi pada periode “tak terbatas 100 hari”, yang lebih baik tentu Smart perlu menjaga rasio sumber daya terhadap pelanggan. Sebagai misal, di kawasan Dago (terasa sejak Pasar Simpang Dago hingga Dago Atas) Bandung, sinyal penuh namun koneksi lebih lambat dibanding saat kereta api berada di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Sangat mungkin keroyokan akses di Dago lebih meriah dibanding di Nganjuk. Percobaan saya lakukan untuk penggunaan Internet di ponsel, bukan sebagai modem laptop.
Sepupu saya, mahasiswi di Jember, juga menyebut Smart populer di lingkungan teman-temannya di kampus. “100 hari tanpa batas” yang menggiurkan, dengan risiko keroyokan.
Pada kesempatan kali ini saya gunakan Opera Mini di ponsel ZTE untuk mencoba Koprol. Alhasil, celotehan sepanjang perjalanan mulai lebih banyak di Koprol dibanding Plurk, karena alasan saya memilih Plurk sebelumnya adalah kemudahan Plurk di Nokia 2626. Seandainya ZTE ini dilengkapi kamera paling buram sekelas VGA, saya akan bereksperimen blog foto perjalanan. Sekaligus angan-angan saya jika berkesempatan memiliki ponsel berkamera nantinya. Untuk sekarang, saya memotret sepanjang jalan dan memasang hasilnya sesampai di tujuan jika koneksi Internet tersedia.
Koneksi dan Ponsel Layak Dimiliki
Kendati bukan koneksi jalan tol (ada jenis EVDO untuk keperluan ini, dalam bentuk modem USB), bundel Smart berisi “100 hari tanpa batas” dan ponsel lebar harga ekonomis layak dimiliki. Untuk perangkat berharga kurang dari setengah juta rupiah, tampilan bening di layar ZTE memadai untuk aktivitas mikroblog dan jejaring sosial edisi bergerak.
Ongkos isi ulang setelah periode 100 hari pun terjangkau dan mudah-mudahan metode pengisiannya cukup praktis lewat ATM atau e-banking.
Objektif saya sederhana: bundel koneksi Net dan peralatan yang terjangkau untuk aktivitas teks di perjalanan, terutama mikroblog dan jejaring sosial. Masih dalam konteks ini, perbaikan rasio kapasitas koneksi dan pengguna perlu diperbaiki, terutama di daerah dengan pengguna agresif, seperti daerah kampus.
Wah, menarik nih, sayang smart di daerah dimana saya sering beraktivitas, sinyal kurang bagus, jadi susah untuk buat sambungan internet
saya pernah menggunakan modem Smart tahun lalu, dan sungguh hebat, koneksi berjalan dengan cepat dan stabil, tetapi sejak memasuki bulan januari 2010 kemarin, ada sedikit kendala. kemungkinan terdapat lonjakan konsumen SMART, mudah mudahan SMART dapat memberikan sinyal dengan terus menerus memperbaiki BTS yang ada