Di salah satu diskusi di mailing list Alumni
Pustena, saya
sempat mencetuskan kalimat retorik, […] agar ketergantungan terhadap
perangkat lunak komersial diimbangi dengan belajar produk
alternatifnya.
Seorang teman, Badrus Zaman, tertarik dengan “pernyataan”
tersebut dan memaparkan pengalamannya dalam memilih distribusi GNU/Linux, sebagai berikut,
Hampir sebulan ini saya tertarik untuk memakai Linux. Saya cari berbagai
tulisan di internet tentang distro Linux dan cara mendapatkannya,
akhirnya saya beli 3 distro dari suatu situs: Mandriva (Mandrake Linux)
LE 2005, Suse 9.3, dan PCLinuxOS. Murah kok, hanya Rp 5.000,-/CD
ditambah ongkos kirim Rp 10.000,- (jadi hanya Rp 70.000 saya dapat 12
CD). Saya instal di komputer kantor. Wah senang sekali ketika saya
pertama pakai Mandriva, gampang instalnya. Saya senang pakai desktop
KDE, tampilannya mirip Windows. Selain KDE, di Mandriva juga ada Gnome
dan beberapa desktop lainnya. PCLinuxOS juga menyenangkan karena tidak
perlu diinstal. Sedangkan Suse katanya sangat bagus untuk mengenali
hardware yang terpasang. Komputer saya di kantor pakai prosesor Pentium
4 dan memori 256 MB.
Ketika saya berniat menginstalnya di komputer rumah yang cuma pakai
prosesor AMD Duron 800 MHz dan memori 128 MB, saya khawatir spec
komputer saya tidak memadai. Saya cari di internet distro Linux yang
ringan, gampang diinstal dan semudah Windows memakainya. Dari
GudangLinux Migration Center (http://www.gudanglinux.net/gmc/index.php)
saya dapat rekomendasi untuk memakai Ubuntu. Setelah saya lihat di
websitenya, ternyata Ubuntu pakai desktop Gnome. Saudara kembarnya
adalah Kubuntu yang pakai desktop KDE. Akhirnya saya beli lagi: Kubuntu
dan beberapa distro ringan lainnya.
Saya coba distro-distro ringan tersebut di kantor dulu. Hasilnya memang
masih banyak kekurangan. Kubuntu tidak mengenali dengan baik monitor GTC
yang dipakai, akibatnya resolusinya jadi maksimal tinggal 800x600. Kalau
monitornya diganti Samsung jadi bagus resolusinya. Knoppix susah setting
networknya. Yang paling bagus dari yang saya beli, saya rasakan adalah
Linspire, tapi jalannya berat kalau pakai memori 128 MB (di kantor kan
banyak komputer, cari yang RAM-nya 128, pinjam dulu). Dll, yang semuanya
masih belum seperti yang saya harapkan.
Saya jadi bingung untuk beralih ke Linux untuk menggantikan Windows 98
saya di rumah. Belum lagi mikirin bagaimana menjalankan Holy Qur’an saya
di Linux.
Kutipan di atas disalin langsung dari email yang dikirim Badrus.